Mohon tunggu...
Roby Martin
Roby Martin Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Paruh Waktu

Penulis Buku Sepi-Ritual, Galau Inside dan Ngerasa Paling Hijrah dan Suka Nyebelin | robymartin.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jadi Kecoa di Tengah Kota

10 Oktober 2024   12:39 Diperbarui: 10 Oktober 2024   12:50 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kenapa badan gue gatel semua, ya?" gumam Beni sambil membuka matanya perlahan. Lampu kamar kos yang temaram bikin pandangannya sedikit buram. Tapi saat ia mencoba bangun dari tempat tidur, ada sesuatu yang aneh.

Tangannya... eh, tunggu. Itu bukan tangan. Itu... kaki? Atau apa ini? Kakinya jadi banyak!

"Ya Tuhan, gue jadi kecoa?!" Beni menjerit kaget, mencoba meraba tubuhnya yang sekarang berbentuk keras dan berkaki banyak. "Ini mimpi, kan?" Tapi enggak, semua terasa nyata. Dia benar-benar berubah jadi kecoa raksasa.

Kamar kosnya yang sempit sekarang terasa seperti labirin. Sambil panik, Beni berusaha jalan. Tapi, kakinya yang kecil-kecil ini malah bikin dia susah bergerak. "Sial, gimana caranya gue keluar dari sini?"

Semalam sebelumnya, Beni hanyalah mahasiswa semester akhir yang lagi stres ngerjain skripsi sambil mikirin tagihan kos yang belum dibayar. Nggak ada tanda-tanda aneh yang menunjukkan kalau dia bakal bangun jadi serangga menjijikkan. Dia bahkan sempat bercanda di grup WA, "Kalau skripsi ini nggak kelar, gue rela berubah jadi kecoa."

Nah, ternyata ucapan itu jadi kenyataan.

Beni berusaha keluar dari kamarnya, tapi tangannya---eh, maksudnya kakinya yang kecil-kecil itu malah tersangkut di lipatan karpet. Sambil berguling-guling, dia merenungi nasib. "Apa gue bakal jadi kecoa selamanya? Gimana cara gue balik jadi manusia?"

Tiba-tiba, suara pintu depan terdengar. Itu pasti ibu kos! Beni gemetaran. "Jangan-jangan gue dipel!" pikirnya, horor membayangkan nasib kecoa yang selalu jadi korban sandal dan sapu.

Dia panik, buru-buru lari ke sudut kamar, bersembunyi di balik lemari. Suara sandal ibu kos semakin mendekat. "Beni? Beni? Kok nggak ada suaranya?" teriak ibu kos sambil mengetuk pintu.

Beni ingin menjawab, tapi suara yang keluar hanya desis kecoa. "Sialan, gue nggak bisa ngomong!"

Ibu kos mencoba membuka pintu. Dalam sekejap, Beni sadar kalau dia harus segera cari cara untuk menghindari terinjak. Sambil bergerak pelan-pelan menuju ventilasi, dia berusaha berpikir keras.

Tapi sebelum dia berhasil, tiba-tiba pintu terbuka lebar dan... "Plak!"

Ibu kos melempar sandal ke arahnya. Untungnya, Beni berhasil kabur ke celah ventilasi. Nafasnya tersengal, merasa hidupnya dipertaruhkan di setiap langkahnya.

Di luar sana, Beni ngeliat Jakarta dengan cara yang nggak pernah dia bayangkan sebelumnya---dari sudut pandang kecoa. Jalanan ramai, motor lalu lalang, dan suara bising kota terasa lebih mencekam. Sambil menyusuri dinding luar bangunan, Beni mulai merenungi hidupnya.

"Jadi kecoa di kota gede kayak gini... kayaknya nggak jauh beda sama hidup gue yang sebelumnya," pikir Beni sambil tertawa getir. Tetap berjuang, tetap merasa kecil, tetap harus kabur dari 'sandal' kehidupan yang selalu mengincar di belakang.

Tapi di tengah-tengah keputusasaannya, sebuah ide brilian muncul. "Kalau gue bisa cari dukun, atau paranormal, atau apalah yang bisa balikin gue jadi manusia... Mungkin, gue bisa balik lagi."

Dan di situlah Beni, seekor kecoa raksasa yang tengah merencanakan perjalanan spiritual untuk menemukan cara kembali jadi manusia. Di Jakarta yang kejam, kadang kau harus jadi kecoa dulu sebelum paham gimana caranya bertahan hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun