Mohon tunggu...
rochani sastra adinegoro
rochani sastra adinegoro Mohon Tunggu... Penulis - pensiunan

sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ki Jlagra

2 Februari 2023   01:02 Diperbarui: 2 Februari 2023   01:04 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Adalah Ki Jlagra, seorang lelaki paruh baya, yang tinggal  di sebuah desa dekat sungai. Pekerjaan sehari-harinya sebagai pemecah batu. ia mengambil batu-batu sungai yang besar, dan  dengan  sebuah  betel dan bodem ia memulai aksinya.  Pecahan batu yang kecil-kecil itu dikumpulkannya  di bantaran sungai, setelah terkumpul banyak, ia menjualnya. Hasil penjualan batu-batua itu untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.

Alkisah, pada suatu hari Ki Jlagra ketika  sedang  melakukan aktivitas hariannya, ia melihat  seorang yang duduk di atas tandu Joli Jempana, yang dipanggul delapan orang bertubuh kekar.  Rupanya mereka adalah prajurit dari Kadipaten.  Sedangkan pria yang duduk di atas tandu adalah Sang Adipati.

 Ki Jlagra tertegun beberapa jenak, ia memandang tajam  Sang Adipati yang dikawal pasukan berkuda. Rupanya Ki Jlagra akan merasa bahagia jika bisa menjadi seorang Adipati, seperti orang yang sedang dipandangnya. Dalam tiga tarikan nafas mendadak Ki Jlagra telah berubah menjadi Seorang Adipati. 

Sang Adipati Jlagra hatinya menjadi gembira, karena ia tidak lagi berpayah-payah memecah batu di sungai. Taip hari Adipati Jlagra mengunjungi pedesaan di bawah kekuasaannya. Hari itu cuaca panas terik, Sang Adipati Jlagra meninjau desa yang paceklik. di tengah perjalanannya ia merasa gerah karena sorot matahari tepat di atas kepala. 

Ia merasakan tak ada kenyamanan karena  sang Adipati Jlagra ternyata masih kalah  dengan panas Matahari.  Dalam hati ia berkata" Ahh, ternyata jadi Matahari itu lebih Mulia,". Dalam tiga tarikan nafas Adipati Jlagra sudah  menjadi Sang Matahari. Ia tertawa terbahak-bahak,  kini ia menjadi penguasa dunia. ia merasa  dunia ini di bawah kendalinya. 

Setiap ia tertawa maka panasnya itu  bisa menngeringkan sungai. Ia melihat semua sungai sudah mengering dan ia ingin samudera pun harus mengering, agar ikan-ikan di lautan  bisa diambil dengan mudah. Namun betapa ia terkejut  ternyata air laut tak bisa dihisap dengan kekuatan panasnya. Setelah Matahari Jlagra melihat  ke arah samudera, ternyata ada awan mendung yang menghalangi pancaran sorot Matahari Jlagra, ia pun kesal sambil menggumam,  "kalau begitu Matahari ternyata dapat dikalahkan oleh Awan mendung, kalau begitu aku  ingin menjadi Awan mendung saja." 

Dalam tiga tarikan nafas Ki Jlagra telah menjadi awan hitam. Tiap hari, dunia ini tidak ada panas,  karena ia selalu menghalangi sorot sang Surya. Ia tergelak puas, karena  dunia menjadi gelap. Betapa ia terkejut ketika menyaksikan di desanya awan mendung dapat diterobos  sinar matahari, ternyata celah itu disebabkan hujan.

Ia menggerutu lagi, "ternyata Awan mendung masih dikalahkan oleh Hujan...aku ingin menjadi hujan." Dan  keinginan Ki Jlagra dikabulkan. Kini tiap hari  tidak  ada bumi yang tidak ditimpa hujan. Ia semakin bangga bisa menghanyutnya semua  yang ada di atas bumi. Banjir bandang terjadi di mana-mana, nyaris semua bisa dihanyutkan olehnya.

Setelah banjir mereda betapa Ki Jlagra heran ketika melihat batu-batu di sungai di desanya sama sekali bergeming dari tempatnya. "Bagaimana mungkin, semua bangunan yang besar bisa kuhanyutnya, pohon-pohon bisa ditumbangkan, mengapa beberapa babtu di sungai itu tak bisa menggelinding hanyut? Wah! ternyata Batu sungai itu lebih menang dibandingkan dengan kekuatan  curah hujan. Aku ingin jadi batu kali saja."

Ki Jlagra tertawa-tawa karena air deras sungai itu, tak mampu menggeser tempat batu itu. Tiba-tiba ketika Matahari  di atas punggung gunung, Ki Jlagra merasakan punggung sakit. Ternyata ada seorang pemuda usil yang memukulnya dengan bodem.  Ia berteriak, "Kurang ajar, ternyata  menjadi pemecah batu lebih hebat...", dan ia kembali sebagai seorang pemecah batu.  Ia tersenyum-senyum  sambil duduk di atas batu sambil mengisap  rokok. 

Ia puas  dengan tiap tarikan hembusan asap okok yang keluar dari mulutnya, keringat membasahi tubuhnya.  Ia bangkit berdiri dan beranjak dari tempat duduknya, sambil memandangi tumpukan batu yang telah dikumpulkan di bantaran sungai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun