Mohon tunggu...
Muhammad Rodinal Khair Khasri
Muhammad Rodinal Khair Khasri Mohon Tunggu... Dosen - Penulis Lepas

Peneliti di Collective Academia/ Co-Founder/ Koordinator Bidang Religious dan Cultural Studies; Alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada; sekarang berdomisili di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Apa itu Teologi Pembebasan?

31 Agustus 2019   16:13 Diperbarui: 1 September 2019   18:09 1843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Episcopal Cafe

Prolog

Agama sejatinya hadir sebagai pedoman hidup manusia yang mampu membebaskan manusia dari segala sesuatu yang mereduksi nilai-nilai kemanusiaan. Melihat dunia yang sekarang ini, muncul kegelisahan tentang bentuk riil dari pengaplikasian agama. Dimensi praktis agama terejawantahkan pada misi pembebasan yang dibawa oleh setiap agama di dunia. Dalam setiap kandungan yang diklaim sebagai firman Tuhan, pasti memuat nilai-nilai pembebasan yang juga kaitannya dengan universalitas ajaran dengan segala implikasinya, dimulai dari konteks peradaban partikular dari keseluruhan umat manusia. Misal saja, dalam dunia Islam, pewahyuan oleh Allah kepada utusan-Nya bisa dibilang sangat kontekstual, yakni sangat berkaitan erat dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Contoh lain dapat kita lihat pada tidak sedikit ayat dalam Al-Quran yang diturunkan sebagai jawaban dari pertanyaan yang mewakili permasalahan yang tengah dihadapi Nabi Muhammad Saw.

Mansour Fakih dalam pengantarnya dalam Prasetyo (2015) menjelaskan tentang sejarah diturunkannya Islam berdasarkan konteks kesejarahan manusia : Ketika diturunkan dalam konteks zamannya, Islam pada dasarnya merupakan gerakan spiritual, moral, budaya, politik serta sistem ekonomi alternatif. Tentu saja 'alternatif' terhadap sistim dan budaya Arab yang waktu itu tengah mengalami pembusukan dan proses dehumanisasi.

Selain itu Islam juga lahir sebagai jalan pembebasan dan kemanusiaan dari dua kekuatan global zamannya, yakni kekuasaan Romawi di Barat dan Bizantium di Timur. Namun, semangat alternatif Islam ini tak bertahan lama, seperti ditunjukkan dalam perjalanan sejarah, mengalami pasang surut sampai akhirnya sulit mempertahankan watak sebagai gerakan alternatif. Masyarakat Islam, justru kini menjadi pihak yang disoroti oleh setiap orang, saat membicarakan proses dehumanisasi, ketidakadilan gender, berpandangan intoleran dan sebagainya. Islam tiba-tiba kehilangan citra diri sebagai pewaris gerakan pembebasan dan penegak keadilan, apalagi gerakan alternatif terhadap sistem dan ideologi dehumanisasi masa lalu.

Penjelasan Singkat tentang Teologi

Teologi merupakan setiap perkataan Tuhan yang diwahyukan kepada utusannya, lalu interpretasi atas perintah Tuhan tersebut diimplementasikan ke arah praktis sehingga bisa juga disebut sebagai refleksi atas keimanan yang dipegang oleh seseorang. Secara etimologis, istilah teologi merupakan satu term yang disusun oleh dua komposisi kata utama dalam bahasa Yunani yakni theos yang berarti Tuhan, selanjutnya logia yang berarti kata-kata. Sehingga, arti secara singkatnya adalah perkataan Tuhan.

Saya sebagai seorang pengkaji, melihat bahwa dalam bangunan keagamaan, selain ritus yang paling nampak, ada juga hal yang tidak kalah penting untuk dipahami yakni bagaimana nilai-nilai teologis tersebut---sebagai perkataan Tuhan yang kudus---dapat dibumikan dalam konteks kehidupan manusia. Hal tersebut lah yang kemudian menjadi tantangan utama bagi pelayan hukum dan ilmu agama atau biasa disebut sebagai pemuka agama.

Senada dengan penjelasan singkat saya di atas, dalam kacamata teolog Kristiani yaitu Karl Rahner dan Herbert Vorgrimler dalam Nitiprawiro (2013), menjelaskan bahwa istilah "teologi" berasal dari kata Yunani, deologia (theologia), yang berarti pembicaraan tentang tuhan-tuhan atau Tuhan, khususnya secara legendaris atau filosofis. Dalam arti yang lurus (bukan filosofis, bukan naturalis, bukan mitologis, dan bukan pula metafisis), "teologi" pada dasarnya adalah usaha yang sadar dari orang Kristiani untuk mendengarkan bisikan wahyu-sabda yang dinyatakan oleh Tuhan dalam sejarah, menyerap pengetahuan tentangnya dengan menggunakan metode-metode keilmuan dan untuk merefleksi tuntutan-tuntutan langkahnya pada tindakan.

Kadar dogmatis pada teologi bukanlah hal yang membuat pengejawantahannya menjadi tereduksi. Perdebatan dogma sentris memang seolah tanpa akhir. Permasalahan yang melatar belakangi perdebatan yang memunculkan pula asumsi-asumsi yang seolah mengadili bahwa teologi itu merupakan hal yang kaku adalah tentang bagaimana seorang interpreter mengaitkan teologi tersebut dengan upaya penyelesaian masalah manusia. Menurut hemat saya, bagaimanapun bentuk dari teologi entah itu secara partikular difokuskan pada muatan moral-normatif haruslah ditelisik secara bijak yaitu dengan mengharmonisasikan sudut pandang yang meliputi transendensi dan imanensi teologi itu sendiri.

Sejarah Teologi Pembebasan

Sejarah kemunculan teologi pembebasan yaitu berangkat dari pergerakan haluan kiri yang gencar dilakukan di Amerika Latin. Walaupun demikian, pada dasarnya nyawa dari teologi pembebasan telah ada seiring dengan perkembangan penyebaran agama.

Istilah "pembebasan", sebagai term khas Amerika Latin, yang secara khas muncul pada dokumen Medellin (1968), merupakan istilah yang dibakukan sebagai reaksi terhadap istilah "pembangunan" (development) yang hidup subur baik di Amerika Latin maupun di bagian bumi lainnya. Istilah "pembangunan" membawa misi sistem ekonomi politik liberal kapitalis. Sistem tersebut mengetengahkan dalil bahwa ekonomi politik akan meratakan hasilnya kepada semua pihak yang berperan serta di dalamnya baik dengan modalnya maupun dengan tenaganya, apabila mekanisme pertukaran pasar dibiarkan berjalan dengan sendirinya. Campur tangan pemerintah hanya dibenarkan sejauh menyediakan ruang bagi pasar untuk berfungsi dan sejauh ada dampak negatif yang harus dikoreksi. Misalnya, dengan jaminas sosial bagi kaum buruh yang menganggur, pengadaan persekolahan, rumah sakit, dan jalan-jalan yang memperlancar sistem pasar tersebut (Nitiprawiro, 2013).

Pertumbuhan GNP (Gross National Product) yang pada saat dimulainya pembangunan terpusat pada sektor masyarakat yang gemuk modal. Dengan meningkatnya GNP dan mutu tenaga kerja, kemakmuran akan menetas ke semua lapisan masyarakat. Filsafat ekonomi semacam ini, sejak tahun 1950, diekspor ke negara-negara berkembang oleh negara-negara maju sampai hari ini. Sistem liberal kapitas tersebut, di negara-negara berkembang, termasuk di kawasan Amerika Latin justru menimbulkan jurang yang semakin dalam antara yang miskin dan yang kaya, antara negara miskin dan negara kaya. Ketergantungan serta proses periferalnya semakin tajam; negara miskin yang diperiferi semakin tergantung pada negara kaya. Implikasi lainnya juga dapat dilihat pada ketergantungan desa pada kota, buruh yang marginal semakin menggantungkan nasibnya pada majikannya. Situasi ini oleh CELAM II di Medellin disadari sebagai institutionalized violence (kekerasan yang menginjak si miskin yang telah menjadi lembaga). Oleh karena itu, istilah "pembangunan" tidak lagi menjadi istilah yang mengungkapkan kerinduan rakyat, tetapi istilah yang sudah menjadi milik kaum penindas dan penguasa untuk membenarkan praktik penindasannya. Maka dari itu, istilah yang cocok untuk rakyat yang tertindas adalah "pembebasan" (Nitiprawiro, 2013).

Belenggu kapitalisme barat yang dipersubur semenjak revolusi industri sekitar tahun 1750-1850 menjadi pemicu pergerakan yang hampir merata, terutama mereka yang secara langsung menjadi roda penggerak ekonomi negara Barat. Memang term Barat di sini dapat dikatakan menjadi istilah yang merujuk pada negara-negara adi daya (sebutan bagi pemegang kendali ekonomi dengan kepemilikan modal terbesar). Penerapan sistem kapitalisme yang secara halus membuat negara-negara non-Barat secara tidak langsung ketergantungan baik dari segi ekonomi, sosial, dan politik. Kedaulatan akan ketiga hal tersebut seolah menjadi semakin utopis karena cengkraman pengaruh barat yang kolonialis semakin menjadi-jadi.

Istilah teologi pembebasan itu sendiri merupakan istilah yang pertama kali digagas dan dibukukan oleh Gustavo Gutierrez pada tahun 1971. Dengan diterbitkannya karya-karya Gustavo Gutierrez pada tahun 1971 tersebut, maka teologi pembebasan barulah benar-benar dikatakan telah terlahir. Dalam bukunya yang berjudul Liberation Theology: Perspectives, Gutierrez mengajukan berbagai gagasan anti kemapanan yang kemudian membawa pengaruh kuat terhadap doktrin Gereja (Löwy, 2013).

Jauh sebelum buku karya Gutierrez diterbitkan, nyawa dari teologi pembebasan sudah muncul dan ditambah lagi dengan kemunculannya di tengah tradisi yang cenderung represif dan konservatif di Amerika Latin membuatnya semakin menarik. Upaya terobosan baru yang dilakukan oleh pihak Gereja di awal 1960 tersebut menurut Thomas C. Bruneau dalam Löwy (2013) tidak lain adalah upaya Gereja untuk mempertahankan pengaruh mereka.

Kemunculannya di tengah konservatisme memang sangat tepat dan monumental. Bagaimanapun, ditengah gencarnya usaha untuk memoderasi teologi yang tak jarang justru menimbulkan antitesa baru yang juga menjadi permasalahan baru, di waktu yang sama juga militansi kaum puritan sangatlah perlu diacungi jempol. Keseimbangan dalam dinamika pemaknaan teologi sebagai background tindakan praxis sebagai ekspresi keagamaan dapat terjadi dengan adanya dua kubu yang berdialektika secara sehat.

Asumsi ini terlepas dari problem-problem dekadensi akal sehat seperti pemahaman yang membabi buta akan nilai agama yang semakin didogmatisasi. Dalam sejarah kemunculannya di Amerika Latin, Teologi Pembebasan juga dilahirkan dari rahim-rahim teolog liberal dan juga para teolog konservatif yang berusaha memerangi politisasi teologi oleh penguasa yang diktator.

Perselisihan pendapat antara golongan konservatif dengan golongan pembaharuan yang ingin meliberasi kekakuan sebagai bentuk hegemoni kristen di Vatikan dijelaskan pula oleh (Löwi, 1999) bahwa teologi pembebasan yang berkembang di Amerika Latin adalah pergerakan yang didasarkan pada konsep Gereja Orang Miskin yang merupakan bagian dari perjuangan kelas dalam tubuh Gereja di Amerika Latin. Pada saat itu memang hierarki Gereja sangatlah kuat sehingga ortodoksi pun menjadi suatu corak paham yang berkembang dalam Gereja. Terlebih, kecaman keras dari Vatikan atas ide-ide teologi pembebasan juga ternyata didukung oleh bentuk kecaman yang sama yang dilontarkan oleh hierarki tertinggi Gereja Katolik Amerika Latin (CELAM, yakni konferensi para uskup se-Amerika Latin) yang dipimpin oleh Uskup Kolumbia Alfonso Lopez Trujillo.

Kondisi riil yang melanda Amerika Latin pada saat itu adalah problematika kemiskinan. Maka tidak mengherankan jika kemiskinanlah yang merangsang pergerakan untuk melawan ketidakadilan yang juga merasuk hingga ke ranah agama, yang pada saat itu adalah agama kristen. Hirarki politik dalam tubuh gereja pun tidak dapat dihindari. Jabatan uskup dan petinggi gereja lainnya selain sebagai jabatan suci keagamaan, juga merupakan jabatan politik yang dikontrol oleh paham konservatisme yang langsung dikontrol oleh Vatikan (Löwi, 1999).

Kehadiran gereja orang miskin menjadi keunikan tersendiri yang juga menelanjangi modus-modus politik yang tumbuh subur dalam tubuh gereja. Dampak dari semua itu adalah krisis eksistensial yang melanda umat. Kondisi ekonomi yang sulit menjadi permasalahan yang berlarut-larut. Kesadaran akan kondisi riil yang diderita menjadi pudar karena iming-iming bahwa tindakan politik kotor terhadap umat menjadi sah-sah saja karena dibalut dengan nuansa teologis. Hal semacam inilah yang menjadi objek pergerakan sekaligus perlawanan dari para teolog pembebasan.

Refferensi

Löwy, Michael. 2013. Teologi Pembebasan. Terjemahan Roem Topatimasang. Yogyakarta: INSISTPress.

Nitiprawiro. 2013. Teologi Pembebasan. Yogyakarta: LkiS

Prasetyo, Eko. 2015. Islam Kiri: Melawan Kapitalisme Modal dari Wacana Menuju Gerakan. Yogyakarta: Resist Book.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun