Â
Kisruh soal hak angket KPK menggelitik saya. Sebagai jurnalis, saya tentu mesti netral. Tak mentah-mentah saya mengiyakan omongan para politisi yang ngotot ingin mengevaluasi komisi antirasywah, tapi di sisi lain tak boleh pula mentah-mentah saya nyatakan bahwa KPK bersih dan tak perlu evaluasi.
Dari serangkaian pengamatan lapangan, ngobrol dengan banyak pihak ditambah pandangan subjektif, saya menilai KPK butuh dievaluasi.
Pelemahan? Pemberangusan? Tunggu, jangan dulu secara mentah-mentah kita katakan itu bentuk pelemahan atau pembinasaan KPK secara perlahan.
Mari kita bedah satu-satu.
Pertama, KPK, harus diakui, lembaga penegak hukum yang tak lepas dari politik. Silakan menyangkal. Tapi pimpinan KPK dipilih oleh DPR RI. Dipilih, tolong garisbawahi.
Ada titipan? Bisa jadi. Tapi orang-orang titipan belum tentu tak berintegritas. Mereka berintegritas, berkualitas, hanya saja akomodatif untuk pihak-pihak tertentu melancarkan kepentingan politiknya.
Saya tidak sebut nama, karena memang tak ada bukti. Melainkan hanya asumsi dan dugaan dari hasil ngobrol dengan narasumber-narasumber di "ring 1" isu ini alias pelaku lapangan.
Memang, dalam pemilihan pimpinan lembaga di DPR sering ada lobi-lobi. Tak terkecuali pimpinan KPK. Bukan hanya terjadi pada era Agus Rahardjo tapi juga pada era-era sebelumnya. Lobi merupakan hal wajar dan tak terhindarkan dalam politik. Tentu tak bisa sepenuhnya buruk karena lobi bisa saja bertujuan baik (meskipun motif politik selalu ada).
Sebut saja si X. X lolos sebagai komisioner KPK. Apa yang membuat X lolos? Apa yang membuat para anggota DPR memilih dia? Apa keuntungan politik bagi para anggota DPR jika memilih dia?
Ada banyak pertanyaan. Tapi beribu pertanyaan itu bermuara pada satu simpulan, ada alasan di balik pemilihan setiap komisioner KPK.
KPK adalah lembaga yang sangat strategis. Salah-salah sedikit, citra partai bisa terjun bebas karena kadernya ditangkap KPK. Setiap fraksi di DPR pasti diberi arahan khusus sebelum menentukan pilihannya untuk memilih komisioner.
Alhasil, ada calon-calon yang banyak dipilih karena fraksi tertentu kompak memilihnya. Tak mungkin tak ada alasan dibalik kekompakan tersebut. Tak menutup kemungkinan ada deal politik di balik suara para anggota dewan.
Nyatanya, hal ini memang terjadi. Sejumlah politisi cenderung aman dari jeratan KPK karena partainya meloloskan komisioner X atau komisioner Y. Deal politiknya, politisi A dan rekanannya mesti aman dari jeratan kasus
Ya, itu lah salah satu contohnya. Perlu penelitian dan pendalaman panjang untuk menggali dalam soal ini. Tapi saya cukup pada kesimpulan, KPK tak lepas dari politik.
Saya kadang heran, mengapa rakyat amat sangat percaya pada lembaga ini dan cenderung tidak kritis. Padahal, KPK tak memiliki badan pengawas khusus, punya kewenangan amat besar dan komisionernya dipilih oleh DPR (yang notabene hampir semua orang tak percaya DPR).
Masyarakat cenderung menolak jika ada komentar-komentar buruk terhadap KPK dan langsung menghakimi bahwa itu adalah bentuk pelemahan.
Padahal, KPK juga membutuhkan evaluasi. Hanya saja mungkin tak berupa hak angket karena saya rasa terlalu ekstrim. DPR khususnya Komisi III bisa saja membentuk Panitia Kerja (Panja) dan hal itu menurut saya lebih masuk akal dan bisa diterima.
Kedua, KPK didukung LSM. Saya cukup penasaran saat Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengatakan bahwa sejumlah LSM dibayar untuk membela KPK. Sekilas nampak tak masuk akal, apalagi di mata publik. Tanpa mengantongi bukti, publik pasti akan langsung mengatakan Fahri ngawur karena memang citra politisi PKS ini di mata publik sudah tidak baik.
Tapi bagi jurnalis, pernyataan tersebut mengundang skeptisme yang lain. Tak terkonfirmasi, memang. Karena saya belum menanyakan lebih lanjut pada Pak Fahri soal temuan beliau. Meskipun dari hasil ngobrol-ngobrol saya dengan pihak lain, disinggung pula mengenai hal ini. Terlepas dari betul atau tidaknya, hal ini perlu menjadi pertimbangan.
Ketiga, KPK sudah berdiri sejak 2002. Belum pernah ada evaluasi. Citranya terus menanjak karena dianggap sukses menangkap koruptor-koruptor dari teri hingga kakap. Pertunjukan seru pun dipertontonkan. Rompi oranye jadi momok bagi semua orang. KPK seolah menjadi harapan satu-satunya ketika aparat penegak hukum lain, Kepolisian dan Kejaksaan justru dipandang korup.
 Isu dan selentingan yang saya dengar tentang KPK cukup banyak. Termasuk orang-orang yang pernah dan sedang menjadi pimpinan. Tentunya mereka beragam, tidak bisa disamaratakan. Isu yang beredar di publik dan citra yang menempel di mata publik belum tentu yang sebenarnya. Sebaliknya, banyak hal-hal yang tak diketahui publik. Singkatnya, saya merasa evaluasi terhadap KPK sangat diperlukan. Terlebih lembaga tersebut sudah berumur 15 tahun lebih. Silakan katakan saya tidak pro-KPK, tapi saya menilai evaluasi tak bisa lantas dikatakan pelemahan. Evaluasi adalah bentuk kepedulian untuk memperbaiki jika ada yang salah dalam KPK serta memaksimalkan KPK. Justru merupakan bentuk pelemahan jika kita mengabaikan adanya kejanggalan-kejanggalan dalam internal KPK dan tidak secara skeptis mempertanyakannya. Justru menjadi sangat berbahaya jika pelemahan itu datang dari dalam tubuh mereka sendiri, bukan? #SAVEKPK
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H