Seketika itu juga
Semilir angin malam menusuk raga
Menerbangkan dedaunan yang telah menua
Mereka terbang dalam malam yang gelap gulita
Terbawa angin yang entah tak jelas arahnya
Langit malam dan gumpalan awan teduh
Betapa dingin menyelimuti tubuh yang rapuh
Terhempaslah wajahku yang begitu lusuh
Hanyut, melebur pada ruang kumuh
Bagai bayi suci tanpa pengasuh
Guratan cahaya lampu temaram
Menelisik celah sempit dari atap berlogam
Terpukul olehnya hingga terasa lebam
Aku menggigil dalam diam
Terpojok kembali dalam sebuah dimensi hitam
Kuingin berontak dan bergerak
Dengan semangat yang menyeruak
Tidak!
Aku belum mampu tegak
Tanpa bantuan sebuah tonggak
Kucoba sejanak memejamkan mata
Mengimajinasikan sebuah realita
Sebuah hal yang belum bisa kupercaya
Akankah aku mengikutinya
Ikut hanyut bagai salmon menuju samudera
Ini adalah gejolak semu
Sampai kapan akan menghantuiku
Sampai merinding bulu kudukku
Rapuh yang tak henti menderu
Dalam ruang gelap berbias cahaya semu
Ranting lemah kian menggelayut
Tertiup angin bagai hidup yang karut marut
Suara merdu penghuni malam dan goyangan rumput
Membuat dahi ini akhirnya mengerut
Kuberpikir kadang hidup ini memang tak runtut
Aku ingin kau mendekapku
Erat dalam kehangatan nyata, bukan tipu-tipu
Bukan pula sebuah bujuk rayu
Yang perlahan mungkin akan membunuhku
Angin yang sedari tadi terus saja berlalu tiba-tiba membisikkanku
Diamlah! Tenanglah! Memohonlah!
Rangkailah kembali
Serpihan kaca yang telah kau pecahkan tadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H