Mohon tunggu...
Rochan AnandaKrishna
Rochan AnandaKrishna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasisea

Siswa Hubungan Internasional yang berminat untuk mengulas berbagai fenomena yg terjadi di dunia internasional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Persatuan dalam Keragaman: Pendekatan Uni Eropa terhadap Tantangan Hubungan Eksternal

5 Juli 2024   12:55 Diperbarui: 5 Juli 2024   13:06 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasca Perang Dunia II, negara-negara eropa mengalami kemunduruan yang dahsyat akibat biaya perang yang tinggi ditambah dampak perang yang begitu terasa. Uni Eropa muncul sebagai juru selamat bagi negara-negara eropa dimana organisasi kawasan ini pertama kali diinisiasi melalui The European Coal and Steel Community (ECSC) yang pada awalnya dibentuk untuk mengelola sumber daya alam dan menghindari konflik dikemudian hari. Selanjutnya Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) didirikan pada 1957 untuk menindak lanjuti pembentukaan ECSC sebelumnya melalui perjanjian Roma. Dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat, Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) menghadapi masalah dalam koordinasi kebijakan dan integrasi politik. Kebijakan Pertanian Bersama (CAP) digunakan untuk mendukung sektor pertanian pada tahun 1962. Kemudian pada tahun 1973, pembentukan Komunitas Ekonomi Eropa (EEC) menandai perluasan MEE dengan masuknya Inggris, Irlandia, dan Denmark. Ini meningkatkan integrasi ekonomi di wilayah tersebut tetapi juga menghadirkan tantangan baru untuk menyelaraskan kebijakan antar anggota. Kebangkitan Pertama dan Kerjasama Eropa (1973–1993) ditandai oleh berbagai peristiwa penting yang membentuk integrasi ekonomi dan politik Eropa. Komunitas Ekonomi Eropa (EEC) menghadapi tantangan baru sebagai akibat dari krisis ekonomi global tahun 1970-an. Negara-negara anggotanya terpaksa mencari solusi bersama. Penandatanganan Akta Tunggal Eropa pada tahun 1985 menjadi tonggak penting dalam upaya untuk membuat pasar tunggal yang bebas hambatan. Selama dua belas tahun, ini menghasilkan kerja sama ekonomi yang lebih erat. Pada tahun 1990, runtuhnya Uni Soviet dan reunifikasi Jerman menyebabkan pergeseran besar dalam politik Eropa. Proses integrasi Eropa berikutnya dimulai dengan Perjanjian Maastricht, Amsterdam, dan Nice (1993-2004). Perjanjian ini mendirikan Uni Eropa (UE) pada tahun 1993 dan memulai integrasi ekonomi dan politik yang lebih dalam di antara negara-negara anggotanya. Zona Euro dibentuk pada tahun 1995. Pada tahun 1999, sebelas negara anggota menggunakan satu mata uang, euro. Dengan kedatangan sepuluh negara baru dari Eropa Tengah dan Timur pada tahun 2004, UE mengalami ekspansi yang signifikan, meningkatkan jangkauan dan kekuatan UE di wilayah tersebut.

Seiring dengan perkembangan geopolitik dunia, globalisasi yang akhir-akhir ini meningkat pesat telah membawa hampir semua negara masuk kedalam dua hegemoni besar yang sedang bersaing. Kehadiran China sebagai hegemon baru membuat Uni Eropa berada dalam kebimbangan. Uni Eropa merupakan sekutu utama baik dalam pertahanan maupun ekonomi bagi Amerika Serikat. Sedangkan kerjasama dengan China akan membuat pangsa pasar yang lebih besar ketimbang bekerjasama dengan Amerika Serikat. Selain itu, bekerjasama dengan China yang saat ini sedang memiliki megaproyek Belt Road Initiative akan memberikan akses dan peluang yang lebih besar kepada Uni Eropa dibidang Ekonomi.

Sebagai entitas politik dan ekonomi, Uni Eropa harus menangani konsekuensi dari ketidakstabilan global, yang seringkali memengaruhi negara anggotanya secara langsung maupun tidak langsung. Ketegangan di Asia Timur, konflik di Timur Tengah, dan perseteruan di Afrika sering menyebabkan krisis kemanusiaan, gelombang pengungsi, dan gangguan perdagangan internasional, yang mengganggu stabilitas dan keamanan Eropa. Selain itu, Uni Eropa sangat khawatir tentang ancaman terorisme. Serangan teroris yang terjadi di berbagai kota besar di Eropa telah menunjukkan betapa rentan mereka terhadap ekstremisme dan kekerasan. Akibatnya, negara-negara anggota telah memutuskan untuk meningkatkan kerjasama keamanan dan intelijen mereka.

Kompleksitas yang dihadapi Uni Eropa diperumit oleh proliferasi nuklir. Semakin banyak negara yang mengembangkan atau membeli senjata nuklir meningkatkan risiko konfrontasi nuklir dan menantang upaya diplomatik di seluruh dunia untuk menghentikan penyebaran senjata pemusnah massal. Uni Eropa harus memperkuat rezim pengendalian senjata dan berpartisipasi dalam program non-proliferasi internasional. Di tengah ancaman ini, Uni Eropa juga harus menangani hubungan diplomatik yang rumit dengan negara-negara global seperti Amerika Serikat, China, dan Rusia, yang masing-masing memiliki agenda dan kepentingan unik yang berkaitan dengan keamanan global dan proliferasi nuklir. Untuk menjaga stabilitas dan keamanan di wilayah tersebut serta memperkuat peranannya di tingkat internasional, Uni Eropa harus memberikan respons yang terkoordinasi dan komprehensif dalam menghadapi ancaman terorisme, konflik, dan proliferasi nuklir.

Dalam menanggapi tantangan eksternal yang datang, Uni Eropa telah mempersiapkan ketahanannya dengan berbagai kebijakan. Uni Eropa memiliki kerangka kerjasama CFSP yang memungkinkan Uni Eropa (UE) untuk bertindak secara terpadu dalam isu-isu kebijakan luar negeri dan keamanan. Melalui CFSP, UE dapat mengkoordinasikan diplomasi, menerapkan sanksi, melaksanakan misi militer, dan memberikan bantuan pembangunan. Keputusan dalam kerangka CFSP diambil dengan konsensus atau mayoritas qualified, yang memastikan keseimbangan antara kepentingan negara anggota, memungkinkan mereka untuk bersama-sama menangani isu-isu global dengan suara yang lebih kuat. Selain itu, Uni Eropa memiliki kebijakan dalam bidang pertahanan yaitu European Defence Agency (EDA) dan Common Security and Defence Policy (CSDP). Dibentuk pada tahun 2004, EDA bertujuan untuk meningkatkan kerjasama industri pertahanan di UE. EDA mendukung penelitian dan pengembangan teknologi pertahanan, mempromosikan akuisisi pertahanan bersama, dan membantu dalam harmonisasi standar pertahanan. Meskipun EDA tidak memiliki kapasitas militer sendiri, perannya penting dalam memperkuat kemampuan pertahanan UE secara keseluruhan melalui koordinasi dan peningkatan efisiensi dalam industri pertahanan. Sementara CSDP adalah komitmen politik negara anggota UE untuk bekerja sama dalam misi militer dan operasi non-militer. Misi-misi CSDP bisa mencakup berbagai tugas, mulai dari menjaga perdamaian, memberikan bantuan kemanusiaan, hingga melatih pasukan keamanan di negara-negara lain. Keputusan terkait CSDP diambil dengan suara mayoritas qualified, namun negara anggota dapat memilih untuk tidak berpartisipasi dalam misi tertentu, memberikan fleksibilitas dalam partisipasi misi. Terakhir, Uni Eropa memiliki Mekanisme Solidaritas Eropa (ESM), yang dibentuk pada tahun 2012. ESM adalah mekanisme yang memberikan bantuan keuangan kepada negara anggota UE yang mengalami kesulitan keuangan yang parah. ESM dapat memberikan pinjaman hingga 200 miliar euro kepada negara anggota yang memenuhi persyaratan tertentu. Tujuan utama dari mekanisme ini adalah untuk melindungi stabilitas zona euro dan mencegah krisis keuangan yang lebih luas, memastikan bahwa negara anggota memiliki dukungan yang diperlukan untuk mengatasi krisis ekonomi yang dapat mempengaruhi stabilitas seluruh kawasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun