1. Pemulihan Legitimasi Politik
      Kebijakan Pemulihan Legitimasi Politik yang dilakukan oleh Presiden BJ. Habibie selama masa pemerintahannya adalah salah satu dari beberapa kebijakan yang signifikan dalam proses demokratisasi di Indonesia. Pemulihan legitimasi politik ini dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik Indonesia yang telah dirusak oleh rezim otoriter sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Presiden Soeharto.
Kebijakan ini termasuk dalam upaya BJ. Habibie untuk mengubah gaya kepemimpinan yang otoriter menjadi lebih demokratis. Ia membuka keran kebebasan yang sebelumnya ditutup rapat-rapat di era Soeharto dan membebaskan tahanan politik era Orba. Kebijakan ini juga mencakup penghapusan larangan pers dan memberikan kesempatan berupa jejak pendapat terkait persengketaan wilayah Timor-Timur.
Pemulihan legitimasi politik BJ. Habibie juga melibatkan penghapusan beberapa undang-undang yang dianggap tidak demokratis dan menggantinya dengan undang-undang yang lebih demokratis. Contohnya, undang-undang partai politik yang dikeluarkan BJ. Habibie membuka peluang berdirinya partai-partai politik yang baru dan menyediakan penyelenggaraan pemilihan umum yang terbuka dan demokratis.
Dalam konteks kebijakan luar negeri, BJ. Habibie juga berupaya untuk meningkatkan legitimasi politik Indonesia dengan cara meningkatkan interaksi diplomatik dan kerjasama internasional. Ia berupaya untuk meningkatkan citra Indonesia di kancah internasional dengan cara meningkatkan partisipasi Indonesia dalam organisasi internasional dan meningkatkan kerjasama dengan negara-negara lain.
Dalam sintesis, kebijakan pemulihan legitimasi politik BJ. Habibie adalah bagian dari upaya yang lebih luas untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik Indonesia dan meningkatkan demokratisasi di Indonesia. Kebijakan ini mencakup berbagai aspek, termasuk kebebasan pers, pemilu yang bebas dan demokratis, serta penghapusan larangan pers dan memberikan kesempatan berupa jejak pendapat terkait persengketaan wilayah Timor-Timur.
2. Kebebasan PersÂ
Pada masa rezim sebelumnya, pers mendapat pembungkaman dan dipaksa untuk dapat mengikuti opini pemerintah, sehingga ketika pers melakukan penentangan akan diberikan hukuman. Menurut laporan Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia, lahirnya UU Pers No. 40 Tahun 1999 pada masa Habibie memberikan ruang pers untuk dijadikan sebagai bentuk kedaulatan Indonesia. Oleh karena itu, undang-undang ini merupakan landasan kebebasan pers Indonesia yang sering dilarang di bawah rezim sebelumnya (Fallderama, 2019; Utami, 2022). Kebijakan ini juga dilakukan melalui pencabutan izin pers atau SIUPP untuk memeriksa pers. Jadi kita lihat acara TV, koran, atau radio mana yang bagus. Jika isinya dianggap tidak baik, maka SIUPP akan dihentikan (Devina, 2022).
3. Pelaksanaan Referendum Timor-TimurÂ
Pada 27 Januari 1999, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan opsi dalam penyelesaian Timor Timur. Pemerintah memiliki dua opsi untuk masa depan terkait wilayah Timor Timur, termasuk menerima atau menolak adanya otonomi khusus. Konsekuensi dari dua opsi tersebut, tercapainya perjanjian segitiga di New York yang dihadiri pemerintah Indonesia, Portugal dan PBB, membahas referendum di Timor Timur dan pemeliharaan perdamaian dan keamanan di Timor Timur (Saptohadi, 2013).
Referendum dibagi menjadi tujuh tahapan. Yang pertama adalah tahap perencanaan dan pelaksanaan dari tanggal 10 Mei sampai dengan 15 Juni 1999. Yang kedua adalah tahap sosialisasi/informasi publik dari tanggal 10 Mei sampai dengan 15 Agustus 1999. Yang ketiga adalah tahap persiapan dan pendaftaran dari tanggal 13 Juni sampai dengan 17 Juli 1999. Tahap keempat adalah tahap pengajuan keberatan terhadap daftar peserta jajak pendapat 18 sampai 23 Juli 1999. Tahap kelima adalah tahap kampanye politik dari 20 Juli sampai 5 Agustus 1999. Keenam masa tenang, 6 sampai 7 Agustus 1999. Dan ketujuh masa pemilu, 8 Agustus 1999 (Andrianto, 2013).