“Yes, tepat sekali. Menurutku itulah indahnya BPJS Kesehatan, mengajarkan kita untuk berbagi. Ketika kita menjadi peserta BPJS berarti kita menjadi bagian dari kesehatan Indonesia, itu artinya iuran kita itu dengan rela dan ikhlas kita serahkan pada BPJS Kesehatan untuk dipakai dengan sebaik-baiknya untuk nolong siapapun yang sedang sakit dan butuh pertolongan dimana saja di Indonesia, dan kalo kau termasuk salah satu yang memberi iuran itu artinya berkat iuranmu itu banyak orang tertolong dan terselamatkan”, jawab saya kembali dengan penuh nada optimis sambil tersenyum.
Beberapa waktu kemudian, sosialisasi BPJS Kesehatan pun dimulai. Semua orang mendengarkan sebagian masih terus menggerutu tentang ketidaksepakatannya dengan penggunaan iuran yang disetor ke BPJS. Saya mendengarkan dengan teliti sambil menunggu sesi tanya jawab. Sangkin banyaknya yang bertanya, saya tidak kebagian nanya. Yang jelas siang itu berakhir dengan banyak perdebatan. Sosialisasi berubah jadi aksi curhat meskipun dokter Fadly sebagai narasumber dan perwakilan BPJS Kesehatan Padangsidimpuan dengan sabar terus berusaha memuaskan hati para penanya.
Saya memang belum menjadi peserta BPJS Kesehatan, itu karena kami semua civitas akademika di kampus menunggu MoU antara BPJS Kesehatan dengan kampus. Kalau MoU sudah oke, saya berniat segera mendaftarkan diri berikut 4 orang anggota keluarga lainnya yang boleh saya tanggung dengan pemotongan gaji otomatis dari rekening pribadi saya. Saya sangat mendukung program BPJS Kesehatan ini karena saya sendiri merasa lebih banyak manfaatnya daripada ruginya. Selain kita ‘sedia payung sebelum hujan’ maka kita juga bergotong-royong dalam mendukung Indonesia yang lebih sehat. Semoga keikutsertaan kita menjadi peserta BPJS menjadi ladang amalan juga.
Menurut penuturan ibu mertua saya, kala itu bapak mertua mendadak tidak bisa bicara dengan kondisi fisik pada bagian mulut dan wajah yang tidak seperti biasanya. Dokter pun dipanggil lalu bapak mertua dicek dan direkomendasikan untuk dirawat ke rumah sakit tersebut secepatnya, sebelum terlambat. Dokter berkata seharusnya tidak perlu ragu karena ibu dan bapak kan punya ASKES, disana akan dilayani dengan baik. Ibu mertua saya kemudian membawa bapak mertua ke rumah sakit tersebut dan apa yang terjadi selanjutnya. Pihak rumah sakit meminta untuk ditunjukkan ASKES milik bapak mertua untuk bisa pendataan. Masuk langsung di kelas I. Di ruangan perawatan hanya ada 2 orang beserta 2 anggota keluarga yang menjaga bergantian.
“gak bisa kubayangkan kalo gak ada ASKES waktu itu”, begitu katanya dengan haru bahagia.
Perlu diketahui dulu memang namanya ASKES tapi sekarang sudah berganti ke JKN-BPJSK semenjak 1 Januari 2014. Pelayanannya sama dan peranannya pun sama. Masih bertujuan menjadikan Indonesia yang lebih sehat dengan cara gotong-royong.
Mungkin masih banyak yang bertanya-tanya, rilnya gimana sih ‘gotong-royong’ untuk Indonesia yang lebih sehat itu. Coba lihat kasus Ibu Titin yang mengalami pembengkakan jantung berdomisili di Lampung. Bayangkan berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh ibu dan keluarganya tersebut jika tanpa BPJS Kesehatan. Menurut penuturan anaknya, setiap berobat paling tidak keluar 2 juta. Untuk memperoleh 2 juta dalam sekejab tentu tidak mudah. BPJS Kesehatan membuat semua jadi mungkin. Bagaimana caranya? Subsidi silang. BPJS Kesehatan menolong masyarakat yang kurang mampu seperti ibu Titin dengan memanfaatkan dana yang terkumpul dari iuran seluruh peserta BPJS Kesehatan yang ada di Indonesia. Dengan kata lain, siapa yang sakit dan membutuhkan pertolongan ya itu dulu yang diprioritaskan dan seterusnya semakin banyak dana di BPJS Kesehatan terkumpul tentu akan semakin banyak dan semakin cepat orang sakit tertolong / terselamatkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H