Dhir adalah salah satu bentuk larangan atau tindakan yang dilakukan dalam tradisi masyarakat Arab pra-Islam yang diatur oleh syariat Islam setelah datangnya wahyu. Secara harfiah, dhir berasal dari bahasa Arab yang berarti "memisahkan" atau "menghindar". Dalam konteks sosial dan hukum pada masa tersebut, dhir merujuk pada tindakan seorang suami yang mengatakan kepada istrinya bahwa dia lebih terlarang baginya daripada ibunya, dengan maksud menghindari hubungan seksual. Tindakan ini dianggap sebagai bentuk pelecehan atau penghinaan terhadap wanita.
Tindakan dhir ini menjadi salah satu masalah yang cukup kontroversial dalam masyarakat Arab pada masa itu. Seorang suami dapat melakukan tindakan ini sebagai cara untuk menjatuhkan atau menghindari kewajiban terhadap istrinya tanpa melalui proses perceraian yang sah. Jika seorang suami mengucapkan pernyataan seperti itu, maka pada masa pra-Islam, perempuan tersebut akan merasa terhina dan terasing, dan suami tersebut tidak perlu memberikan hak-hak yang seharusnya diterima oleh istri.
Setelah kedatangan Islam, praktik dhir ini dilarang secara tegas dalam Al-Qur'an, yang diatur dalam Surah Al-Mujadila (58:2-4). Dalam ayat tersebut, Allah memberikan hukum terkait larangan dhir dan menetapkan bahwa hal tersebut bukanlah cara yang sah untuk memutuskan hubungan suami-istri. Sebagai gantinya, hukum Islam memberikan hak kepada wanita untuk meminta pemisahan secara sah melalui perceraian atau proses hukum lainnya yang adil. Bahkan, jika seorang suami melakukan tindakan dhir, ia diwajibkan untuk memberikan fidyah (denda) berupa memberi makan atau memberikan pakaian kepada istrinya.
Menurut Bahasa arab, Dhihar diambil dari kata yang bermakna punggung. Hal ini karena orang-orang yahudi mengibaratkan istri yang digauli sebagai kendaraan yang ditunggangi, sehingga mereka melarang menggauli istri dari belakang karena dapat mengakibatkan lahirnya anak yang cacat. Kemudian di dalam syariat Islam, zhihar digunakan untuk seluruh anggota tubuh sebagai qiyas (analogi) dari kata zhihar itu sendiri..
Dhihar secara istilah adalah seorang ucapan mukallaf (dewasa dan berakal) kepda istrinya bahwa dia sama dengan ibunya, namun menurut Abun Hanifah mengatakan bahwa tidak hanya ibu tetapi bisa juga dengan wanita yang lain yang haram untuk dinikahi baik hal itu karena hubungan darah, perkawinan, penyusuan, maupun sebab lain seperti "Punggung kamu seperti punggung saudara perempuanku" sebagaimana juga dikatakan oleh Quraish Shihab dalam tafsirnya. Namun menurut pendapat Jumhur Ulama' mengatakan bahwa yang dikatakan zhihar hanya mempersamakan istri dengan ibu saja seperti yang termaktub dalam al-Qur'an dan sunnah Rasul. Sehingga mempersamakan istri dengan wanita muharramat selain ibu belum dikatakan zhihar, sedangkan menyamakan istri dengan ibu atau muharramat untuk suatu penghormatan atau ungkapan kasih sayang tidak dikatakan zhihar namun perbuatan tersebut dibenci oleh Rasulullah
Ayat-ayat yang membahas tentang dhihar.
Q.S. Al-Mujadalah 1-4
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
Q.S al-mujadilah 58:2
"Orang-orang yang menzihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta, dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun."
Q.S al-mujadalah 58:3
"Orang-orang yang menzihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
Q.S al-mujadalah 58:4
"Siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih."
Konteks/ Asbabun Nuzul.
Sebab turunnya surat al-mujadalah ayat 1-4 berkenaaan dengan pegaduan sahabat Bernama khaulah binti tsa`labah yang dhijar oleh suami ya yakni Aus bin Shamit. Dari Khaulah bin Tsalabah dia berkata," Tentang diriku dan Aus bin Shamit, demi Allah, Allah menurunkan awal surat Al-Mujadalah, "Dia berkata, "Saya berada bersamanya (istrinya) dan dia adalah lelaki tua dan akhlaknya jelek. Dia berkata, "Suatu hari dia masuk menemui saya dan saya melawannya dalam satu hal. "Maka dia marah dan berkata, "Sesungguhnya engkau bagiku, laksana punggung ibuku!" Khaulah berkata, "Kemudian dia keluar dan duduk di kelompok kaumnya, beberapa saat. Lalu dia masuk kembali menemui saya. Tibatiba dia menginginkan saya." Dia berkata, "Saya katakan, "Tidak mungkin, demi Dzat yang jiwa Khaulah ada ditangan-Nya, kau tidak berhak menyentuhku lagi. Sebab kau telah mengatakan apa yang telah engkau katakan, hingga Allah dan Rasulullah menentukan hukum di antara kita berdua dan hukum-Nya. Dia melompat padaku dan aku cegah dia, hingga aku akhirnya mampu mengalahkannya sebagaimana seorang wanita mampu menekuk lelaki yang sudah lemah. Maka aku keluarkan dia dariku."
Dia berkata, "Kemudian saya keluar pada sebagian tetanggaku dan aku meminjam pakaian darinya. Lalu saya keluar hingga saya datang menemui Rasulullah saw. Maka saya duduk di depan Rasulullah dan saya sebutkan apa yang saya terima dari Aus Ash-Shamit dan saya adukan padanya apa yang saya alami dari keburukan akhlaknya."
Dia berkata, "Maka Rasulullah bersabda, "Wahai Khaulah anak pamanmu itu adalah lelaki tua, maka bertakwalah kepada Allah dalam dirinya."
Dia berkata, "Demi Allah, tidak sempat saya bermalam hingga Al-Quran diturunkan mengenai saya. Rasulullah gusar sebagaimana biasa gusarnya, kemudian dia gembira karenanya dan beliau berkata pada saya, "Wahai Khaulah, Allah telah menurunkan mengenai masalahmu dan masalah sahabatmu itu, suatu ayat Al-Alquran." Lalu dia membaca ayat itu, "Sesungguhnya Allah Telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat. Orang-orang yang menzhihar istrinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih." (Al-Mujadalah:1-4)
Dia menuturkan; Maka bersabdalah Rasulullah saw. pada saya, "Suruhlah dia membebaskan budak. "Dia berkata, "Dia tidak memiliki sesuatu yang bisa digunakan untuk membebaskan budak!" Rasulullah bersabda, "Hendaknya dia puasa dua bulan berturut-turut!" Dia berkata, "Sesungguhnya dia seorang lelaki tua, dia tidak mampu berpuasa!" Rasulullah bersabda, "Hendaknya dia memberi makan enam puluh orang miskin dengan satu wasaq korma (kira-kira enam puluh gantang)!"
Dia berkata, "Demi Allah, ya Rasulullah, dia tidak mempunyai semua itu!" Maka Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya kami akan membantunya dengan faraq korma yang lain!" Dia berkata , "Maka saya berkata, "Wahai Rasulullah, dan saya pun akan membantunya dengan satu faraq yang lain juga!" Rasulullah bersabda, "Engkau benar, dan engkau telah melakukan kebaikan! "Maka pergilah dan bersedekahlah dengannya atas namanya, kemudian berwasiatlah pada anak pamanmu dengan kebaikan!" Dia berkata, "Maka aku akan mengerjakannya
Ayat 1: Menegaskan bahwa Allah mendengar pengaduan wanita yang mengajukan gugatan tentang suaminya.
Ayat 2: Menjelaskan bahwa istri tidak boleh disamakan dengan ibu mereka; pernyataan zihar adalah dusta.
Ayat 3: Mengatur bahwa jika seorang suami ingin menarik kembali pernyataan zihar, ia harus memerdekakan seorang budak sebelum berhubungan intim.
Ayat 4: Jika tidak mampu memerdekakan budak, maka ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan enam puluh orang miskin.
Melalui ayat-ayat ini, Allah memberikan kejelasan hukum dan melindungi hak-hak perempuan dalam pernikahan, serta menunjukkan betapa pentingnya keadilan dalam hubungan suami istri. Dan kemudian dari cerita tersebut Allah menegaskan prinsip hukum dan hakikat persoalannya dalam ayat 2, dan setelah itu dalam ayat 3 setelah mengaskan prinsip hukum secara jelas dan berfokus , dijelaskan tentang keputusan penyelesaian masalah zihar kemudian melanjutkan ketentuan hukum zihar dalam ayat 4 surat al-mujadalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H