Mohon tunggu...
Choirul Huda
Choirul Huda Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kompasianer sejak 2010

Pencinta wayang, Juventini, Blogger. @roelly87 (www.roelly87.com)

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Ketika Peluit Panjang Berbunyi

25 Juli 2014   09:01 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:17 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14062282501460040501

[caption id="attachment_316684" align="aligncenter" width="491" caption="Bergadang menjaga TPS sambil nonton pertandingan Piala Dunia antara Jerman vs Brasil 7-1 (www.kompasiana.com/roelly87)"][/caption]

MOMENTUM dramatis sepanjang dua bulan terakhir telah selesai. Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 menobatkan pasangan capres-cawapres nomor urut dua, Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai pemenang. Itu sesuai ketetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Selasa (22/7).

Pasangan nomor urut dua meraih 70.997.833 suara, mengungguli pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (62.576.444). Alhasil, selisih 8.421.389 suara menegaskan Jokowi-JK  Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Mereka akan dilantik kurang dari tiga bulan lagi, tepatnya 20 Oktober 2014.

Selesai? Belum. Gelombang kekecewaan masih menghinggapi kubu pasangan capres-cawapres nomor urut satu. Tepatnya, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa akan menggugat lewat jalur hukum ke Makhamah Konstitusi yang berwenang memutuskan atau mengalahkan ketetapan KPU.

Namun, mari kita sudahi kisah Pilpres 2014. Sebagai rakyat biasa, tepatnya insan olahraga, kita serahkan pada pemangku kepentingan. Mulai saat ini, lebih baik kita menyongsong kehidupan baru setelah kenduri politik yang berlangsung sejak pertengahan Mei lalu.

Berbicara mengenai Pilpres, saya jadi teringat dengan Piala Dunia. Kebetulan dua “Pesta Akbar” itu waktunya berdekatan. Bahkan, “finalnya” hanya terpaut empat hari. Jika Pilpres 2014 berlangsung  Rabu (9/7), laga pemungkas Piala Dunia 2014 antara Jerman versus Argentina digelar Minggu (13/7) atau Senin dini hari WIB.

Perpanjangan Waktu

Bagi saya pribadi, ada korelasi menarik antara Pilpres dan Piala Dunia. Jerman juara setelah di final mengalahkan Argentina lewat gol tunggal Mario Goetze pada masa perpanjangan waktu. Sementara, di Pilpres, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla baru unggul setelah KPU “meniup peluit panjang”.

Sebelumnya, saat quick count atau perhitungan cepat, kedua kubu sama-sama ngotot mengklaim kemenangan. Namun, pada intinya hanya ada satu pemenang: Jerman di Piala Dunia dan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Pilpres).

Masalahnya, selalu sulit bagi tim yang dalam posisi kalah. Misalnya, saya yang mengagulkan Italia sejak 1994 sempat syok. Lantaran, di Piala Dunia 2014 “Gli Azzurri” harus tersingkir secara memalukan akibat kalah dari Uruguay (24/6). Dua pekan berselang, saya kembali deg-degan ketika mengetahui jagoan saya di Pilpres 2014 tertinggal dalam quick count. Puncaknya, ya Selasa kemarin ketika KPU menegaskan pasangan nomor urut satu dikalahkan pasangan nomor urut dua.

Sakit memang saat tahu  jagoan kita kalah. Tapi, itulah hidup. Ada yang menang dan ada yang kalah. Namun, meski kalah, saya sendiri bangga. Sama bangganya dengan performa Italia di Piala Dunia 2014. Toh, baik Italia maupun Prabowo sudah sama-sama berusaha. Menang atau kalah, itu urusan lain.

Apalagi, sejak mengikuti Pemilu pada 2004, baru kali ini “jagoan” saya kalah. Sebelumnya, pada Pilpres 2004 dan 2009, serta Pilgub 2012 lalu, kandidat yang saya pilih selalu menang. Namun, itulah demokrasi. Tidak semua yang kita inginkan terlaksana. Toh, saya hanya satu suara dari ratusan juta suara rakyat Indonesia. Dan, kita harus menerimanya.

Dalam bahasa latin kerap disebut Vox populi, vox dei, alias suara rakyat adalah suara Tuhan. Intinya, secara performa keseluruhan, Jerman memang lebih baik dibanding Italia di Piala Dunia 2014. Begitu juga dengan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang mendapat mandat rakyat ketimbang Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Apa Setelah Pilpres?

Dalam sepak bola terdapat adagium lawas yang berbunyi meraih juara itu sulit, namun mempertahankan gelar jauh lebih sukar. Itu terjadi hampir di turnamen penting. Misalnya, tidak ada tim yang mampu meraih gelar beruntun di Piala Dunia sejak Brasil pada 1958 dan 1962. Begitu juga pada level klub, setelah AC Milan menggondol trofi Liga Champions 1988/89 dan 1989/90. Hingga kini, mitos juara bertahan selalu gagal mempertahankan gelar masih terbukti.

Nah, apakah hal itu berlaku pada Pilpres 2019? Tentu, jawabannya masih sangat jauh. Jangankan lima tahun ke depan. Menanti 20 Oktober pun rakyat masih harap-harap cemas. Sebab, penetapan KPU bahwa Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden bukanlah pesta. Keduanya mengemban misi berat untuk menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan. Dengan kata lain, jalan yang ditempuh mereka berdua masih panjang.

Analoginya begini, mayoritas rakyat Indonesia yang sudah bekerja kerap kepusingan menghadapi hari raya Idul Fitri alias Lebaran. Entah itu beli pakaian baru untuk anak, masak ketupat, bikin kue, persiapan pulang kampung dan sebagainya.

Namun, bagi saya, bukan Lebaran yang jadi soal. Lantaran, Idul Fitri hanya sehari. Justru yang menjadi persoalan adalah bagaimana menyikapi hari-hari setelah Lebaran. Terutama bagi yang sudah bekerja, mengingat waktu yang masih panjang antara hari gajian dengan Lebaran. Jangan sampai, jorjoran saat merayakan Idul Fitri dan kehabisan uang setelahnya.

Fakta itu juga yang menurut saya salah kalau ada yang menyebut pasangan nomor urut dua itu sebagai pemenang. Dalam Pilpres mungkin iya. Namun, jika Jokowi-JK ingin disebut sebagai pemenang di hati rakyat, baru bisa dibuktikan pada masa akhir jabatan. Apakah mereka bekerja dengan sungguh-sungguh selama lima tahun ke depan. Atau, malah terpuruk lantaran gagal mewujudkan ekspekstasi rakyat. Sekali lagi, Vox populi, vox dei. Itu seperti langkah Spanyol yang juara di Piala Dunia 2010. Namun, empat tahun kemudian justru menjadi tim yang pulang duluan.

Selamat untuk Jokowi-JK yang ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden. Terima kasih untuk Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang memberikan perlawanan sengit layaknya permainan Argentina di Maracana. Kalian sukses membuktikan kepada dunia betapa hebatnya demokrasi di Indonesia.***

- Artikel ini dimuat di Harian TopSkor edisi 24 Juli 2014.

*      *      *

Postingan Pilpres sebelumnya:
- Antara Quick Count dan Final Sesungguhnya
Ketika Sepak Bola Tidak Bisa Diprediksi

Postingan Piala Dunia sebelumnya:
Anomali di (Fase Grup) Piala Dunia 2014
Drama Penuh Kejutan di Pekan Pertama Piala Dunia 2014
Lanjutan atau Akhir dari Hegemoni Spanyol
Kilas Balik Piala Dunia 2006: Italia Juara di Kandang Jerman
Kilas Balik Piala Dunia 1982: Italia Samai Rekor Brasil
Kilas Balik Piala Dunia 1970: Momentum Kehebatan Brasil
Trofi Piala Dunia, Antusiasme Masyarakat, dan Impian 2018
Adu Penalti, Beban Psikologis untuk Sang Penendang
Jadi Penonton di Rumah Sendiri
Antara Turin dan Resolusi Luar Biasa
Kasus Del Piero, Ketika Loyalitas Tak Dianggap
Del Piero, Sosok Pemain Sepak Bola Paling Konsisten yang Menjadi Panutan

Artikel bertema sepak bola lainnya:
Helena
Nonbar Suporter Mancanegara
Hikayat Sepak Bola
Kisah The Raid dalam Laga Barcelona vs Chelesa
Final Klasik Prancis Terbuka 2014: Nadal Vs Djokovic

*      *      *

- Jakarta, 25 Juli 2014

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun