Beberapa waktu lalu saya sempat sedikit kesal dengan seorang guru (miss) di sekolah anak. Sebulan sekali saya dan suami memang menyempatkan diri mengantar anak ke sekolah, sementara hari-hari lain dia ikut layanan antar-jemput yang disediakan oleh pihak sekolah.
Setiap kali diantar oleh kami berdua anak saya hampir selalu menangis ketika berpamitan, memang terkadang tangisannya keras namun tidak pernah lama. Kenapa saya tahu kalau tidak lama? Karena kami tidak langsung meninggalkan sekolah hanya ‘menghilang’ dari pandangan anak sambil mendengarkan berapa lama anak itu menangis. Kenyataannya memang tidak lama, setelah menaruh tas di kelas biasanya dia sudah tenang.
Tapi hari itu yang membuat saya kesal karena mendengar salah seorang miss bilang ke koleganya yang mencoba menenangkan anak saya supaya jangan dikasih perhatian, itu cuma tangisan manja, tangisan cari perhatian. Sejujurnya saya langsung kesal dan hendak mengkonfrontasi langsung, tapi suami melarang dengan alasan kalau si anak lihat malah efeknya negatif. Akhirnya saya turuti suami dan mengurungkan niat tersebut.
Saya dan suami sadar bahwa anak kami memang cenderung mengalami separation anxiety. Kondisi ini dia alami biasanya setelah libur atau diantar sekolah oleh kami berdua. FYI, anak kami berusia 3 tahun dan untuk sementara ini kami memilih ia sekolah part time agar imbang apa yang diterima di sekolah dengan apa yang diajarkan oleh orang tua. Kebetulan suami seorang self-employed , kebanyakan pekerjaan dilakukan di rumah. Hanya waktu-waktu tertentu saja dia perlu pergi untuk rapat atau presentasi kepada klien, kadang malah bisa dilakukan lewat Skype. Jadi saat anak tidak sekolah ia banyak menghabiskan waktu dengan ayahnya. Entah diajak pergi, di rumah atau ikut menemui klien.
Situasi tersebut pada satu sisi membuat dia dekat dengan ayahnya, di sisi lain setelah menghabiskan waktu dengan ayahnya tak jarang ia mengalami separation anxiety sehingga enggan sekolah. Namun setelah diyakinkan ia selalu mau berangkat sekolah, kala kendaraan antar-jemput sampai di rumah saja dia selalu tampak antusias.
Jadi tangisan memang hanya muncul saat diantar oleh kami berdua ke sekolah, kadang juga setelah liburan panjang ia menangis di sekolah tapi tidak lama. Setidaknya itu yang saya tahu dari kepala sekolah dan wali kelasnya sebab memang sambil mengantar anak saya menyempatkan diri untuk menanyakan kondisi serta perkembangan anak di sekolah.
Bahwa seorang pengajar/guru/miss di pre-school tidak dapat membedakan antara sikap manja dengan separation anxiety terus terang mengejutkan bagi saya mengingat saat ini ilmu sudah sangat mudah diakses, sebagian besar dari mereka juga masih muda. Asumsinya masih cukup punya waktu, minat dan kemampuan memelajari hal-hal baru.
Separation anxiety bukan hanya wajar pada anak usia pra sekolah, walaupun kebanyakan mulai muncul pada usia 18 bulan. Menurut beberapa sumber yang saya baca termasuk penjelasan dari konsultan dari pemerintah saat kami masih tinggal di Melbourne (yang mana setiap sebulan sekali orang tua wajib menemui konsultan tersebut), kondisi tersebut lebih kerap ditemukan dan lebih sulit dihilangkan pada anak yang memiliki keterikatan kuat dan sehat dengan orang tuanya.
Sama sekali berbeda dengan manja, manja tidak selalu muncul dari anak yang dekat dengan orang tuanya. Sebab manja muncul dari perlakuan lingkungan terhadap dirinya. Misalnya orang tua, kakek-nenek, baby sitter atau bahkan asisten rumah tangga yang terbiasa menolerir sikap negatif seorang anak. Atau justru dilakukan oleh anak yang sedang mencari perhatian secara negatif karena merasa kurang terperhatikan.
Sementara sikap manja timbul salah satunya sebagai akibat dari orang tua yang kurang responsif sehingga anak harus mencari perhatian negatif, tidak demikian halnya dengan separation anxiety. Sebab yang kedua itu (separation anxiety) justru muncul pada anak yang memiliki orang tua responsif semenjak ia masih bayi. Dan orang tua yang bersikap responsif ini memberikan landasan bagi anak nantinya untuk lebih percaya diri mencoba banyak hal, menghadapi berbagai hal meski pada sisi lain sebelum tahap itu terjadi yang bersangkutan terlebih dahulu mengalami kesulitan berpisah dari orang tuanya.
Terkadang entah karena malu, atau tidak tahan orang lain terus menerus menyebut anaknya manja lantas orang tua yang sebenarnya sudah memiliki basis atau dasar yang kuat menjadikan seorang anak benar-benar mandiri tersebut justru kemudian merespon sikap anak secara negatif. Memaksa anak mandiri sebelum waktunya, menolak ketika si anak berharap kepadanya. Akhirnya yang muncul adalah detachment yang justru berdampak negatif pada hubungan anak dengan orang tua, rasa percaya anak kepada orang tua pun kemudian dikorbankan.
Kami enggan mencapai tahap itu, dan kami cenderung tidak ambil peduli dengan penilaian orang lain. Maka ketika seorang miss di sekolah memperlakukan anak kami seperti anak manja yang mencari perhatian negatif tentu saya tidak terima. Lebih-lebih ketika pulang sekolah anak saya mempertanyakan sikap si miss tersebut, ia ingin tahu maksudnya apa. Jadi alih-alih menenangkan, membantu ia mengatasi separation anxiety justru yang bersangkutan menciptakan kebingungan.
Saya yakin anak saya tidak manja, ketika bersikap cari perhatian dengan cara negatif kami tidak memberi toleransi, kami ingatkan tanpa mempermalukan. Sejak usia 1 tahun dia sudah bisa bertanggung jawab membereskan mainan sendiri setelah selesai bermain. Jika dia merengek untuk meminta sesuatu kami menyuruhnya terlebih dahulu bicara dengan nada 'normal' sebelum memutuskan dipenuhi atau tidak keinginannya. Setiap ganti baju dia bisa menempatkan pakaian kotornya ke tempat yang sudah disediakan. Sampah selalu dia buang pada tempatnya, kalau tidak ada disimpan sendiri di saku baju/celana sampai dia menemukan tempat sampah. Masih banyak hal lagi yang bisa saya sebutkan untuk membuktikan dia tidak dimanja.
Usia 6 bulan hingga 4 tahun yang saya pahami memang merupakan usia rentan atau usia dimana anak mengalami kesulitan berpisah dengan orang tuanya. Emosi seperti marah, sedih, kecewa sebagai akibatnya tidak bisa dikesampingkan. Orang dewasa di sekitarnya lebih-lebih yang bertanggung jawab atas si anak mestinya membantu mengatasi emosi, bukan malah mengabaikan seperti yang dilakukan seorang miss di sekolah anak saya itu. Orang tua sudah memercayakan, bayar sekolah juga tidak murah kok malah emosi anak dirusak.
Sebagai orang tua saya paham kalau pengajar harus menghadapi beberapa anak dengan karakter, kebutuhan masing-masing. Tapi bukan berarti mereka punya hak untuk merusak demi menyederhanakan pekerjaannya. Masa depan manusia yang mereka pertaruhkan dalam pekerjaan, jadi tanggung jawabnya tidak main-main.
Dulu kala pertama kali diperkenalkan dengan istilah separation anxiety si konsultan dari pemerintah itu menggambarkan kondisi dalam pernikahan misalnya dimana segala sesuatunya berjalan baik, menyenangkan, komunikasi terbangun baik tiba-tiba si suami atau istri pergi begitu saja tanpa memberi penjelasan. Tentu yang ditinggalkan merasa khawatir akan keselamatan suami atau istri yang pergi, bertanya-tanya akan kembali atau tidak, pada tahap tertentu mungkin juga curiga lari dengan kekasihnya. Kemampuan berpikir anak juga membuatnya mengalami kondisi yang sama kala ditinggalkan orang tua, inilah yang disebut separation anxiety.
Justru anak yang orang tuanya selalu sibuk dengan pekerjaan, menyerahkan pada pihak ketiga untuk menghasuh sehari-hari kemungkinan besar tidak mengalami. Meski pada kasus-kasus terentu separation anxiety kemudian beralih kepada kakek/nenek atau bahkan baby sitter.
Jadi please deh miss,lebih berhati-hati kalau bersikap. Saya tahu pekerjaan Anda tidak mudah, saya tahu Anda mungkin punya masalah pribadi tapi jangan main-main sama masa depan manusia meski saat ini terlihat kecil di mata Anda. Saya menghormati Anda dan pekerjaan yang Anda lakukan, tapi saya tidak bisa tolerir kalau berpotensi negatif untuk anak saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H