Film Napoleon karya Ridley Scott menjadi sorotan utama dengan mengeksplorasi sisi peperangan, sejarah, dan kisah cinta yang sulit dipisahkan dari kehidupan Napoleon Bonaparte. Dalam penggarapan film ini, Ridley Scott lebih fokus pada aspek asmara, menciptakan sebuah kisah yang terasa seperti kuda ksatria yang berjalan pincang—indah namun memiliki nuansa yang ganjil.
Dari awal, film ini telah dinantikan oleh banyak pihak, terutama mereka yang tertarik dengan aspek sejarah Eropa. Napoleon Bonaparte, sebagai tokoh sentral dalam film ini, memegang peranan penting dalam membentuk peradaban Eropa melalui penaklukannya yang bersejarah. Sehingga, film ini tidak hanya menjadi sekadar hiburan visual, tetapi juga sebuah karya yang membawa penonton melintasi lorong waktu, menjelajahi kehidupan dan cinta Napoleon dalam konteks peperangan dan sejarah yang begitu kaya.
Ridley Scott, pembuat film Napoleon, telah lama menjadi sorotan sejak pengumuman proyek ini. Sejumlah sejarawan sejak awal telah mengkritik pendekatan Scott terhadap narasi sejarah Napoleon Bonaparte, terutama setelah melihat trailer film ini. Mereka memandang film yang diperankan oleh Joaquin Phoenix ini sebagai suatu bentuk distorsi terhadap fakta sejarah.
Kekhawatiran para sejarawan ini menjadi lebih nyata ketika film ini ditonton secara utuh. Meskipun Ridley Scott telah menegaskan bahwa Napoleon akan menyoroti sisi romantis kaisar Prancis tersebut dalam hubungannya dengan Joséphine, namun implementasinya terasa kurang memadai. Dalam upaya menonjolkan romansa yang dramatis, Scott harus tetap menyisipkan elemen-elemen sejarah penting, seperti adegan peperangan dan pertempuran yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Napoleon.
Dengan durasi yang cukup panjang, sekitar 158 menit atau lebih dari 2,5 jam, Scott tampak kesulitan untuk memberikan proporsi yang seimbang antara drama romantis dan epik sejarah. Film ini mulai tanpa memberikan dasar latar belakang kehidupan awal Napoleon di Ajaccio, Kepulauan Corsica di Laut Mediterania. Sebaliknya, Scott langsung memulai narasi dengan adegan dramatis pemenggalan Marie Antoinette, yang mungkin dimaksudkan untuk menghadirkan ketegangan awal dalam film.
Film Napoleon karya Ridley Scott, yang menarik perhatian banyak pihak, terutama mereka yang tertarik pada sejarah Eropa, terbuka dengan ekspektasi tinggi. Joaquin Phoenix membintangi film ini yang lebih menyoroti sisi asmara Napoleon Bonaparte, suatu pilihan yang tidak biasa mengingat sejarah perang dan penaklukan Prancis yang melekat pada namanya.
Sejak awal, para sejarawan telah menyuarakan kekhawatiran mereka terhadap bagaimana Scott akan menggambarkan Napoleon. Meski Scott menekankan bahwa film ini akan lebih menyoroti sisi romantis kaisar Prancis dengan Joséphine, namun sulit untuk menghindari aspek sejarah dan perang yang menjadi bagian integral dari kehidupan Napoleon.
Dengan durasi yang mencapai 158 menit, Scott berusaha menyeimbangkan elemen-elemen ini, tetapi hasilnya tidak sepenuhnya memuaskan para kritikus. Film ini membuka dengan adegan pemenggalan Marie Antoinette tanpa memberikan latar belakang kehidupan awal Napoleon di Ajaccio, Kepulauan Corsica. Sebagai hasilnya, latar belakang ambisi besar Napoleon pasca-Revolusi Prancis tidak cukup tereksplorasi atau menarik bagi penonton yang tidak familiar dengan sejarah.
Adegan Revolusi Prancis dapat terasa janggal dan kurang diterangkan dengan baik untuk penonton yang tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang peristiwa tersebut. Penggunaan ungkapan seperti 'begundal Corsica' yang sering diucapkan oleh anti-Bonaparte juga dapat mengganggu alur cerita tanpa pemahaman historis yang memadai.
Meskipun demikian, Ridley Scott tetap menonjolkan keunggulannya dalam sinematografi dan perhatian terhadap detail teknis produksi. Hal ini menjadi penyeimbang bagi film ini meskipun sejarahnya terkadang terasa kurang mendalam.
Sejak detik pertama, pesona film ini mulai memikat penonton melalui keindahan angle kamera karya Dariusz Wolski dan nuansa era medieval yang disertai dengan scoring mantap dari Martin Phipps.
Kombinasi luar biasa dari kedua elemen ini menciptakan efek sinematik pada tingkat tertinggi, yang dieksekusi dengan sempurna melalui pemilihan wardrobe dan berbagai perangkat pendukung lainnya. Penonton dapat menikmati kepuasan visual yang memanjakan mata sepanjang durasi film.
Namun, ketika kita menelusuri pengakuan Ridley Scott bahwa benang merah dalam film ini adalah kisah cinta Napoleon dan Josephine, terasa bahwa sutradara Inggris tersebut terlalu bergantung pada ketersediaan fakta sejarah yang mungkin terbatas. Terkadang, pendekatan ini bahkan terkesan mengada-ada, tidak mampu menyajikan cerita cinta tersebut dengan kedalaman yang diharapkan. Meskipun visualnya menawan, ketidakselarasan dengan fakta sejarah dapat mengurangi kualitas narratif film.
Ridley Scott menghadirkan epik perang dalam film ini, menyoroti konflik besar yang mendominasi perjalanan Napoleon Bonaparte. Mulai dari Perang Toulon, Perang Austerlitz, Perang Borodino, hingga kekalahan ikonik sang Kaisar di Waterloo, penonton disuguhkan dengan adegan-adegan dramatis dari berbagai pertempuran bersejarah.
Namun, dalam menyusun potongan-potongan penting dari sejarah tersebut, terasa seperti Scott hanya melekatkan sejumlah informasi dari laman Wikipedia, yang kemudian dihiasi dengan kegemilangan aspek teknis dan penampilan dua bintang utamanya, Joaquin Phoenix dan Vanessa Kirby.
Pertanyaan pun muncul mengenai narasi dan pesan yang ingin disampaikan oleh Scott melalui kisah cinta yang terus-menerus berkembang antara Phoenix dan Kirby, seolah-olah mereka adalah remaja yang tengah menjalani masa tanggung di sepanjang durasi film. Apakah esensi dan kedalaman pesan yang hendak disampaikan dapat mencapai penonton dengan baik melalui romantisme yang diperankan oleh kedua bintang ini?
Ridley Scott nampaknya ingin mengeksplorasi sisi maskulinitas rapuh dari karakter Napoleon Bonaparte melalui penampilan yang kuat dari Joaquin Phoenix. Meskipun penuh potensi, terasa disayangkan bahwa Scott memilih untuk tidak terlalu menekankan akurasi sejarah dalam konteks penggambaran Bonaparte.
Dengan kekayaan kisah legendaris yang dapat dieksplorasi dalam narasi film, ada kesempatan besar untuk menggali lebih dalam aspek dramatis kisah cinta antara Bonaparte dan Joséphine. Kisah ini dapat menjadi landasan kuat untuk menggambarkan ambisi besar Bonaparte dalam menaklukkan Eropa dan wilayah di luar laut Mediterania.
Sayangnya, dalam film ini, kedua elemen tersebut tampak terpisah dan kurang terintegrasi, mungkin membuatnya kurang menarik bagi penonton awam. Hal ini menunjukkan seolah Scott sendiri kesulitan menyatukan kedua aspek yang seharusnya saling melengkapi, menghasilkan representasi romansa yang kurang memikat untuk salah satu tokoh penting dalam sejarah peradaban Eropa.
Film Napoleon seperti mencerminkan bagaimana ambisi dari salah satu pemimpin paling berpengaruh dalam sejarah tampaknya memikat benak Ridley Scott, yang mungkin berharap bisa meraih Piala Oscar pertamanya melalui proyek ini.
Situasinya mengingatkan pada tragedi Napoleon di Waterloo, di mana ia harus berhadapan dengan kekuatan koalisi Inggris dan Prusia yang mengakibatkan keruntuhan kekuasaannya. Dalam film ini, Scott mencoba menghadirkan kembali sosok Napoleon, menggambarkan ambisinya yang tak terpenuhi.
Tetapi, mirip dengan nasib Napoleon di Waterloo, di mana ambisi besar harus berakhir, Ridley Scott mungkin harus berdamai dengan kenyataan bahwa pencapaiannya dalam film ini mungkin takkan mencapai puncak tertinggi yang diimpikannya. Sebuah penggambaran tentang kebesaran yang sekarang hanya tinggal dalam kenangan dan tak lagi dapat digdaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H