KKN, kalau mendengar kata itu apa yang terpikirkan di benak kalian? Pasti jawaban kalian beragam, aku prediksi anak-anak muda banyak yang kepikiran tentang cinlok wkwkwk. Ya, nggak salah sih, survei (dari mulut ke mulut) membuktikan banyak kawula muda yang menemukan jodohnya semasa KKN.
Saat dihadapkan masa-masa menjelang KKN umumnya ada dua perasaan yang menghantui, merasa sedih karena harus jauh ninggalin tempat tinggal atau orang tua, dan merasa bersemangat karena bisa keluar (jalan-jalan). Syukur-syukur kalau tempat KKN dekat dengan tempat tinggal, tapi vibesnya kurang kerasa nggak sih kalo kayak gitu?Â
Ya, pada intinya preferensi masing-masing mahasiswa emang beda-beda ya. Satu hal yang pasti adalah KKN merupakan momen yang hanya bisa dilakukan oleh mahasiswa jenjang S1. Kalau S2 atau S3? Sudah tidak ada ya bestie. Jadi, mikirnya tuh KKN harus bener-bener dinikmati karena terjadi sekali seumur hidup. Kecuali kalo kamu ambil S1-nya dua kali, ya, beda lagi ceritanya hehehe.
Oleh sebab itu, pihak kampus menawarkan program KKN yang beragam, mulai dari yang reguler, kolaborasi, nasional hingga internasional. Mau dibawa kemana KKN kita? Kalo kalian suka hal-hal yang menantang dan melatih kemampuan diri, maka program di luar KKN reguler adalah jawabannya. Mengapa? Karena di luar program KKN reguler kalian harus melewati serangkaian seleksi yang disesuaikan dengan kebijakan kampus kalian.
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Ampel Surabaya saat itu menyediakan kuota bagi mahasiswa yang berminat mengikuti KKN Internasional dengan tujuan ke Malaysia dan Thailand. Program KKN yang ditawarkan adalah KKN yang terintegrasi dengan PLP atau magang ala anak pendidikan.
Program tersebut membuat saya tergiur, apalagi di tahun-tahun sebelumnya tidak ada program KKN semacam ini. Gas lah saya mendaftar setelah berpikir cukup panjang, awalnya agak ragu namun akhirnya saya memilih untuk mengikutinya. Saat itu aku juga disibukkan dengan seleksi lomba dan kegiatan lainnya, ya, tahulah ujung-ujungnya gimana, mepet deadline dong.
Hal-hal yang dipersiapkan tentu saja mental dan berkas-berkas seperti transkrip nilai dan surat rekomendasi dari kaprodi serta dosen microteaching karena program KKN integratif ini hanya bisa diikuti oleh mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Bu kaprodi dan sekprodi saat itu sangat mendukung aku karena setiap prodi akan diambil satu orang untuk mendapatkan beasiswa.
Noted beasiswa yang ditawarkan oleh fakultas saat itu hanya tiket pulang pergi, selain itu (biaya akomodasi, paspor, dan lain-lain) ya bayar sendiri. Sejak awal aku sudah mengetahui dan mencari tahu terkait estimasi pengeluaran di negara tujuan, aku sih mikirnya kalau beneran keterima gapapa dah dapat bantuan tiket pulang pergi daripada nggak dapat sama sekali.
Setelah melewati tahap seleksi berkas, alhamdulillah aku lolos dan melanjutkan ke tahap wawancara. Beberapa hari sebelumnya aku sudah berlatih untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan saat seleksi program kampus ke luar negeri, tentunya menggunakan bahasa Inggris karena program internasional.Â
Ternyata oh ternyata, wawancaranya pake bahasa Inggris dan bahasa Arab dong huhuhu. Jujur, saat itu bahasa asing yang cukup aku kuasai adalah bahasa Inggris dan aku kira bisa memilih salah satu. Terus gimana dengan wawancara bahasa Arab saya? Walhasil pertanyaan-pertanyaan bahasa Arab ku lampaui dengan haha hihi (nggak tahu artinya).
Setelah wawancara selesai diri ini diselimuti dengan perasaan campur aduk, di satu sisi senang karena sudah diwawancara, di satu sisi ngerasa agak kecewa karena wawancara berjalan tidak sesuai ekspektasi. Saat itu aku langsung menghubungi teman yang cukup mahir berbahasa Arab dan menceritakan kronologi saat wawancara menggunakan bahasa Arab. Hati ini merasa terhibur saat bisa bercerita dengan orang lain, tak lupa temanku memberikan dukungan dan semangat.
Hari berganti hari, tiba saatnya pengumuman peserta yang lolos mengikuti program KKN-PLP internasional. Saat itu aku sedang mengobrol santai dengan teman kamarku, tiba-tiba smartphone-ku dipenuhi dengan notifikasi dari chat WhatsApp. Ada apa ini? Aku masih tak terpikirkan perihal seleksi waktu itu setelah asyik mengobrol dengan teman sekamarku.Â
Perlahan aku menggeser kunci layar smartphone-ku, WhatsApp-ku dipenuhi dengan ucapan selamat, terutama dari teman-teman sekelas dan seangkatan yang mengetahui info pertama kali. Aku lolos? LOLOS! Seketika itu teman-temanku ikut bersorak merayakan kelolosanku. Tapi, tapi tunggu dulu, mengapa terselip kata "dengan biaya mandiri" di tabel yang sejajar dengan namaku.
Ternyata semua peserta yang lolos seleksi wawancara berhak mengikuti program ini, namun dengan catatan satu orang dari satu prodi lolos dengan beasiswa, sedangkan lainnya lolos dengan biaya mandiri. Aku adalah salah satu peserta yang lolos dengan biaya mandiri di program yang bertempat di Malaysia.
Bagaimana ini? Aku mengabari orang tuaku yang berada di Gresik untuk berdiskusi lebih lanjut apakah aku tetap mengambil program ini dengan biaya mandiri? Aku sempat bimbang untuk memilih. Urusan finansial memang begitu krusial, aku juga menghubungi temanku yang pernah mengikuti pertukaran pelajar di Malaysia.
Aku menghubungi dosenku untuk mempertimbangkan lebih lanjut, beliau adalah salah satu orang yang merekomendasikanku untuk mengikuti program yang pertama kali diselenggarakan ini. Setelah aku mendapatkan informasi dari banyak orang serta mempertimbangkan berbagai aspek dan kemungkinan yang ada, karena waktu untuk melakukan pendaftaran ulang cukup mepet, akhirnya ... akhirnya apa?Â
Akhirnya, aku memilih untuk TIDAK melanjutkan proses daftar ulang program ini. Jujur saja, aku tidak bisa mementingkan egoku sedangkan ada keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan dua orang adik yang juga membutuhkan pembiayaan, ya, dan kita adalah keluarga pas-pasan, kebetulan aku adalah anak pertama. Pembaca yang menjadi anak pertama pasti tahu bagaimana perasaan saya waktu itu?
Bukan tidak mau mengusahakan, tapi menurutku ada banyak jalan menuju Roma (Malaysia). Mungkin tidak hari ini, tapi suatu saat nanti disaat aku sudah siap dengan finansial dan syukur-syukur kalau dapat beasiswa fully funded hehehe. Untuk tiket pulang pergi Surabaya-Malaysia mungkin bagi sebagian orang adalah nominal yang tak cukup besar, tapi bagi saya itu cukup besar dengan waktu yang demikian singkat serta meminimalisir risiko hutang. Toh, masih banyak program KKN lainnya.Â
Baiklah, tidak apa-apa. Kemudian saya menghubungi pihak terkait untuk menginformasikan pengunduran diri saya dari program KKN-PLP Internasional. Saya berlapang dada dan tetap optimis bahwa suatu saat nanti saya pasti bisa menjejakkan kaki untuk belajar di negeri orang, bukan hanya Malaysia.
Saat perkuliahan masuk sebagaimana semestinya, teman-teman saya mengira jika saya akan berangkat ke Malaysia, banyak yang mengucapkan selamat secara langsung. Terima kasih banyak teman-teman, namun jawaban yang keluar dari mulutku tidak sesuai dengan ekspektasi mereka, mohon maaf aku mundur dari program itu karena diterima dengan biaya mandiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI