Mohon tunggu...
Roby Martin
Roby Martin Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Paruh Waktu

Penulis Buku Sepi-Ritual, Galau Inside dan Ngerasa Paling Hijrah dan Suka Nyebelin | robymartin.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Membantah Logika: Segala Sesuatu Pasti Ada yang Menciptakan

18 Desember 2024   19:07 Diperbarui: 18 Desember 2024   19:07 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernyataan Nurudin tentang "kursi itu ada karena ada yang menciptakan. Maka segala sesuatu pasti ada yang menciptakan," tampak sederhana tapi problematik. Jika kita mengupasnya lebih dalam, argumen ini menuntut kita menerima asumsi bahwa segala sesuatu harus memiliki pencipta, termasuk alam semesta. Tapi apakah logika ini berlaku universal?

Dalam filsafat, pertanyaan tentang asal-usul selalu diawali dengan "mengapa sesuatu ada, bukan tiada?" Namun, argumen seperti Nurudin gagal mengatasi kontradiksinya sendiri. Jika segala sesuatu butuh pencipta, lalu siapa yang menciptakan pencipta itu? Jika jawabannya adalah "pencipta tidak diciptakan," maka asumsi bahwa "segala sesuatu harus ada yang menciptakan" tidak berlaku mutlak. Ini adalah logika lingkaran yang runtuh di titik awal.

Sains, di sisi lain, tidak butuh pencipta untuk menjelaskan keberadaan alam semesta. Teori Big Bang menunjukkan bahwa alam semesta bisa muncul dari fluktuasi kuantum, tanpa intervensi entitas eksternal. Hukum fisika, seperti gravitasi, cukup untuk menjelaskan fenomena tanpa memerlukan "pencipta" sebagai jawaban akhir. Sains berbicara dengan data dan bukti, bukan asumsi metafisik.

Dari perspektif ateisme, argumen Nurudin lebih terlihat sebagai jawaban malas atas misteri besar. Memasukkan "pencipta" sebagai jawaban adalah shortcut intelektual yang mengabaikan kompleksitas realitas. Justru, konsep bahwa "segala sesuatu pasti ada yang menciptakan" adalah bentuk antropomorfisme: manusia menciptakan kursi, maka segala sesuatu diciptakan. Tapi alam semesta bukan kursi.

Realitas lebih rumit dari sekadar analogi. Nurudin lupa bahwa "keteraturan" tidak selalu butuh perancang. Badai pasir di gurun bisa membentuk pola tanpa seorang seniman, seperti alam semesta yang terbangun dari interaksi hukum alam. Jadi, mungkin yang perlu kita tanyakan bukan "siapa" yang menciptakan, tapi "mengapa" manusia selalu ingin ada pencipta? Bukankah itu refleksi rasa takut kita terhadap ketidakpastian?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun