Kombinasi luar biasa dari kedua elemen ini menciptakan efek sinematik pada tingkat tertinggi, yang dieksekusi dengan sempurna melalui pemilihan wardrobe dan berbagai perangkat pendukung lainnya. Penonton dapat menikmati kepuasan visual yang memanjakan mata sepanjang durasi film.
Namun, ketika kita menelusuri pengakuan Ridley Scott bahwa benang merah dalam film ini adalah kisah cinta Napoleon dan Josephine, terasa bahwa sutradara Inggris tersebut terlalu bergantung pada ketersediaan fakta sejarah yang mungkin terbatas. Terkadang, pendekatan ini bahkan terkesan mengada-ada, tidak mampu menyajikan cerita cinta tersebut dengan kedalaman yang diharapkan. Meskipun visualnya menawan, ketidakselarasan dengan fakta sejarah dapat mengurangi kualitas narratif film.
Ridley Scott menghadirkan epik perang dalam film ini, menyoroti konflik besar yang mendominasi perjalanan Napoleon Bonaparte. Mulai dari Perang Toulon, Perang Austerlitz, Perang Borodino, hingga kekalahan ikonik sang Kaisar di Waterloo, penonton disuguhkan dengan adegan-adegan dramatis dari berbagai pertempuran bersejarah.
Namun, dalam menyusun potongan-potongan penting dari sejarah tersebut, terasa seperti Scott hanya melekatkan sejumlah informasi dari laman Wikipedia, yang kemudian dihiasi dengan kegemilangan aspek teknis dan penampilan dua bintang utamanya, Joaquin Phoenix dan Vanessa Kirby.
Pertanyaan pun muncul mengenai narasi dan pesan yang ingin disampaikan oleh Scott melalui kisah cinta yang terus-menerus berkembang antara Phoenix dan Kirby, seolah-olah mereka adalah remaja yang tengah menjalani masa tanggung di sepanjang durasi film. Apakah esensi dan kedalaman pesan yang hendak disampaikan dapat mencapai penonton dengan baik melalui romantisme yang diperankan oleh kedua bintang ini?
Ridley Scott nampaknya ingin mengeksplorasi sisi maskulinitas rapuh dari karakter Napoleon Bonaparte melalui penampilan yang kuat dari Joaquin Phoenix. Meskipun penuh potensi, terasa disayangkan bahwa Scott memilih untuk tidak terlalu menekankan akurasi sejarah dalam konteks penggambaran Bonaparte.
Dengan kekayaan kisah legendaris yang dapat dieksplorasi dalam narasi film, ada kesempatan besar untuk menggali lebih dalam aspek dramatis kisah cinta antara Bonaparte dan Joséphine. Kisah ini dapat menjadi landasan kuat untuk menggambarkan ambisi besar Bonaparte dalam menaklukkan Eropa dan wilayah di luar laut Mediterania.
Sayangnya, dalam film ini, kedua elemen tersebut tampak terpisah dan kurang terintegrasi, mungkin membuatnya kurang menarik bagi penonton awam. Hal ini menunjukkan seolah Scott sendiri kesulitan menyatukan kedua aspek yang seharusnya saling melengkapi, menghasilkan representasi romansa yang kurang memikat untuk salah satu tokoh penting dalam sejarah peradaban Eropa.
Film Napoleon seperti mencerminkan bagaimana ambisi dari salah satu pemimpin paling berpengaruh dalam sejarah tampaknya memikat benak Ridley Scott, yang mungkin berharap bisa meraih Piala Oscar pertamanya melalui proyek ini.
Situasinya mengingatkan pada tragedi Napoleon di Waterloo, di mana ia harus berhadapan dengan kekuatan koalisi Inggris dan Prusia yang mengakibatkan keruntuhan kekuasaannya. Dalam film ini, Scott mencoba menghadirkan kembali sosok Napoleon, menggambarkan ambisinya yang tak terpenuhi.
Tetapi, mirip dengan nasib Napoleon di Waterloo, di mana ambisi besar harus berakhir, Ridley Scott mungkin harus berdamai dengan kenyataan bahwa pencapaiannya dalam film ini mungkin takkan mencapai puncak tertinggi yang diimpikannya. Sebuah penggambaran tentang kebesaran yang sekarang hanya tinggal dalam kenangan dan tak lagi dapat digdaya.