Mohon tunggu...
Rodziatun Yulikha
Rodziatun Yulikha Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN SUNAN KALIJAGA , Pendidikan Biologi 2019

seorang pengagum alam , puisi dan alur dalam film

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Kebun Binatang Dalam Perspektif Bioetika

6 Juni 2022   09:51 Diperbarui: 6 Juni 2022   09:59 3970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi proses pemberian makan satwa (Antaranews.com)

Kebun binatang bukanlah tempat yang asing kita. Jika membicarakan destinasi wisata anak, kebun binatang pasti masuk ke dalam daftar yang wajib dikunjungi. Semasa kecil kita juga sering mengunjungi kebun binatang. Adanya kebun binatang dapat dijadikan sarana edukasi satwa untuk anak-anak. Selain itu kebun binatang yang terstandarisasi juga bisa menjadi habitat terbaik satwa di tengah rusaknya habitat asli mereka. Kebun binatang termasuk bentuk umum dari lembaga konservasi yang untuk pengembangbiakan dan atau penyelamatan satwa dengan tetap menjaga kemurnian jenis guna menjamin kelestarian keberadaan dan pemanfaatannya. Namun, di antara banyaknya hal positif tersebut ada hal-hal buruk yang diterima satwa sebagai akibat mereka tinggal di kebun binatang. Hal tersebut yakni terkait kurangnya kesejahteraan satwa.

Masalah ketidaksejahteraan satwa memang sering terjadi bahkan dianggap biasa. Banyak alasan yang melandasi hal tersebut terutama dua tahun kebelakang di mana pergerakan masyaratat terbatas dan taraf ekonomi menurun. Banyak orang tak menyadari bahwa tindakan yang melibatkan binatang sekitar kerap melibatkan kesengsaraan di dalamnya. Tercatat pada  tahun 2013 ada  141 hewan yang mati di kebun binatang Indonesia.  Data menunjukkan kematian satwa tertinggi terjadi di salah satu kebun binatang di surabaya.  Kematian janggal juga dialami harimau putih berusia 16 tahun karena  kondisi penangkarannya yang sempit dan  kurang pencahayaan. Padahal,  umumnya di penangkaran harimau bisa memiliki umur hidup hingga 20 tahun. Data tahun 2013 menunjukkan hampir 50 hewan mati  dalam waktu kurang dari 12 bulan. 

Pada bulan Januari 2017, Kebun Binatang Bandung menjadi sorotan karena beredarnya video seekor beruang madu di salah satu penangkaran yang terlihat kurus sambil meminta agar diberi makanan oleh pengunjung. Video tersebut diunggah oleh situs berita internasional, Daily Mail dan  di  publikasikan oleh Scorpion Wildlife Monitoring Group pada 11 Januari 2017. Video tersebut menuai reaksi keras dari aktivis hak asasi binatang maupun media nasional dan internasional. Pada April 2022 , seekor harimau benggala menerkam karyawan kebun bintang sampai tewas. Hal ini menunjukkan jika kurangnya standar kebun bintang juga bisa merugikan manusia itu sendiri. Menurut  Marison Guciano  dari  Indonesia Animal Welfare Society,  Indonesia belum punya standar kesejahteraan satwa, jadi banyak satwa kita hidup dieksploitasi, mengalami pelecehan,kelaparan  maupun kekejaman. 

Lalu, apa kaitannya dengan Bioetika?

Bioetika merupakan sebuah cabang kelimuan dari etika terapan yang membahas permasalahan makhluk hidup dan lingkungannya. Dalam bioetika juga membahas etika hewan. Di Indonesia sendiri memang belum ada regulasi khusus mengenai bioetika atau kesejahteraan hewan namun diatur secara internasional dalam Animal Welfare. Animal Welfare (Kesejahteraan hewan), adalah ekspresi yang berkaitan dengan moral. Dalam hal ini semua manusia bertanggung jawab terhadap binatang yang dipelihara maupun bebas di alam. Dijelaskan lebih lanjut bahwa Dalam teori Kesejahteraan Binatang ada ajaran tentang kepedulian dan perlakuan manusia terhadap masing-masing hewan dan bagaimana masyarakat dapat meningkatkan kualitas hidup hewan tersebut. Setiap jenis satwa liar dan hewan harus dibiarkan hidup bebas di alam atau hidup yang berkualitas dilingkungan yang disesuaikan dengan pola perilaku, kebutuhan serta karakteristik habitat alamnya di kandang.

Sasaran animal welfare adalah semua hewan yang berinteraksi dengan manusia. Termasuk di dalamnya yaitu hewan liar dalam kurungan (Lembaga konservasi, entertainment, laboratorium), hewan ternak dan hewan potong (ternak besar/kecil), hewan kerja dan hewan kesayangan. Animal Welfarememiliki 3 aspek penting yaitu Welfare Science, Welfare ethics  dan Welfare law. Dijelaskan lebih lanjut bahwa Welfare science mengukur efek pada hewan dalam situasi dan lingkungan berbeda, dari sudut pandang hewan. Welfare ethics mengenai bagaimana manusia sebaiknya memperlakukan hewan. Welfare law mengenai bagaimana manusia harus memperlakukan hewan. 

Kepedulian untuk kesejahteraan hewan sering didasarkan pada keyakinan bahwa binatang yang hidupdan pertimbangan kesejahteraan atau penderitaan yang harus diberikan kepada mereka, terutama ketika mereka berada di bawah perawatan dari manusia. Keprihatinan ini dapat mencakup bagaimana hewan disembelih sebagai sumber makanan, bagaimana mereka digunakan dalam penelitian ilmiah, bagaimana mereka dipelihara (sebagai hewan peliharaan, di kebun binatang, peternakan, sirkus, dll.), dan bagaimana aktivitas manusia memengaruhi kesejahteraan dan kelangsungan hidup spesies liar.

Salah satu konsep mengenai animal welfare yang banyak dipakai oleh para pecinta binatang adalah konsep dari World Society for Protection of Animals (WSPA). Konsep animal welfare dari WSPA dikenal dengan nama “Five (5) Freedom“. Ketentuan ini mewajibkan semua hewan yang dipelihara atau hidup bebas di alam memiliki hak-hak/kebebasan yang perlu dipenuhi.

Pertama, Freedom from hunger and thirst (bebas dari rasa lapar dan haus). Kebebasan ini berupa pemberian pakan minum yang cukup dan mudah diakses kapan pun sesuai kehendak binatang. Selain itu jenis pakan yang  diberikan haruslah sesuai dengan pakan alami dan memiliki nutrisi yang seimbang.

Kedua, Freedom from discomfort (bebas dari rasa panas dan tidak nyaman). Caranya yakni dengan memperhatikan kebutuhan hewan terhadap tempat tinggal yang sesuai atau pemberian naungan atau sarang yang sesuai. Selain itu faktor lingkungan yang harus diperhatikan meliputi ukuran kandang, temperatur, kelembaban,ventilasi dan pencahayaan yang harus sesuai dengan kondisi alamiah hewan yang bersangkutan. Pada hewan yang hidupnya berkelompok, contohnya primata, maka peneliti harus memperhatikan sosialisasi dan status hierarki di dalam suatu kelompok.

Ketiga, Freedom from pain, injury, and disease (bebas dari luka, penyakit dan sakit). dapat dilakukan dengan melakukan tindakan pencegahan, danjika telah terkena maka harus mendapatkan diagnosis dan terapi yang tepat.

Keempat, Freedom from fear and distress (bebas dari rasa takut dan penderitaan). dapat dilakukan dengan menghindari prosedur yang menyebabkan rasa takut dan stres pada hewan dan memberikan waktu adaptasi terhadap lingkungan baru, petugas kandang baru, dan pakan baru. Selanjutnya, petugas kandang atau peneliti haruslah petugas yang memiliki keahlian sesuai dengan yang dibutuhkan dan telah mendapatkan pelatihan yang memadai.

Kelima, Freedom to express normal behavior (bebas mengekspresikan perilaku normal dan alami). Secara alamiah dapat diupayakan melalui penyediaan kandang dengan luas yang cukup, kualitas kandang yang baik, dan teman dari hewan yang sejenis dengan memperhatikan sosialisasi, tingkah-laku spesifik (misal cara mengambil makan), serta program pengayaan. Program pengayaan ialah memberikan bentuk-bentuk mainan, bahan atau alat yang dapat digunakan oleh hewan di dalam mengekspresikan tingkah-lakunya, misal tempat berayun untuk primata, serutan kayu untuk rodensia, dan lain sebagainya.

Jadi, jika menerapkan bioetika dalam pengelolaan kebun binatang, sebaiknya pihak pengelola menyediakan keperluan dasar kehidupan satwa seperti pakan, tempat tinggal (kandang / kolam), kesehatan dan keamanan. Memberikan suasana kenyamanan, kesenangan , keinginan dan keuntungan bagi satwa untuk dapat hidup sejahtera. Kebun binatang tersebut dianggap berhasil jika satwa telah telah tumbuh dan berkembang, badan sehat dengan berat seimbang, kemampuan bereproduksi baik dan memiliki masa hidup sebagaimana mestinya. Hal ini juga harus didukung oleh masyarakat umum selaku pengunjung kebun binatang dengan memperlakukan binatang dengan baik.

Referensi: 

Furqon K, Iqbal P W dan Soni S. 2019. SUFFERING IN SILENCE (Cerita Ketidaksejahteraan Kebun Binatang Bandung melalui Visual Aesop’s Fables). e-Proceeding of Art & Design : Vol.6, No.3 hal 4591

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/9876f7a7374402256ce4b83145300cc7.pdf 

https://slidetodoc-com.translate.goog/bekerja-di-lembaga-konservasi-oleh-dr-drh-ligaya/_x_tr_sl=id&_x_tr_tl=en&_x_ tr_hl=en&_x_tr_pto=sc

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun