Apalagi, sejak mengikuti Pemilu pada 2004, baru kali ini “jagoan” saya kalah. Sebelumnya, pada Pilpres 2004 dan 2009, serta Pilgub 2012 lalu, kandidat yang saya pilih selalu menang. Namun, itulah demokrasi. Tidak semua yang kita inginkan terlaksana. Toh, saya hanya satu suara dari ratusan juta suara rakyat Indonesia. Dan, kita harus menerimanya.
Dalam bahasa latin kerap disebut Vox populi, vox dei, alias suara rakyat adalah suara Tuhan. Intinya, secara performa keseluruhan, Jerman memang lebih baik dibanding Italia di Piala Dunia 2014. Begitu juga dengan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang mendapat mandat rakyat ketimbang Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Apa Setelah Pilpres?
Dalam sepak bola terdapat adagium lawas yang berbunyi meraih juara itu sulit, namun mempertahankan gelar jauh lebih sukar. Itu terjadi hampir di turnamen penting. Misalnya, tidak ada tim yang mampu meraih gelar beruntun di Piala Dunia sejak Brasil pada 1958 dan 1962. Begitu juga pada level klub, setelah AC Milan menggondol trofi Liga Champions 1988/89 dan 1989/90. Hingga kini, mitos juara bertahan selalu gagal mempertahankan gelar masih terbukti.
Nah, apakah hal itu berlaku pada Pilpres 2019? Tentu, jawabannya masih sangat jauh. Jangankan lima tahun ke depan. Menanti 20 Oktober pun rakyat masih harap-harap cemas. Sebab, penetapan KPU bahwa Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden bukanlah pesta. Keduanya mengemban misi berat untuk menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan. Dengan kata lain, jalan yang ditempuh mereka berdua masih panjang.
Analoginya begini, mayoritas rakyat Indonesia yang sudah bekerja kerap kepusingan menghadapi hari raya Idul Fitri alias Lebaran. Entah itu beli pakaian baru untuk anak, masak ketupat, bikin kue, persiapan pulang kampung dan sebagainya.
Namun, bagi saya, bukan Lebaran yang jadi soal. Lantaran, Idul Fitri hanya sehari. Justru yang menjadi persoalan adalah bagaimana menyikapi hari-hari setelah Lebaran. Terutama bagi yang sudah bekerja, mengingat waktu yang masih panjang antara hari gajian dengan Lebaran. Jangan sampai, jorjoran saat merayakan Idul Fitri dan kehabisan uang setelahnya.
Fakta itu juga yang menurut saya salah kalau ada yang menyebut pasangan nomor urut dua itu sebagai pemenang. Dalam Pilpres mungkin iya. Namun, jika Jokowi-JK ingin disebut sebagai pemenang di hati rakyat, baru bisa dibuktikan pada masa akhir jabatan. Apakah mereka bekerja dengan sungguh-sungguh selama lima tahun ke depan. Atau, malah terpuruk lantaran gagal mewujudkan ekspekstasi rakyat. Sekali lagi, Vox populi, vox dei. Itu seperti langkah Spanyol yang juara di Piala Dunia 2010. Namun, empat tahun kemudian justru menjadi tim yang pulang duluan.
Selamat untuk Jokowi-JK yang ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden. Terima kasih untuk Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang memberikan perlawanan sengit layaknya permainan Argentina di Maracana. Kalian sukses membuktikan kepada dunia betapa hebatnya demokrasi di Indonesia.***
- Artikel ini dimuat di Harian TopSkor edisi 24 Juli 2014.
* * *