Mohon tunggu...
Roby Martin
Roby Martin Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis Paruh Waktu

Penulis Buku Sepi-Ritual, Galau Inside dan Ngerasa Paling Hijrah dan Suka Nyebelin | robymartin.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Homo Sacer dan Politik Indonesia

29 Agustus 2024   10:56 Diperbarui: 31 Agustus 2024   13:13 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam konteks politik Indonesia saat ini, konsep homo sacer, yang diperkenalkan oleh filsuf Giorgio Agamben, dapat menjadi refleksi yang tajam terhadap kondisi para individu yang terpinggirkan oleh kekuasaan. Homo sacer adalah sosok yang, meskipun dianggap sebagai manusia, tidak memiliki hak-hak yang dijamin oleh hukum; ia bisa dikesampingkan, dilupakan, dan diperlakukan sewenang-wenang tanpa adanya konsekuensi.

Politik dinasti di Indonesia adalah contoh nyata bagaimana kekuasaan sering kali diwariskan dalam lingkaran elite, meninggalkan mereka yang tidak berada dalam lingkaran tersebut sebagai homo sacer---terpinggirkan, tak diperhitungkan, dan tidak memiliki akses ke kekuasaan yang seharusnya menjadi milik semua warga negara. Pilkada yang seharusnya menjadi ajang demokrasi, sering kali hanya menjadi panggung bagi keluarga atau kelompok tertentu untuk memperkuat dominasi mereka. 

Lihat saja bagaimana para kandidat kepala daerah yang hampir selalu berasal dari keluarga elite politik atau mereka yang memiliki hubungan dekat dengan pusat kekuasaan. Mereka yang berani maju tanpa dukungan dinasti politik sering kali diabaikan, atau lebih parahnya, dijadikan kambing hitam untuk berbagai kegagalan. Mereka adalah homo sacer dalam politik Indonesia---terlihat, tetapi tidak benar-benar dianggap.

Di Pilkada, tidak jarang kita menyaksikan kandidat yang sebenarnya potensial namun terpaksa harus berhadapan dengan kekuatan besar dari dinasti politik yang sulit ditandingi. Mereka, meskipun mungkin memiliki visi dan kemampuan yang mumpuni, akhirnya harus menerima kenyataan pahit bahwa mereka hanyalah figuran dalam permainan besar yang dikendalikan oleh keluarga atau kelompok yang sudah mapan.

Namun, inilah ironi besar dalam politik Indonesia. Di satu sisi, kita mengklaim diri sebagai demokrasi terbesar ketiga di dunia, namun di sisi lain, kekuasaan sering kali hanya berputar-putar di tangan segelintir orang yang memiliki akses dan hubungan dengan pusat kekuatan. Sementara itu, rakyat---yang seharusnya menjadi penentu utama dalam demokrasi---justru menjadi homo sacer, hanya menjadi penonton yang terpinggirkan dari proses politik yang seharusnya inklusif.

Maka, jika kita berbicara tentang masa depan politik Indonesia, penting untuk bertanya: Akankah kita terus membiarkan sistem ini berjalan seperti ini, atau sudah saatnya kita merombak tatanan yang ada untuk memastikan bahwa semua orang, tanpa terkecuali, memiliki kesempatan yang sama dalam menentukan arah bangsa ini? Jika tidak, kita hanya akan terus melahirkan lebih banyak homo sacer dalam politik kita---mereka yang dianggap ada, tetapi tidak pernah benar-benar diperhitungkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun