Mohon tunggu...
Roby Martin
Roby Martin Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Paruh Waktu

Penulis Buku Sepi-Ritual, Galau Inside dan Ngerasa Paling Hijrah dan Suka Nyebelin | robymartin.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Utilisasi Efek Bandwagon dan Pencitraan Politik Kaesang dan Anies Baswedan

31 Agustus 2024   13:12 Diperbarui: 31 Agustus 2024   13:19 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dunia politik Indonesia, efek bandwagon---atau kecenderungan untuk mendukung sesuatu hanya karena sudah banyak orang yang melakukannya---sering kali menjadi senjata utama dalam pencitraan politik. Di era media massa dan media sosial, di mana popularitas bisa melonjak dalam hitungan jam, politisi dan partai politik tak ragu memanfaatkan tren ini untuk menaikkan elektabilitas dan memengaruhi kebijakan politik.

Ambil contoh Pilkada Indonesia, di mana pencitraan kerap kali menjadi senjata utama. Nama-nama besar seperti Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Jokowi, dan Anies Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta, sering kali menjadi sorotan. 

Ketika rumor pencalonan mereka beredar, media massa langsung menangkapnya, menciptakan sensasi yang memicu efek bandwagon di kalangan pendukung dan pengamat politik. 

Meski pada akhirnya Kaesang memutuskan untuk tidak maju sebagai calon kepala daerah dan Anies tidak jadi mencalonkan diri sebagai gubernur lagi, pencitraan mereka di media tetap kuat. Nama mereka sudah terlanjur viral, dan itu cukup untuk membangun persepsi publik. 

Meski tak jadi mencalonkan diri, nama-nama ini tetap mendapat perhatian besar, dan partai politik tetap memanfaatkannya untuk mengukur dukungan publik serta mempengaruhi kebijakan strategis.

Efek bandwagon di sini bekerja dengan sangat efektif. Ketika nama-nama ini menjadi topik pembicaraan di media, publik pun ikut-ikutan tertarik. Ini bukan lagi soal kapasitas atau rekam jejak, tetapi lebih kepada bagaimana mereka dipersepsikan di mata publik. 

Pencitraan yang kuat dapat mengubah lanskap politik dengan cepat, mempengaruhi sikap pemilih, dan bahkan memaksa partai politik untuk mengubah strategi mereka demi mengikuti arus tren yang sedang berlangsung.

Pencitraan dan viralitas menjadi mata uang berharga di dunia politik modern Indonesia. Para politisi tak lagi hanya bersaing dengan program dan visi, tetapi juga dengan bagaimana mereka bisa menunggangi gelombang popularitas yang sering kali diciptakan oleh media. 

Di tengah arus informasi yang deras, siapa yang paling populer, yang paling banyak dibicarakan, sering kali dianggap yang paling berpeluang menang. Inilah efek bandwagon yang nyata di politik Indonesia---membuktikan bahwa di era modern ini, siapa yang mampu memanfaatkan pencitraan di media massa, dialah yang memegang kunci kekuasaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun