"Kurang ajar! Masa gue dikeluarin dari grup?! Emang siapa sih Tebe itu? Nggak lebih pinter juga!" Mamat menggerutu di kamarnya, sambil mengetik marah-marah di layar ponselnya. Status Facebooknya penuh dengan kata-kata tajam, sindiran menusuk, dan kalimat pedas untuk Tebe dan anggota grup lainnya. Semua ini karena dia dikeluarkan dari grup diskusi.
Berawal dari perdebatan soal politik di grup, Mamat nggak setuju dengan pendapat Tebe yang menurutnya terlalu 'miring'. Tebe malah makin keras kepala. Setelah bolak-balik debat panas, admin grup akhirnya muak dan memutuskan mengeluarkan Mamat dengan satu klik. Perasaan dipermalukan di depan grup membuat darahnya mendidih.
"Grup payah! Sok bijak, padahal nggak ngerti apa-apa!" tulisnya. Status itu langsung ramai dikomentari. Beberapa teman masih berusaha memberi Mamat nasihat, tapi jelas percuma. Setiap balasan malah membuatnya makin marah.
"Lo juga, Icha! Masa iya setuju sama omongan Tebe? Nggak punya pikiran sendiri apa?!" tulisnya sambil menambahkan emoji marah.
Hari-hari berikutnya Mamat sibuk mencari korban baru. Satu per satu anggota grup dia serang lewat status di Facebook. Si Opi yang biasanya pendiam pun tak luput. "Si Opi cuma bisa like-like doang, nggak pernah punya pendapat sendiri. Udah gitu, diem aja kayak batu!"
Namun, perlahan, status-status Mamat makin aneh. Kalau awalnya masih nyerang orang-orang di grup, lama-lama dia mulai membahas hal-hal yang nggak nyambung. Statusnya berisi kalimat panjang tentang betapa dunia ini penuh ketidakadilan, betapa hidup nggak pernah adil buat orang kayak dia. Sesekali Mamat mulai cerita tentang bagaimana orang-orang di sekitarnya nggak pernah paham perasaannya. Status itu terus mengalir, makin hari makin gelap dan penuh keluhan.
Sampai suatu sore, ketika dia sedang menulis status yang lagi-lagi penuh caci maki, tiba-tiba ponselnya bergetar. Bukan dari Facebook, tapi dari WhatsApp. Pesan dari teman lamanya, Dani.
"Mat, lo nggak apa-apa? Lo akhir-akhir ini kayak beda banget. Sering ngomong sendiri di status, marah-marah nggak jelas. Gue khawatir sama lo."
Mamat memandang layar, tangannya gemetar. Marah, kesal, merasa dihakimi lagi. Tapi di saat yang sama, ada sesuatu yang menusuk dalam pikirannya. Sudah beberapa hari dia merasa kepalanya berat, seperti ada suara-suara yang memaksanya untuk terus melawan, terus mencari musuh. Tapi sekarang, pesan dari Dani membuatnya terdiam.
Semakin hari, emosinya memang semakin nggak terkendali. Dia mulai sulit tidur, kepalanya sering terasa penuh dengan pikiran negatif yang tak henti-henti. Setiap kali melihat Facebook, dia merasa ada yang harus diserang, ada yang harus dihina. Semua orang tampak salah di matanya, semua terlihat menjengkelkan.