Istilah "pembebasan", sebagai term khas Amerika Latin, yang secara khas muncul pada dokumen Medellin (1968), merupakan istilah yang dibakukan sebagai reaksi terhadap istilah "pembangunan" (development) yang hidup subur baik di Amerika Latin maupun di bagian bumi lainnya. Istilah "pembangunan" membawa misi sistem ekonomi politik liberal kapitalis. Sistem tersebut mengetengahkan dalil bahwa ekonomi politik akan meratakan hasilnya kepada semua pihak yang berperan serta di dalamnya baik dengan modalnya maupun dengan tenaganya, apabila mekanisme pertukaran pasar dibiarkan berjalan dengan sendirinya. Campur tangan pemerintah hanya dibenarkan sejauh menyediakan ruang bagi pasar untuk berfungsi dan sejauh ada dampak negatif yang harus dikoreksi. Misalnya, dengan jaminas sosial bagi kaum buruh yang menganggur, pengadaan persekolahan, rumah sakit, dan jalan-jalan yang memperlancar sistem pasar tersebut (Nitiprawiro, 2013).
Pertumbuhan GNP (Gross National Product) yang pada saat dimulainya pembangunan terpusat pada sektor masyarakat yang gemuk modal. Dengan meningkatnya GNP dan mutu tenaga kerja, kemakmuran akan menetas ke semua lapisan masyarakat. Filsafat ekonomi semacam ini, sejak tahun 1950, diekspor ke negara-negara berkembang oleh negara-negara maju sampai hari ini. Sistem liberal kapitas tersebut, di negara-negara berkembang, termasuk di kawasan Amerika Latin justru menimbulkan jurang yang semakin dalam antara yang miskin dan yang kaya, antara negara miskin dan negara kaya. Ketergantungan serta proses periferalnya semakin tajam; negara miskin yang diperiferi semakin tergantung pada negara kaya. Implikasi lainnya juga dapat dilihat pada ketergantungan desa pada kota, buruh yang marginal semakin menggantungkan nasibnya pada majikannya. Situasi ini oleh CELAM II di Medellin disadari sebagai institutionalized violence (kekerasan yang menginjak si miskin yang telah menjadi lembaga). Oleh karena itu, istilah "pembangunan" tidak lagi menjadi istilah yang mengungkapkan kerinduan rakyat, tetapi istilah yang sudah menjadi milik kaum penindas dan penguasa untuk membenarkan praktik penindasannya. Maka dari itu, istilah yang cocok untuk rakyat yang tertindas adalah "pembebasan" (Nitiprawiro, 2013).
Belenggu kapitalisme barat yang dipersubur semenjak revolusi industri sekitar tahun 1750-1850 menjadi pemicu pergerakan yang hampir merata, terutama mereka yang secara langsung menjadi roda penggerak ekonomi negara Barat. Memang term Barat di sini dapat dikatakan menjadi istilah yang merujuk pada negara-negara adi daya (sebutan bagi pemegang kendali ekonomi dengan kepemilikan modal terbesar). Penerapan sistem kapitalisme yang secara halus membuat negara-negara non-Barat secara tidak langsung ketergantungan baik dari segi ekonomi, sosial, dan politik. Kedaulatan akan ketiga hal tersebut seolah menjadi semakin utopis karena cengkraman pengaruh barat yang kolonialis semakin menjadi-jadi.
Istilah teologi pembebasan itu sendiri merupakan istilah yang pertama kali digagas dan dibukukan oleh Gustavo Gutierrez pada tahun 1971. Dengan diterbitkannya karya-karya Gustavo Gutierrez pada tahun 1971 tersebut, maka teologi pembebasan barulah benar-benar dikatakan telah terlahir. Dalam bukunya yang berjudul Liberation Theology: Perspectives, Gutierrez mengajukan berbagai gagasan anti kemapanan yang kemudian membawa pengaruh kuat terhadap doktrin Gereja (Löwy, 2013).
Jauh sebelum buku karya Gutierrez diterbitkan, nyawa dari teologi pembebasan sudah muncul dan ditambah lagi dengan kemunculannya di tengah tradisi yang cenderung represif dan konservatif di Amerika Latin membuatnya semakin menarik. Upaya terobosan baru yang dilakukan oleh pihak Gereja di awal 1960 tersebut menurut Thomas C. Bruneau dalam Löwy (2013) tidak lain adalah upaya Gereja untuk mempertahankan pengaruh mereka.
Kemunculannya di tengah konservatisme memang sangat tepat dan monumental. Bagaimanapun, ditengah gencarnya usaha untuk memoderasi teologi yang tak jarang justru menimbulkan antitesa baru yang juga menjadi permasalahan baru, di waktu yang sama juga militansi kaum puritan sangatlah perlu diacungi jempol. Keseimbangan dalam dinamika pemaknaan teologi sebagai background tindakan praxis sebagai ekspresi keagamaan dapat terjadi dengan adanya dua kubu yang berdialektika secara sehat.
Asumsi ini terlepas dari problem-problem dekadensi akal sehat seperti pemahaman yang membabi buta akan nilai agama yang semakin didogmatisasi. Dalam sejarah kemunculannya di Amerika Latin, Teologi Pembebasan juga dilahirkan dari rahim-rahim teolog liberal dan juga para teolog konservatif yang berusaha memerangi politisasi teologi oleh penguasa yang diktator.
Perselisihan pendapat antara golongan konservatif dengan golongan pembaharuan yang ingin meliberasi kekakuan sebagai bentuk hegemoni kristen di Vatikan dijelaskan pula oleh (Löwi, 1999) bahwa teologi pembebasan yang berkembang di Amerika Latin adalah pergerakan yang didasarkan pada konsep Gereja Orang Miskin yang merupakan bagian dari perjuangan kelas dalam tubuh Gereja di Amerika Latin. Pada saat itu memang hierarki Gereja sangatlah kuat sehingga ortodoksi pun menjadi suatu corak paham yang berkembang dalam Gereja. Terlebih, kecaman keras dari Vatikan atas ide-ide teologi pembebasan juga ternyata didukung oleh bentuk kecaman yang sama yang dilontarkan oleh hierarki tertinggi Gereja Katolik Amerika Latin (CELAM, yakni konferensi para uskup se-Amerika Latin) yang dipimpin oleh Uskup Kolumbia Alfonso Lopez Trujillo.
Kondisi riil yang melanda Amerika Latin pada saat itu adalah problematika kemiskinan. Maka tidak mengherankan jika kemiskinanlah yang merangsang pergerakan untuk melawan ketidakadilan yang juga merasuk hingga ke ranah agama, yang pada saat itu adalah agama kristen. Hirarki politik dalam tubuh gereja pun tidak dapat dihindari. Jabatan uskup dan petinggi gereja lainnya selain sebagai jabatan suci keagamaan, juga merupakan jabatan politik yang dikontrol oleh paham konservatisme yang langsung dikontrol oleh Vatikan (Löwi, 1999).
Kehadiran gereja orang miskin menjadi keunikan tersendiri yang juga menelanjangi modus-modus politik yang tumbuh subur dalam tubuh gereja. Dampak dari semua itu adalah krisis eksistensial yang melanda umat. Kondisi ekonomi yang sulit menjadi permasalahan yang berlarut-larut. Kesadaran akan kondisi riil yang diderita menjadi pudar karena iming-iming bahwa tindakan politik kotor terhadap umat menjadi sah-sah saja karena dibalut dengan nuansa teologis. Hal semacam inilah yang menjadi objek pergerakan sekaligus perlawanan dari para teolog pembebasan.
Refferensi