Mohon tunggu...
Rodliatul Amaliah
Rodliatul Amaliah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Tidak ada yang menarik dari diri saya, kecuali anda melihatnya dengan kaca mata yang berbeda.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Potret Dua Sejoli Era 20-an: Kritik Sosial dalam Salah Asuhan dan Azab dan Sengsara

2 November 2022   11:00 Diperbarui: 2 November 2022   11:04 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Abdoel Moeis dan Merari Siregar merupakan sastrawan yang terkenal pada zamannya, yang mampu menciptakan karya sastra dengan cerita yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh pembacanya. Pada abad ke-20, Merari Siregar menciptakan novel yang berjudul Azab dan Sengsara, disusul dengan Abdoel Moeis dengan judul Salah Asuhan. Kedua novel tersebut berhasil diterbitkan oleh Balai Pustaka, penerbit yang naik daun pada era 20-an. Dengan munculnya novel karya dua sastrawan ternama ini, mampu menggemparkan bangsa, sehingga banyak pembaca yang tertarik dengan novelnya. Hingga saat ini, novelnya masih menjadi perbincangan orang-orang akademik maupun non-akademik. Kedua novel ini berbeda dengan hikayat-hikayat pada umumnya, meskipun menyinggung tentang adat istiadat, tetapi kedua novel ini dikategorikan sebagai sastra modern.

Baik Abdoel Moeis maupun Merari Siregar, keduanya sama-sama seperti mengkritik keadaan sosial di masyarakat. Cerita yang disajikan oleh keduanya berupa persoalan-persoalan yang sering hadir di tengah-tengah masyarakat. Meskipun demikian, kedua penulis ini membumbui alur ceritanya dengan unsur-unsur roman. Sehingga terkesan menarik dan terkesan tidak menyinggung masyarakat secara langsung. Kritik sosial yang disampaikan berupa adat yang terdapat di masyarakat. Di mana dua sejoli yang berbeda status sosialnya dilarang terikat dalam hubungan pernikahan. Adat seperti itu masih berlaku di era abad ke-20, sehingga baik di Salah Asuhan maupun Azab dan Sengsara menyinggung tentang perkawinan perbedaan status sosial. Hal tersebut yang mampu menarik minat pembaca pada masa itu, mereka mampu mendapatkan pemikiran baru mengenai adat yang ada, bahwa adat tersebut sangat meresahkan masyarakat pada umumnya.

Adat mengenai larangan perkawinan perbedaan status sosial dipatuhi oleh kelompok masyarakat, khususnya Sumatra. Sehingga latar tempat yang digunakan dalam kedua novel ini sama-sama berlatar di Sumatra. Di mana, Salah Asuhan mengambil Sumatra Barat sebagai tempat berlangsungnya cerita, karena Abdoel Moeis sendiri berasal dari Sumatra Barat. Sedangkan Merari Siregar berasal dari Sumatra Utara, sehingga pada Azab dan Sengsara juga berlatar di Sumatra Utara. Masa itu banyak penulis yang menggunakan latar tempat sesuai dengan tanah kelahirannya. Selain itu, pada zaman tersebut banyak sastrawan Sumatra yang berhasil mendapatkan pendidikan Belanda. Sehingga banyak karya terbitan Balai Pustaka berlatar Sumatra.

Salah Asuhan dan Azab dan Sengsara sama-sama memberikan roman tentang dua sejoli yang dimabuk asmara. Hal tersebut sudah dirasakan oleh dua tokoh ini sejak masih mengenyam pendidikan di sekolah. Sejak saat itu, mereka sudah berkasih. Dengan demikian, dapat menunjukkan bahwa masa itu hanya anak-anak yang beruntung mendapatkan pendidikan yang merasakan berkasih dengan lawan jenis di sekolah. Karena mengingat tidak semua anak mendapatkan pendidikan di era penjajahan. Mereka yang tidak dapat bersekolah hanya menunggu nasib baik menghampirinya, atau bisa jadi nasib buruk yang didapatinya. Di mana kaum wanita yang tidak bersekolah hanya menunggu jodoh mereka, dan kaum adam hanya dituntut untuk bekerja dan bekerja, tanpa ada jeda untuk berkasih dengan wanita. Berbeda dengan dua sejoli yang digambarkan oleh Abdoel Moeis maupun Merari Siregar, keduanya bisa berkasih sejak sekolah. Sehingga kemodernan zaman tampak pada kedua novel tersebut.

Dua sejoli yang digambarkan oleh Abdoel Moeis maupun Merari Siregar, tidaklah beruntung keduanya. Di mana yang satu kaya, dan yang satu kurang beruntung, atau miskin. Meskipun keduanya sama-sama dapat bersekolah pada orang Belanda, tetapi tidak berarti memiliki perekonomian yang mapan. Tokoh Hanafi pada Salah Asuhan digambarkan sebagai orang yang kurang beruntung dalam segi ekonominya, berbeda dengan kekasihnya, Corrie. Hal tersebut ditampakkan bahwa ia bersekolah karena dibiayai oleh mamaknya. Hampir sama dengan Mariamin dalam Azab dan Sengsara, yang memiliki kehidupan melarat dibandingkan dengan Aminuddin, kekasihnya. Baik Hanafi maupun Mariamin sama-sama tidak memiliki bapak, atau sudah meninggal, sehingga status sosialnya lebih rendah ketimbang kekasihnya. Dengan demikian terdapat kemiripan antara kedua novel ini, dua sejoli digambarkan tidak sederajat, tetapi dengan begitu dapat untuk saling melengkapi.

Meskipun terkesan dapat untuk saling melengkapi, tetapi pada kehidupan sosial masyarakat selalu mempersoalkan kelas sosial. Jika dua sejoli berbeda kelas sosialnya, dalam artian yang satu memiliki status sosial tinggi dan satunya rendah mengikat hubungan dalam pernikahan, maka akan berdampak buruk bagi keduanya untuk kedepannya. Keduanya akan dikucilkan di masyarakat, karena adat tersebut sangat dipatuhi oleh masyarakat pada masa itu. Dampak yang didapatkan tidak hanya menimpa dua sejoli itu saja, tetapi orang tua maupun keluarga dari pihak kelas tinggi juga akan ikut menanggung malu karena ulah anaknya tersebut. Pada masa itu sangat memegang teguh adat yang ada, sehingga baik Abdoel Moeis maupun Merari Siregar seperti menyuarakan suara pemuda pemudi yang tidak dapat menikah hanya dengan sebuah adat yang mempersoalkan status sosial. Di mana, polemik akan terjadi di masyarakat jika memaksakan untuk tetap menikah.

Tentunya pernikahan yang berbeda status sosialnya dilarang oleh keluarga si kelas sosial tinggi. Dalam Salah Asuhan dan Azab dan Sengsara, orang tua dari pihak kelas sosial tinggi melarang anaknya untuk menikah dengan kekasihnya yang notabene orang melarat atau tidak berasal dari keturunan yang beruntung. Namun pada Salah Asuhan perbedaan status sosial yang dimaksud adalah perbedaan antara Corrie yang merupakan keturunan Eropa, dengan Hanafi yang hanya seorang Pribumi. Ayah Corrie melarangnya karena ia khawatir dengan anaknya jika dikucilkan dan dianggap meninggalkan bangsanya, Eropa. Pada zaman itu, pribumi dianggap hina dan tidak memiliki derajat atau status sosial yang sama dengan orang Eropa. Sehingga hal tersebut mampu menghalangi sucinya cinta dua sejoli yang berkasih sejak menginjak bangku sekolah. Lain halnya dengan Salah Asuhan, Azab dan Sengsara mempersoalkan tentang dua sejoli, yaitu Aminuddin dan Mariamin yang hendak menikah, tetapi dihalangi atau dilarang oleh orang tua Aminuddin yang notabene orang kaya, sedangkan Mariamin orang melarat. Meskipun keduanya masih memiliki hubungan keluarga, yang secara adat mereka harus menikah, tetapi ayah Aminuddin menolaknya karena ia tidak ingin memiliki menantu yang melarat hidupnya. Karena hal tersebut dapat berdampak buruk bagi keluarganya, masyarakat akan memandang buruk jika ia mendapatkan menantu seperti Mariamin, meskipun ia salihah.

Karena tidak direstui oleh orang tua untuk menikah dengan kekasih pilihannya. Pada kedua novel ini tokoh laki-laki, yaitu Hanafi dalam Salah Asuhan dan Aminuddin dalam Azab Dan Sengsara dinikahkan dengan wanita yang bukan pilihannya. Sehingga mereka meninggalkan kekasihnya yang malang. Dengan demikian, tampak bahwa budaya patriarki berlangsung di Sumatra, baik Sumatra Barat maupun Sumatra Utara. Kedua novel ini menggambarkan bahwa wanita hidup dengan kisah cinta yang menggantung, wanita tidak mendapatkan rumah tangga yang indah. Kedua wanita ini, yaitu Corrie dan Mariamin menderita ditinggal oleh kekasihnya menikah lebih dahulu ketimbang dirinya. Meskipun demikian, Mariamin dalam Azab dan Sengsara juga pada akhirnya menikah dengan seorang lelaki, tetapi bukan kekasihnya. Ia menderita menikah dengan lelaki tersebut, selain ia tidak mencintai, suaminya juga memiliki penyakit dan memiliki watak keras, sehingga lengkap sudah kesengsaraan yang diterima oleh Mariamin. Berbeda halnya dengan Corrie, meskipun ia ditinggal menikah oleh Hanafi, ia tidak menikah dengan lelaki lainnya, melainkan ia terus melanjutkan pendidikannya.

Tetapi perbedaan juga tampak pada kedua novel ini, di mana Abdoel Moeis mempertemukan kembali dua orang kekasih tersebut, sehingga keduanya dapat menikah. Berbeda dengan Merari Siregar yang tak pernah menyatukan kembali hubungan cinta dari kedua tokoh utamanya. Hal tersebut menunjukkan bahwa tokoh-tokoh dalam Salah Asuhan lebih modern, karena sepasang kekasih tersebut berani untuk menyalahi adat yang ada. Berbeda dengan sepasang kekasih dalam Azab dan Sengsara yang tidak pernah lagi bersama, malah beban hidup yang terus menghantui tokoh wanita, Mariamin. Adat yang berlaku di desa lebih ditaati ketimbang di kota, di mana sepasang kekasih di Salah Asuhan hidup di kota, sehingga dengan mudah untuk menentang aturan, meskipun pada akhirnya dampak buruk dari pernikahan tersebut hadir dengan nyata.

Tokoh wanita yang digambarkan oleh Abdoel Moeis maupun Merari Siregar selain mendapatkan kesengsaraan, juga mendapatkan ajalnya lebih dahulu ketimbang lelaki yang dicintainya. Kedua tokoh wanita ini sama-sama meninggal karena sakit yang membebaninya. Dengan demikian mampu menunjukkan bahwa wanita digambarkan lemah dan penyakitan. Bentuk kritik sosial yang disampaikan kedua sastrawan ini seperti ingin menunjukkan kelemahan wanita karena derita yang bertubi-tubi. Maka dengan demikian, seorang wanita harus dibahagiakan, tidak seharusnya masyarakat memandang rendah wanita, apalagi wanita yang terlahir dari kelas sosial rendah. Meskipun banyak persamaan dari kedua novel ini, tetapi juga terdapat perbedaan. Di mana tokoh laki-laki dalam Salah Asuhan pada akhirnya dikisahkan meninggal dunia, tetapi laki-laki di Azab dan Sengsara diceritakan hidup bahagia bersama istri pilihan orang tuanya. Dengan demikian tampak bahwa Salah Asuhan karya Abdoel Moeis lebih modern, karena menyamakan nasib kedua sepasang kekasih tersebut. Berbeda dengan Azab dan Sengsara yang seperti menindas kaum perempuan, di mana ia hanya hidup untuk merasakan azab dunia, tidak mendapatkan kebahagiaan rumah tangga seperti yang dirasakan oleh tokoh laki-laki tersebut.

Kedua novel ini sama-sama menunjukkan kebudayaan yang ada di masyarakat, bedanya, pada Salah Asuhan menunjukkan potret antara kebudayaan Barat dan Timur yang tidak dapat bersatu dalam ikatan pernikahan. Sedangkan dalam Azab dan Sengsara menunjukkan bagaimana kebudayaan bangsa ini, kebudayaan yang hanya memberikan kesengsaraan pada sepasang kekasih yang ingin terikat oleh pernikahan. Keduanya sama-sama memberikan potret status kelas sosial yang tidak sederajat. Hanya dengan perbedaan tersebut mampu meracuni otak masyarakat untuk mengecam sepasang kekasih yang berbeda status sosialnya. Adat yang buruk tersebut tidak boleh dibiarkan terus terlestarikan, sehingga baik Abdoel Moeis maupun Merari Siregar ingin menghapus adat tersebut melalui kritik sosial yang hadir dalam karya sastranya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun