Mohon tunggu...
Roby Martin
Roby Martin Mohon Tunggu... Penulis Paruh Waktu

Penulis Buku Sepi-Ritual, Galau Inside dan Ngerasa Paling Hijrah dan Suka Nyebelin | robymartin.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perang Status ala Mamat

5 Oktober 2024   14:44 Diperbarui: 5 Oktober 2024   14:52 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kurang ajar! Masa gue dikeluarin dari grup?! Emang siapa sih Tebe itu? Nggak lebih pinter juga!" Mamat menggerutu di kamarnya, sambil mengetik marah-marah di layar ponselnya. Status Facebooknya penuh dengan kata-kata tajam, sindiran menusuk, dan kalimat pedas untuk Tebe dan anggota grup lainnya. Semua ini karena dia dikeluarkan dari grup diskusi.

Berawal dari perdebatan soal politik di grup, Mamat nggak setuju dengan pendapat Tebe yang menurutnya terlalu 'miring'. Tebe malah makin keras kepala. Setelah bolak-balik debat panas, admin grup akhirnya muak dan memutuskan mengeluarkan Mamat dengan satu klik. Perasaan dipermalukan di depan grup membuat darahnya mendidih.

"Grup payah! Sok bijak, padahal nggak ngerti apa-apa!" tulisnya. Status itu langsung ramai dikomentari. Beberapa teman masih berusaha memberi Mamat nasihat, tapi jelas percuma. Setiap balasan malah membuatnya makin marah.

"Lo juga, Icha! Masa iya setuju sama omongan Tebe? Nggak punya pikiran sendiri apa?!" tulisnya sambil menambahkan emoji marah.

Hari-hari berikutnya Mamat sibuk mencari korban baru. Satu per satu anggota grup dia serang lewat status di Facebook. Si Opi yang biasanya pendiam pun tak luput. "Si Opi cuma bisa like-like doang, nggak pernah punya pendapat sendiri. Udah gitu, diem aja kayak batu!"

Namun, perlahan, status-status Mamat makin aneh. Kalau awalnya masih nyerang orang-orang di grup, lama-lama dia mulai membahas hal-hal yang nggak nyambung. Statusnya berisi kalimat panjang tentang betapa dunia ini penuh ketidakadilan, betapa hidup nggak pernah adil buat orang kayak dia. Sesekali Mamat mulai cerita tentang bagaimana orang-orang di sekitarnya nggak pernah paham perasaannya. Status itu terus mengalir, makin hari makin gelap dan penuh keluhan.

Sampai suatu sore, ketika dia sedang menulis status yang lagi-lagi penuh caci maki, tiba-tiba ponselnya bergetar. Bukan dari Facebook, tapi dari WhatsApp. Pesan dari teman lamanya, Dani.

"Mat, lo nggak apa-apa? Lo akhir-akhir ini kayak beda banget. Sering ngomong sendiri di status, marah-marah nggak jelas. Gue khawatir sama lo."

Mamat memandang layar, tangannya gemetar. Marah, kesal, merasa dihakimi lagi. Tapi di saat yang sama, ada sesuatu yang menusuk dalam pikirannya. Sudah beberapa hari dia merasa kepalanya berat, seperti ada suara-suara yang memaksanya untuk terus melawan, terus mencari musuh. Tapi sekarang, pesan dari Dani membuatnya terdiam.

Semakin hari, emosinya memang semakin nggak terkendali. Dia mulai sulit tidur, kepalanya sering terasa penuh dengan pikiran negatif yang tak henti-henti. Setiap kali melihat Facebook, dia merasa ada yang harus diserang, ada yang harus dihina. Semua orang tampak salah di matanya, semua terlihat menjengkelkan.

Mamat menghapus status yang belum sempat diposting. Tatapannya kosong. "Gue kenapa ya?" gumamnya pelan. Perlahan dia sadar, ini bukan cuma soal grup diskusi atau Tebe. Ada yang salah, ada sesuatu dalam dirinya yang berubah. Amarahnya tak pernah reda, malah semakin membesar.

Dari pesan Dani, Mamat mulai menyadari bahwa ini bukan sekadar dendam di media sosial. Dia mulai tenggelam dalam konflik batin yang tak bisa dia pahami. Terlalu banyak kemarahan, terlalu banyak kebencian, hingga kini dia merasa kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

Di malam itu, ketika layar ponselnya padam, Mamat berbaring. Ada ketakutan baru yang menghantui dirinya, lebih besar dari sekadar dikeluarkan dari grup. Dan ironisnya, dia sendiri tak tahu bagaimana keluar dari pusaran kemarahan yang sudah memakan batinnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun