S
[caption id="attachment_330002" align="aligncenter" width="614" caption="Salah satu adegan perang dalam 3 Nafas Likas (sumber: www.3nafaslikas.com)"][/caption]
"Di balik kesuksesan seorang pria, terdapat dukungan dari wanita (istri) yang tangguh." Adagium lawas itu selalu saya ingat sejak kecil. Entah itu saat kumpul bersama keluarga, berbincang dengan seorang tokoh terkemuka, atau ketika meliput sebuah event olahraga. Ya, arti dari pepatah itu mengatakan, bahwa seorang pria menjadi sukses tidak hanya kemampuan dirinya sendiri. Melainkan dukungan dari sang istri. Fakta itu tak terbantahkan hingga kini. Termasuk ketika saya menyaksikan film sejarah bertema perjuangan: "3 Nafas Likas".
Sabtu malam (18/10) yang cerah di sebuah teater di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Sambil menunggu dini hari untuk nonton bareng (nobar) menyaksikan pertandingan sepak bola antara Juventus versus Chievo, saya pun mencoba untuk membunuh waktu. Yaitu menonton film dengan tujuan awal film "The Judge" yang memang sedang populer di media sosial.
Namun, ketika saya sampai di teater yang terletak di lantai atas pusat perbelanjaan di Selatan Jakarta itu ternyata tidak menayangkannya. Saat melihat jadwal, teater terdekat yang menayangkan "The Judge" di PS atau Gancit yang jaraknya lumayan.
Karena tidak ingin merasakan kemacetan di malam minggu dan juga enggan pulang dengan tangan hampa, akhirnya saya meimilih "3 Nafas Likas". Awalnya, saya tidak tahu bahwa film ini merupakan film sejarah bertema perjuangan. Sebab, tujuan saya menonton "3 Nafas Likas" karena faktor Vino G. Sebastian yang memang sejak pertengahan dekade 2000-an merupakan aktor favorit saya.
* Â Â Â * Â Â Â *
Singkatnya, kami pun duduk manis di kursi belakang bersama beberapa rombongan anak muda lainnya. Sempat kaget juga karena tidak menyangka film lokal non horor serta tidak dibumbui seks mampu membuat teater nyaris penuh. Dalam hati saya berkata, mungkin karena faktor Vino dan Atiqah Hasiholan sebagai pameran utama mampu menyedot animo penonton.
Namun, skeptisme saya ternyata salah besar. Lantaran, "3 Nafas Likas" memang layak untuk ditonton. Bercerita tentang kisah masa lalu dari tokoh utama bernama Likas Beru Tarigan yang diperankan Atiqah. Film yang disutradarai Rako Prijanto ini mengambil setting era 1930-an hingga 1970-an. Dimulai dari masa kecil Likas di tanah Karo, Sumatera Utara yang bahu-membahu bersama suaminya, Djamin Ginting (Vino) membela Tanah Air dari serangan tentara Jepang dan Sekutu.
Likas lah yang mendukung perjuangan Djamin Ginting sejak menjadi serdadu PETA -prajurit Indonesia yang dibuat Jepang- untuk melawan penjajahan Jepang dan Sekutu. Berlanjut, pada dekade 1960-an dipindahkan ke Jakarta dengan Djamin Ginting yang sudah menjadi Letnan Jenderal (Letjend). Hingga akhir hayat sang suami yang meninggal di Ottawa ketika menjabat sebagai Duta Besar (Dubes) Kanada pada 1973.
Termasuk ucapan Lukas yang dengan sabar memberi saran agar Djamin Ginting menerima tugas dari presiden (Soehart0) sebagai dubes. Maklum, awalnya, beliau sempat enggan menerima tawaran tersebut. Itu karena Djamin Ginting sejak awal merupakan prajurit yang terbiasa di lapangan. Maka, tak heran jika dirinya enggan bertugas di balik meja. Namun, Djamin Ginting luluh untuk menerima tugas tersebut berkat "dukungan" Lukas yang mengatakan, -kalau tidak salah dengar- sebagai abdi negara harus mau ditugaskan atasan di manapun berada.
Jujur saja, "3 Nafas Likas" bukan film terbaik yang pernah saya tonton. Namun, "3 Nafas Likas" merupakan salah satu dari sedikit film yang pernah saya saksikan pertama kailnya sejak 1997 yang mampu menggugah perasaan saya. Bahkan, hingga sehari setelah menyaksikan film ini, aura sosok Likas dan Djamin Ginting sukses menghipnotis saya hingga berusaha mencari referensi resmi yang valid. Termasuk di beberapa situs militer.
Ya, mungkin bagi saya "3 Nafas Likas" setara dengan Petualangan Sherina, Ada Apa Dengan Cinta?, Mirror, Negeri 5 Menara, dan The Raid. Kenapa? Sebab, film berdurasi 107 menit ini mampu membuat saya kesengsem. Bukan hanya faktor tokoh utama (Vino-Atiqah), melainkan juga alur cerita, pameran pendukung, detailnya waktu dan setting tempat.
Itu karena jalan cerita disajikan secara runut dari awal hingga akhir ketika Likas yang sudah tua menceritakan masa lalunya kepada seorang penulis (Hilda). Saya jadi membayangkan percakapan antara Rose DeWitt Bukater (Kate Winslet) menuturkan kenangan "indah dan tragisnya" bersama Jack Dawson kepada awak kapal pencari harta karun dalam "Titanic".
Ketegaran Likas sejak kecil hingga ditinggal orang-orang yang dicintainya itu sungguh mengharukan. Mulai dari sang bunda, kakak, dan suaminya. Tapi, justru Likas tidak ingin menyerah dan berusaha untuk tetap "kuat" mengarungi hidupnya hingga kini. Sampai yang membuat saya kagum, ketika di akhir cerita, tokoh Likas tua seolah mengatakan, sang ibu, kakak, dan suaminya telah memberikan segalanya untuk tetap kuat. "Jadi, untuk siapa kau bernafas?"
* Â Â Â * Â Â Â *
Saya baru mengetahui bahwa tokoh Likas itu nyata setelah melihat credit di akhir film yang menyatakan beliau kini berusia 90 tahun. Saking penasaran, saya mencoba mencari referensi mengenai jati dirinya di internet yang ternyata suami dari salah satu tokoh militer tenama di negeri ini, Djamin Ginting.
Pantas saja, ketika film sedang berlangsung, di belakang kursi yang kami tempati sempat ramai ketika adegan Djamin Ginting bertemu Sukarno atau saat ditugaskan Soeharto sebagai Dubes Kanada. Dari obrolan -bisik-bisik- mereka, diketahui bahwa sebagian rombongan remaja itu memang berasal dari keturunan Karo. Termasuk mengenai perbedaan suku Karo yang terdapat dalam film ini dengan suku Batak yang mulanya saya pikir sama.
[caption id="attachment_330006" align="aligncenter" width="500" caption="Djamin Ginting dan Likas saat bertugas di Kanada (sumber: www.3nafaslikas.com)"]
* Â Â Â * Â Â Â *
Resensi Film Sebelumnya:
- Antara Guardian dan Sepinya Penonton Akibat Spiderman
-Â Antara Hammer Girl, Palu, dan Senjata Unik dalam Film Lainnya
-Â The Raid 2: Ekspekstasi Berlebihan dari Film Gado-gado
-Â Magnet Titi Rajo Bintang dalam 12 Menit: Kemenangan untuk Selamanya
-Â Cinta dalam Kardus dan Ide Orisinil Sebuah Film
-Â Serunya Menyaksikan Film "Negeri 5 Menara" Bersama Kompasianer
-Â "Negeri 5 Menara" Sarat Makna dan Bukan Sekadar Film Hiburan
-Â "Negeri 5 Menara" Film yang Membuat BJ Habibie Kagum
-Â #republiktwitter, Ketika Cinta, Karir, dan Politik Berasal dari Dunia Maya
-Â Republik Twitter, Saat Jejaring Sosial Memengaruhi Kehidupan Nyata
-Â Looking For Eric: Sisi Lain Eric Cantona
* Â Â Â * Â Â Â *
Artikel Film sebelumnya:
-Â Ironi Film Indonesia: Terasing di Negeri Sendiri
-Â Komik The Raid, dari Warna Merah Menjadi Hitam Putih
-Â Kisah The Raid dalam Laga Barcelona Vs Chelsea
-Â Joe Taslim dan Wakil Indonesia di Hollywood
-Nostalgia Dua Dekade Jurassic Park
-Â James Bond Syuting di Jakarta?
-Â Catatan Film Tahun 2011: Gempuran Film Horror Berbau Esek-esek Ditengah lesunya Penonton
* Â Â Â * Â Â Â *
- Cikini, 20 Oktober 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H