Mohon tunggu...
Muhammad Rodinal Khair Khasri
Muhammad Rodinal Khair Khasri Mohon Tunggu... Dosen - Penulis Lepas

Peneliti di Collective Academia/ Co-Founder/ Koordinator Bidang Religious dan Cultural Studies; Alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada; sekarang berdomisili di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Menyoal Ide Eco Tourism

1 September 2019   18:05 Diperbarui: 2 September 2019   18:31 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana di lokasi ekowisata Embung Boon Pring di Desa Sanankerto, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Senin (27/3/2017) | (KOMPAS.com / Andi Hartik)

Menengok ke Belakang 

Peradaban manusia tidak lepas dari kontroversi yang tidak jarang menelurkan pemikiran-pemikiran pragmatis yang kemudian menautkan pertentangan antara nurani kemanusiaan dan insting hewani. Kedua istilah cetak tebal tersebut akan saya jelaskan sebagai berikut :

Nurani kemanusiaan dalam pemahaman saya adalah pergumulan dimensi epistemic yang bermain dalam bangunan pengetahuan manusia dengan dimensi intuitif  yang juga merupakan bentuk pengetahuan yang lebih tinggi. 

Pengetahuan yang "lebih tinggi" atau second level ini oleh para spiritualis, terlebih kaum idealis, menyebutnya sebagai pemberian Tuhan atau merupakan dialektika dari pengetahuan tertinggi (dari Tuhan) dan pengetahuan manusia. 

Oleh karena itu, pengetahuan intuitif adalah pengejawantahan sekaligus identik dengan pengulangan memori asali yang bersumber dari Tuhan. Selanjutnya memori tersebut terhubung dengan realitas yang ada, sehingga kita terkadang merasa puas dan menganggap hal yang bagi kebanyakan orang tidak masuk akal menjadi seolah masuk akal. Peneguhan kepercayaan semacam ini sulit untuk dijelaskan kepada orang lain.

Ketika akal dengan sekelumit parameternya yang melekat pada diri subjek yang sedang melakukan objektifikasi terhadap objek berusaha sekuat tenaga untuk agar bisa dikatakan liberal, maka pada saat itu pula terjadi pergulatan dengan intuisi atau ide mutlak yang pada akhirnya menjadi hal yang kontradiksi. 

Pendapat saya tentang intuisi bisa dibandingkan dengan pendapat Hegel tentang akal. Bahwasanya akal adalah kepastian yang sadar tentang semua realitas yang berada." 

Analoginya adalah bahwa seseorang di tengah keramaian entah itu kelompoknya atau bukan, tidaklah merepresentasikan semua realitas karena secara indiviual ia bukanlah sepenuhnya yang nyata, tetapi yang nyata padanya adalah partisipasinya dalam realitas sebagai keseluruhan. Oleh sebab itu, ketika kita menjadi lebih rasional, partisipasi ini meningkat sesuai dengan proporsinya (Russell, 2007:956).

Idea yang mutlak, yang padanya logika berujung, adalah sesuatu yang mirip dengan Tuhannya Aristoteles. Yang mutlak tidak dapat memikirkan apa-apa selain memikirkan dirinya sendiri, karena tidak ada yang lain, kecuali pada pemahaman realitas secara parsial dan keliru. Ruh (spirit) adalah satu-satunya realitas, dan bahwa pikirannya dipantulkan ke dalam dirinya sendiri oleh kesadaran-diri (Russell, 2007:957).

Dengan demikian, kondisi otentik manusia adalah nurani kemanusian karena pengetahuan yang pure rasional dengan pengetahuan intuitif bekerja dengan seimbang. 

Manifestasinya adalah ketika manusia melihat dan menyadari dirinya sebagai realitas yang ilusif karena realitas yang sesungguhnya ada adalah bukan parsial melainkan keseluruhan realitas yaitu mencakup manusia sebagai partikel parsial dengan sekelilingnya atau lingkungannya yang terdiri dari the others baik itu benda hidup maupun benda mati. 

Hal ini sangat memungkinkan manusia untuk care terhadap kesatuan realitas yakni dengan menjaga kelestarian lingkungan yang juga merupakan implementasi dari segala sesuatu yang diberi predikat sustainable atau berkelanjutan.

Insting Hewani adalah lawan yang kontradiksi dengan nurani kemanusiaan yang saya jelaskan di atas. Istilah nafsu predator sendiri merupakan istilah pribadi yangs aya gunakan sehingga sangat memungkinkan untuk didebat. 

Flashback ke seribu tahun lebih yang lalu, yakni perkataan Plautus pada sekitar tahun 945 bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lain (homo homini lupus). 

Manusia cenderung untuk mengikuti nafsu laiknya serigala yang bertindak sebagai predator bagi mangsa-mangsanya. Melihat sisi hewan (wild side) dari manusia adalah mudah sekali. Lihat saja ketika ia sedang lapar. 

Lapar yang dimaksudkan di sini bukanlah sebatas lapar biologis tentang hasrat makan dan minum, melainkan lebih dari itu. Kekuasaan juga adalah bagian dari rasa lapar yang akan dilengkapi dengan penaklukan sebagai rasa hausnya, yang kemudian ke-aku-an adalah sebagai rasa puas dimana lapar dan haus telah terpenuhi.

Maka tidak heran jika pembangunan berkelanjutan (sustainable development) menjadi suatu hal yang ideologis dan bahkan utopis. Mengapa demikian? 

Jawabannya adalah sederhana "bagaimana mungkin dalam waktu yang bersamaan nafsu predator yang tercermin dalam upaya membangun demi uang dengan iming-iming kesejahteraan bersama yang ujung-ujungnya nikmat terbesarnya hanya dinikmati oleh segelintir pemegang modal dapat harmonis dengan upaya melestarikan dengan tulus."

ilustrasi mendaki (Sumber Foto: ThoughtCo)
ilustrasi mendaki (Sumber Foto: ThoughtCo)

Hal seperti itulah yang terjadi ketika mengupayakan pembangunan berkelanjutan tidak berangkat dari tahapan paling awal yakni kesadaran eksistensial. Padahal, kesadaran itu sendiri adalah hal yang sangat fundamental dalam memanifestasikan ide. 

Mungkin kita akrab dengan istilah keterasingan yang sangat lumrah digunakan oleh orang-orang yang menyebut dirinya sebagai orang kiri. Mereka memusatkan perhatian pada dampak yang ditimbulkan oleh elit ekonomi sejak awal revolusi Industri di Perancis. 

Semenjak revolusi Industri yang ditandai pula dengan menjamurnya mekiri-pemikir modernis, oleh para pengkritiknya menganggap bahwa semangat kaum modernis terutama dalam moderenisasi industri sangatlah bahaya bagi manusia sebagai manusia yang utuh. 

Yang dimaksud dengan utuh di sini adalah manusia yang sadar dengan dirinya dan lingkungannya atau lebih tepat jika disebut sebagai kesadaran historis dimana ia mampu secara jelas melihat dan memahami kesejarahan dirinya di masa lampau, masa kini, dan masa mendatang. 

Segala aksiden yang menempel terutama yang mereduksi nilai kemanusiaan menjadi samar akibat dari hilangnya kesadaran eksistensial diri. Oleh sebab itu, manusia-manusia yang terpapar oleh birahi modernitas menjadi hidup seolah mesin yang telah diprogram oleh penciptanya.

Merefleksi ke masa kini, dimana kapitalisasi sungguh merajalela menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari hubungan mistis dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan juga manusia dengan lingkungannya. 

Lingkungan itu mencakup alam dan hewan. Dalam hal ini, saya memposisikan diri sebagai kritikus kapitalisme yang mungkin tidak dipungkiri masih kerap kali hipokrit karena memang di zaman sekarang ini, menjadi kritikus kapitalisme adalah suatu hal yang cenderung lucu karena setiap insan yang hidup terkecuali para mistikus ulung pasti terjerat lingkaran setan kapitalisme. 

Untuk membela diri agar tidak dicap sebagai orang bodoh dan dangkal yang hanya melihat sisi gelap kapitalisme, saya menekankan bahwa di sini saya memang bertindak sebagai kritikus yang ingin melihat dampak negatif kapitalisme.

Eco Tourism

Dilansir dari situs studipariwisata.com (diakses pada tanggal 18/07/2018 pukul 17:07 WIB), dijelaskan pengertian eco-tourism sebagai berikut:

Dalam bahasa Indonesia istilah ecotourism diterjemahkan menjadi "Ekowisata", yaitu sejenis pariwisata yang berwawasan lingkungan. 

Maksudnya, melalui aktivitas yang berkaitan dengan alam, wisatawan diajak melihat alam dari dekat, menikmati keaslian alam dan lingkungannya sehingga membuatnya tergugah untuk mencintai alam. Semuanya ini sering disebut dengan istilah Back-To-Nature.

Berbeda dengan pariwisata yang biasa kita kenal, ekowisata dalam penyelenggaraannya tidak menuntut tersedianya fasilitas akomodasi yang modern atau glamour yang dilengkapi dengan peralatan yang serba mewah atau bangunan artifisial yang berlebihan.

Pada dasarnya, ekowisata dalam penyelenggaraannya dilakukan dengan kesederhanaan, memelihara keaslian alam dan lingkungan, memelihara keaslian seni dan budaya, adat-istiadat, kebiasaan hidup (the way of life), menciptakan ketenangan, kesunyian, memelihara flora dan fauna, serta terpeliharanya lingkungan hidup sehingga tercipta keseimbangan antara kehidupan manusia dengan alam sekitarnya.

Wacana atau ide eco-tourism menurut hemat saya dilatarbelakangi oleh perasaan khawatir terhadap kelestarian alam akibat ulah manusia. Fenomena alam yang dijelaskan oleh para ilmuwan yang tentunya bukan sekadar asumsi-asumsi kosong, namun melalui serangkaian penelitian ilmiah memberitakan tentang kondisi Bumi, terutama udara dan lapisan atmosfer. 

Kerusakan masif yang diderita oleh bumi sebagai satu-satunya tempat berlangsungnya kehidupan (walaupun para ilmuwan sampai saat ini berusaha merealisasikan imajinasi mereka tentang keberadaan alien dan tempat alternatif selain bumi untuk kehidupan) menjadi penggerak utama bagi manusia-manusia yang "sadar" untuk berpikir bagaimana mengatasi permasalahan tersebut. 

Salah satu contohnya adalah eco-tourism. Melihat kembali penjelasan tentang eco-tourism di atas, tentu bukan menjadi suatu hal aneh jika kita menemukan banyak sekali pertanyaan mendasar tentang kesuksesan eco-tourism itu sendiri. 

Mungkin sekilas permasalahan realisasi ide eco-tourism tidak begitu terlihat kasat mata. Perlu perhatian spesial untuk dapat mengambil langkah mana yang tepat untuk merealisasikan eco-tourism yang pastinya salip menyalip dan bahkan sangat dimungkinkan untuk dihegemoni oleh arus kapitalisasi.

Curahan Hati Orang Desa 

Merupakan seseorang yang berasal dari Lombok, dimana Lombok merupakan salah satu destinasi wisata terkenal di Indonesia. Namun, pengalaman saya sebagai orang asli Lombok melihat perkembangan pariwisata yang begitu pesat memang tidak dapat dipungkiri selalu menjadi hal yang dilematis. 

Di satu sisi, saya bangga dan senang melihat kemajuan pariwisata di Lombok yang berimplikasi pada pembangunan infrastruktur yang bisa dibilang masiv. Namun, di sisi lain saya merasakan cemas. 

Mengapa? Karena setahu saya, sustainable development yang ramah lingkungan atau narasi besar tentang ekowisata atau eco-tourism masihlah cemerlang di tataran ide saja. Implementasinya masih sangat dipertanyakan. 

Contoh nyata, sekarang, detik ini, banyak pantai di Lombok yang sebelumnya merupakan pure area publik yang siapa saja bisa berkunjung dengan bebas ke sana. 

Namun, seiring dengan masuknya investor baik itu asing maupun dalam negeri, membawa dampak menyedihkan yang memang dilematis bagi masyarakat Lombok pada umumnya. Pantai-pantai nan indah tersebut kini menjadi privat beach karena sudah dibeli oleh Investor Asing. 

Pembangunan hotel-hotel, serta betonisasi area pantai adalah hal yang menjadi kebanggan bagi pemerintah daerah. Saya hanya khawatir 10 tahun kedepan, akses publik terhadap pesona indahnya pulau Lombok, bahkan surga dunia lainnya di Indonesia menjadi susah. 

Terlepas dari sentimen saya tentang pembangunan yang masih dihegemoni kapitalisme yang melibatkan aparatur negara, terdapat hal yang lebih oenting yaitu kesadaran masyarakat akan kepemilikan atau ke-aku-an kearifan lokal mereka masing-masing. 

Seperti halnya di Bali, ada wacana Ajeg yang memang digiatkan oleh para pejuang pariwisata Bali sebagai pakem atau gembok yang mengunci dan sekaligus meregenerasi semangat menjaga kearifan lokal daerah. Memulai suatu hal dalam tataran kesadaran adalah hal yang sangat fundamental dan sekaligus paling sulit untuk direalisasikan.\

Referensi:

Russell, Bertrand. 2007. Sejarah Filsafat Barat. Terjemahan Sigit Jatmiko dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
studipariwisata.com (diakses pada tanggal 18/07/2018 pukul 17:07 WIB)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun