Mohon tunggu...
Robi WiliamSupendi
Robi WiliamSupendi Mohon Tunggu... Buruh - buruh harian lepas
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

buruh harian lepas

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrat: Prabowo Tak Harus Ikuti Ijtima Ulama III

3 Mei 2019   15:46 Diperbarui: 3 Mei 2019   16:23 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manuver politik yang penuh provokasi kembali dijalankan oleh Rizieq Shihab. Pimpinan Front Pembela Islam (FPI) itu menyarankan kepada BPN Prabowo-Sandi agar meminta kepada KPU untuk menghentikan proses penghitungan suara atau real count.

Menanggapi hal itu, Partai Demokrat menyarankan agar Capres Prabowo Subianto tidak mengikuti saran tersebut. Wakil Sekjen Partai Demokrat Rachland Nashidik menyampaikan pendapatnya tersebut melalui akun Twitternya @RachlanNashidik pada Kamis (2/5/2019).

Menurutnya, Prabowo tidak perlu menuruti saran dari HRS yang diteruskan oleh panitia Ijtimak Ulama tersebut. "Ini adalah pendapat. Dan setiap warga negara tanpa kecuali berhak atas kebebasan berpendapat. Pak Prabowo tak perlu menganggap ini "titah" yang harus dilaksanakan, apalagi tanpa berkonsultasi dengan anggota koalisi," ujar Rachland.

Parahnya dalam usulannya itu, Ijtima Ulama juga berusaha mendelegitimasi KPU sebagai penyelenggara Pemilu. Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama Yusuf Muhammad Martak sempat menuduh Ketua KPU sebagai sosok yang tak layak menjabat posisi tersebut.

Pasalnya, Arief Budiman dulu memperoleh suara terendah dalam voting di DPR, tetapi justru menjadi Ketua KPU. Ini disebutnya sebagai hasil "kongkalikong". Padahal, kalau mau tahu fakta sebenarnya, pemilihan Ketua KPU dengan hasil voting di DPR itu dua hal yang berbeda. Apa yang disampaikan oleh Yusuf Martak itu menunjukan ketidaktahuan dan kebodohan dirinya sendiri.

Arief Budiman memang mendapatkan suara terendah dalam voting di DPR, tetapi penentuan posisi Ketua KPU tidak berdasarkan itu. Terpilihnya Arief Budiman sebagai Ketua KPU adalah hasil rapat pleno dan musyawarah diantara 7 komisioner terpilih.

Jadi tidak ada masalah dengan Arief Budiman yang memperoleh suara voting paling kecil di DPR Ri, tetapi bisa menjadi Ketua KPU. Itu wajar saja karena hasil musyawarah diantara komisioner demikian.

Sehingga langkah pendiskreditan dan tuduhan negatif terhadap Ketua KPU itu dapat dipastikan sebagai upaya kubu Paslon 02 untuk mendelegitimasi KPU. Salah satu faktornya karena hasil suaranya tidak seperti yang diharapkan. Itulah kedok memainkan gimmick agama yang dilakukan kubu 02 dan harus dipahami masyarakat luas. Jangan mau dibohongi dan dibodohi oleh orang-orang yang gila jabatan berjubah agama itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun