Mohon tunggu...
Rachel Williams
Rachel Williams Mohon Tunggu... -

Rumors are started by haters, spread by fools, and accepted by idiots

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Negeriku oh Negeriku Part 1: Sopan atau Arogan?

26 September 2013   05:27 Diperbarui: 18 Agustus 2015   17:31 915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanpa terasa bulan depan tepat lima belas tahun sudah aku merantau di negeri orang. Kota Melbourne, Australia yang lima belas tahun lalu merupakan tempat asing bagiku kini sudah menjadi bagian hidupku sehari-hari. Terkadang ketika sesuatu sudah menjadi keseharian kita lantas menganggap semuanya menjadi biasa saja, rasa syukur seringkali terlupakan. Beruntung aku berkesempatan untuk pulang ke Indonesia saat Lebaran kemarin dan menghabiskan waktu selama sekitar satu bulan di tanah kelahiranku.

Tinggal selama sebulan di tanah air pada satu sisi membuatku bersyukur akan hidupku saat ini di sini, namun di sisi lain membuatku gundah karena ada hal-hal dan kebiasaan-kebiasaan di negeri ku tercinta yang merisaukan. Tulisan kali ini adalah luapan rasa galau, mungkin bagi sebagian orang apa yang hendak kutulis ini terasa bagai kritikan yang menyakitkan. Padahal tulisan ini akhirnya jadi juga aku buat karena kegelisahanku, kegelisahan yang muncul karena peduli, karena cinta cinta terhadap tanah airku Indonesia.

Namun jika memang dianggap menyakitkan, biarlah demikian sebab bukan tujuanku pula mengubah persepsi orang lain. Dan yang kutuliskan ini mewakili pula perasaan teman-temanku sesama orang Indonesia yang merantau di kota ini dan masih peduli terhadap tanah air kami. Perjalanan ku dan keluarga ku di Indonesia dimulai dari Jakarta, namun itu hanya sesaat sebab kami lalu melanjutkan perjalanan kami ke Yogya untuk mengunjungi beberapa kenalan di kota itu.

Selama berada di Yogya kami menginap di sebuah hotel di Jl. Adi Sucipto. Di hotel itu pulalah kegelisahan hatiku mulai muncul. Setelah check-in kami menuju ke kamar lewat lift, lift itu tidak terlalu besar jika dibandingkan rata-rata lift di Melbourne. Berhubung pegawai hotel kala itu sangat sibuk maka daripada menunggu kami pilih membawa barang sendiri. Kami masuk ke lift dan tak tak ada orang lain yang menunggu, menjelang pintu lift ditutup seorang ibu berlari kecil maka suamiku pun menekan tombol untuk menahan lift. Ternyata si ibu bersama keluarganya. Dilihat saja sudah jelas akan sangat memaksa jika mereka semua ditambah kami yang sudah ada di dalam lift naik bersamaan.

Namun rupanya si ibu menghendaki seluruh keluarganya naik lift tersebut, aku yang membawa bayi berusia lima bulan dalam gendongan terdesak ke belakang. Karena si ibu dan keluarganya ini nampak tak peduli maka dengan sedikit panik aku bilang: Aduh, maaf hati-hati ada bayi! Si ibu justru melirik dengan sinis kepadaku lalu berkata pada salah satu anggota keluarganya yang masih ada di luar lift: Sudah masuk..masuk masa lift segini ngga cukup? Kala itu aku sadar suamiku tampak naik pitam, sebab sebelumnya dia sudah sempat jengkel dengan serobotan antrian berkali-kali di resepsionis yang tak pernah kami alami selama lima belas tahun di Melbourne.

Melihat suamiku yang tampak sudah mulai hilang kesabaran aku pun memegang tangannya berusaha menenangkan sambil menjaga anak dalam gendonganku agar tidak terhimpit oleh orang-orang dewasa. Situasi ini sungguh mengagetkan bagi kami berdua. Di Melbourne ibu hamil dan ibu yang menggendong bayi selalu didahulukan. Di dalam lift, di jalan maupun di dalam alat transportasi publik. Ketika aku naik ke dalam tram misalnya, sekalipun masih ada tempat duduk namun lokasinya susah dijangkau maka beberapa orang yang sudah duduk pasti segera berdiri tanpa diminta dan mempersilakan aku untuk duduk.

Kalau aku sedang tidak menggendong bayi mungkin situasi di lift tadi aku maklumi, mungkin si ibu khawatir kalau anggota keluarganya kesasar jika tidak naik lift bersama-sama. Namun karena membawa bayi, rasanya wajar jika aku mengkhawatirkan keselamatan anakku.

Kejadian tersebut hanyalah permulaan dari jurnalku selama sebulan di tanah air. Kebiasaan lain yang mungkin jarang disadari oleh sebagian besar dari kita adalah sebuah kebiasaan buruk yang rasanya sudah membudaya: kebiasaan mengumpat. Betapa terkejutnya aku setelah sekian lama tidak berada di tanah air dan menyadari bahwa umpatan menjadi bagian keseharian masyarakat di sana (Indonesia). Mulai umpatan dalam bahasa lokal, dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Baik yang sedikit halus seperti (maaf) Asem! hingga yang lebih kasar seperti kosa kata yang berkaitan dengan kebun binatang.

Ironisnya kebiasaan ini bukan hanya dilakukan oleh mereka yang kurang berpendidikan namun juga oleh mereka yag cukup berpendidikan. Entahlah, mungkin masyarakat terlalu sering nonton film asing dan menerimanya mentah-mentah atau memang sudah membudaya dari awalnya. Di film-film sering kita dengar umpatan-umpatan sepertin fk, s..t dan sebagainya.

Mungkin hal itu terdengar keren bagi telinga penonton sehingga begitu saja menirukan. Mengingat sebagian film asing tersebut berasal dari AS, aku tak bisa menjawab apa hal-hal tersebut (umpatan dalam film) adalah sebuah kewajaran yang memang terjadi di sana. Namun yang pasti di Melbourne dan Australia pada umumnya kata-kata umpatan macam ini dan sejenisnya hampir tidak pernah diucapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Ya, beberapa kali memang umpatan tersebut terdengar di tempat-tempat umum, tapi tebak siapa yang melakukannya? Orang Asia! Orang Asia yang notabene adalah orang Timur yang mengklaim serta mengaggung-agungkan diri lebih mengerti sopan santun ketimbang orang Barat! Unbelievable! yah itulah kata yang sering digunakan Melbournian ketika mereka betul-betul jengkel terhadap sesuatu atau sekedar menggelengkan kepala, pastinya bukan kata-kata umpatan kasar yang sering dipertontonkan oleh film-film Barat.

Lebih-lebih di depan anak-anak, belum pernah kutemukan orang dewasa mengumpat atau menggunakan kata-kata kasar di depan anak-anak. Lain hari aku mengajak anakku untuk berjalan-jalan pagi di sekitar tempat tinggal orang tuaku. Tak jauh dari situ aku mendengar candaan antara seorang tukang bubur (seorang ibu) dengan seorang pelangan (seorang bapak). Candaan itu adalah candaan seksual, padahal banyak pelanggan lain termasuk anak kecil dan remaja yang sedang mengantri membeli bubur.

Lagi-lagi sebagai bangsa Timur yang mengaku lebih mengerti sopan santun dan sering menghujat budaya Barat fakta tersebut sangat bertolak belakang. Candaan seks di depan umum apalagi ada anak-anak dan remaja di sekitarnya juga bukan hal yang lumrah terjadi di tempat tinggalku sekarang.

Aku jadi teringat ketika masih menjadi karyawan di salah satu perusahaan di Indonesia sebelum kami berangkat ke Melbourne. Candaan dengan topik seks cukup sering terjadi dalam keseharian di kantor, di Melbourne hal ini bisa jadi masalah serius kalau sampai terjadi. Gaya berpakaian orang Barat sering tak diterima oleh orang Timur, tidak sopan katanya, vulgar katanya. Asal tahu saja, pada saat Summer memang banyak orang berpakaian minim (minim untuk ukuran di Indonesia), namun selama hampir lima belas tahun aku tinggal di Melbourne belum pernah aku temukan pria ataupun wanita bersikap sinis atau melakukan pelecehan hanya karena gaya berpakaian itu.

Di Indonesia sebaliknya, tak jarang laki-laki duduk beramai-ramai di pinggir jalan atau dimanapun lalu berkomentar seksis terhadap wanita yang lewat sekalipun pakaiannya sopan (dalam persepsi orang Indonesia). Bagiku terserah orang mau berpandangan seperti apa mengenai sopan santun dalam berpakaian. Pastinya aku sendiri meyakini bahwa manusia bukan binatang. Manusia punya akal dan budi. Semestinya akal dan budi itulah yang menjadi pedoman dan rambu dalam bersikap, bukan hukum dan peraturan. Kalau manusia terbiasa dirantai oleh hukum dan aturan bukan lewat akal-budinya sendiri maka ketika rantai itu tak cukup kuat atau mampu dipatahkan maka yang lepas adalah hewan liar tanpa kendali. Dan ketika hewan liar itu lepas kendali, siapa yang salah? Mangsanya? Korbannya? Kebiasaan yang tak kalah menjengkelkannya bagiku adalah kebiasaan serobot antrian, hanya sebulan di Indonesia saja sudah tak terhitung berapa kali aku diserobot ketika mengantri di toko. Beberapa orang tua bahkan memarahi anaknya yang tidak mau menyerobot antrean Saya teringat tulisan seseorang mengenai pelajaran mengantri, berikut saya copas langsung dari tulisan beliau:

Cerita mengenai bagaimana guru di sana yang tidak khawatir anak tidak pandai matematika, sebaliknya justru lebih mengkhawatirkan kalau anak tidak diajari budaya antri tentu juga sudah banyak Anda baca. Namun kalau penasaran berikut alasannya:
  1. Karena kita hanya perlu melatih anak selama 3 bulan saja secara intensif untuk bisa Matematika, sementara kita perlu melatih anak hingga 12 Tahun atau lebih untuk bisa mengantri dan selalu ingat pelajaran berharga di balik proses mengantri.
  2. Karena tidak semua anak kelak akan berprofesi menggunakan ilmu matematika kecuali TAMBAH, KALI, KURANG DAN BAGI. Sebagian mereka anak menjadi Penari, Atlet Olimpiade, Penyanyi, Musisi, Pelukis, atau sejenisnya.
  3. Karena biasanya hanya sebagian kecil saja dari murid-murid dalam satu kelas yang kelak akan memilih profesi di bidang yang berhubungan dengan Matematika. Sementara SEMUA MURID DALAM SATU KELAS ini pasti akan membutuhkan Etika Moral dan Pelajaran Berharga dari mengantri di sepanjang hidup mereka kelak.
Dan apa yang bisa dipelajari dari mengantri? Ini jawabnya:
  1. Anak belajar manajemen waktu jika ingin mengantri paling depan datang lebih awal dan persiapan lebih awal.
  2. Anak belajar bersabar menunggu gilirannya tiba terutama jika ia di antrian paling belakang.
  3. Anak belajar menghormati hak orang lain, yang datang lebih awal dapat giliran lebih awal dan tidak saling serobot merasa diri penting.
  4. Anak belajar berdisiplin dan tidak menyerobot hak orang lain.
  5. Anak belajar kreatif untuk memikirkan kegiatan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi kebosanan saat mengantri.
  6. Anak bisa belajar bersosialisasi menyapa dan mengobrol dengan orang lain di antrian.
  7. Anak belajar tabah dan sabar menjalani proses dalam mencapai tujuannya.
  8. Anak belajar hukum sebab akibat, bahwa jika datang terlambat harus menerima konsekuensinya di antrian belakang.
  9. Anak belajar disiplin, teratur dan kerapihan.
  10. Anak belajar memiliki RASA MALU, jika ia menyerobot antrian dan hak orang lain.
  11. Anak belajar bekerjasama dengan orang2 yang ada di dekatnya jika sementara mengantri ia harus keluar antrian sebentar untuk ke kamar kecil.
  12. Anak belajar jujur pada diri sendiri dan pada orang lain
Lantas apa yang terjadi di Indonesia? Ini dia:
  1. Ada orang tua yang memaksa anaknya untuk menyusup ke antrian depan dan mengambil hak anak lain yang lebih dulu mengantri dengan rapi. Dan berkata Sudah cuek saja, pura-pura gak tau aja !!
  2. Ada orang tua yang memarahi anaknya dan berkata Dasar Penakut, karena anaknya tidak mau dipaksa menyerobot antrian.
  3. Ada orang tua yang menggunakan taktik dan sejuta alasan agar anaknya di perbolehkan masuk antrian depan, karena alasan masih kecil capek ngantri, rumahnya jauh harus segera pulang, dsb. Dan menggunakan taktik yang sama di lokasi antrian permainan yang berbeda.
  4. Ada orang tua yang malah marah2 karena di tegur anaknya menyerobot antrian, dan menyalahkan orang tua yang menegurnya.
Tentu masih banyak tindakan memalukan lainnya yang bisa Anda tambahkan sendiri.

Melengkapi pengalamanku seputar sopan santun bangsa Timur, baru beberapa hari saja aku tinggal di rumah orang tuaku suatu siang aku dikejutkan oleh suara klakson sepeda motor di depan rumah yang dibunyikan beberapa kali. Setelah cukup lama tidak berhenti akhirnya aku penasaran dan keluar, betapa terkejutnya aku ketika menemukan bahwa ternyata yang membunyikan klason adalah istri Pak RT yang hendak mengingatkan ibuku bahwa sore nanti ada PKK sambil tetap berada di atas jok motornya!

Kebiasaan pengemudi Indonesia yang gemar membunyikan klakson sudah membuatku gerah, orang tua membiarkan anaknya bermain dengan klakson selagi kendaraan berjalan sangat mengherankan dan kini istri Pak RT duduk di atas jok motor sambil membunyi-bunyikan klakson untuk memanggil penghuni rumah? Kondisi semacam ini takkan ditemukan di Australia, membunyikan klakson sembarang saja sudah dianggap tidak sopan lebih-lebih di depan rumah orang untuk memanggil penghuninya. Satu lagi sebelum kututup tulisan bagian pertama ini.

Kenapa orang Indonesia yang mengaku lebih sopan dari orang Barat suka bersin keras-keras? Batuk keras-keras? Atau bahkan buang ingus dan ludah sembarangan? Di sini (Melbourne) orang batuk atau bersin pun di jika di tempat umum selalu diikuti dengan kata Excuse me atau Im sorry. Jadi pertanyaanku: manakah orang Timur yang konon lebih mengerti sopan santun ketimbang orang Barat itu? Sekedar jargonkah? Sekedar arogansikah? Maaf tapi terus terang aku masih harus mengakui bahwa orang Barat dalam hal ini Melbournians jauhbahkan sangat jauh sekali lebih sopan ketimbang orang Indonesia.

Dan fakta-fakta yang kusebutkan di atas hanya sebagian kecil saja dari fakta sesungguhnya, aku yakin sebagian besar orang Indonesia yang setidaknya pernah tinggal selama setahun di Melbourne akan mengakui hal yang sama. Mungkin daripada bersikap arogan dengan menolak budaya barat dan mengaku diri sebagai bangsa yang punya sopan lebih baik kita buka wawasan. Kalau memang ada kekurangan yang kita miliki dan bisa dipelajari dari orang lain kenapa tidak? Kenapa harus mengurung diri dalam arogansi?

 

Excuse me, Thank you, Im sorry, No worries ah kata-kata yang akrab kutemukan sehari-hari di sini. Akankah kata-kata itu akrab terdengar di tanah airku suatu hari nanti?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun