Mohon tunggu...
Roel Faizah
Roel Faizah Mohon Tunggu... Guru - Perempuan Ilalang

Perempuan sederhana yang ingin berkarya melalui coretan pena. Berharap suatu saat masih dapat dikenal meski jantung tak lagi berdetak, meski kaki tak mampu berpijak, meski jiwa telah terpisah dari raga.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Emak

18 Oktober 2022   14:19 Diperbarui: 18 Oktober 2022   14:26 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Semua masih berjalan sebagaimana biasa. Hanya aktifitas beliau yang sangat berkurang. Sekolah masih tetap kujalani, ketika setiap anak diwajibkan belajar 9 tahun. Dan aku duduk di sekolah menengah pertama.

Beliau yang pada awalnya mengisi hari-harinya dengan bekerja, kini mulai memutuskan untuk pensiun dini. Hingga puncaknya berada ketika aku duduk di pertengahan tahun terakhir tingkat pertama. Kesehatannya mulai memburuk, tak lagi mampu beraktifitas seperti biasa. Hanya bisa terbaring lemah tak berdaya di dipan lusuhnya.

Sepasang netraku mulai menghangat seketika, saat memikirkan kemungkinan buruk yang akan terjadi pada dirinya.

Kaget, seakan jantung ingin berpisah dari raga yang lain. Pulang sekolah tak kudapati dirinya di tempat tidur. Salah satu kerabat mengatakan bahwa beliau kembali menjalankan rawat inap. Luruh, seperti raga tak lagi bertulang.

Hanya sebentar, dua atau tiga hari sudah kembali. Namun, asa yang seakan tak ingin berpihak padaku.

Sekolah masih tetap berjalan. Ada banyak saudara yang sigap menjaganya. Bahkan Biyung (Ibunya Emak) masih setia menemani putri tertuanya yang sudah terlebih dahulu terbaring tak berdaya.

Hingga hari itu tiba. Ada yang aneh. Seseorang menjemputku di sekolah, saat pelajaran masih berlangsung. Ibu Guru hanya mengatakan, kalau Beliau yang sedang sakit di rumah ingin segera bertemu denganku. Aku pulang dengan perasaan tak menentu.

Sesampai di rumah, susana sudah sangat ramai. Bukan, bukan ramai gelak tawa, melainkan ramai dengan hujan air mata. Memasuki rumah dengan berdebar, dan inilah arti kekhawatiranku saat itu. Kemungkinan terburuk yang aku takutkan sebelumnya.

Melihatnya terbaring saja, mampu membanjiri wajahku dengan linangan air mata yang tak ada habisnya. Kini, sudah terlilit selendang di bagian kepala, kedua tangan sedekap di dada, dan sepasang netranya yang benar-benar terpejam untuk selamanya. Tenang berada dalam pelukan sang Ibunda.

Maaf, karna belum sempat kubalas segala sesuatu yang telah engkau berikan. Hanya do'a yang mampu kulantunkan setiap aku mengingatmu, merindukanmu dalam setiap helaan napasku.

, ....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun