Belum lama ini kita mendengar beberapa kasus perundungan anak sekolah yang cukup viral. Tidak hanya mengguncangkan dunia pendidikan namun juga mengguncangkan seluruh penjuru negeri. Kasus yang cukup mendapat perhatian adalah perundungan berupa penganiayaan yang dilakukan oleh siswa SMP di Cilacap. Kemudian kasus seorang siswi kelas 2 SD di Gresik yang mengalami gangguan penglihatan akibat diduga ditusuk oleh kakak kelasnya. Dua kasus ini ternyata ibarat puncak gunung es, karena ternyata terdapat rentetan kasus-kasus perundungan lainnya sepanjang tahun 2023 ini.
Berdasarkan catatan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) terdapat 379 anak usia sekolah menjadi korban kekerasan fisik dan perundungan sepanjang Januari – Agustus 2023. Sebagai tambahan, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mendata bahwa sebanyak 50 persen kasus perundungan terjadi di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), 23 persen terjadi di jenjang Sekolah Dasar (SD), kemudian disusul jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 13, 5 persen. Artinya kasus perundungan anak sekolah banyak dilakukan oleh anak berusia sekitar 6 – 15 tahun, usia yang seharusnya masih mendapatkan perlakuan lebih untuk pertumbuhan dan perkembangan anak.
Dari laman Kemendikbudristek RI, perundungan didefinisikan sebagai suatu perilaku tidak menyenangkan baik secara verbal maupun fisik yang membuat seseorang merasa tidak nyaman, sakit hati, dan tertekan, baik dilakukan secara perorangan ataupun kelompok. Disebutkan juga bahwa perundungan adalah salah satu dari 3 dosa besar pendidikan, selain kekerasan seksual dan intoleransi. Ini menunjukkan bahwa perundungan yang terjadi di sekolah bukanlah hal sepele, melainkan hal yang mesti mendapatkan perhatian khusus yang mesti dicegah. Untuk mencegah terjadinya perundungan, maka kita harus terlebih dahulu memahami jenis dan faktor penyebab perundungan.
Perundungan yang dilakukan oleh para pelaku di sekolah ada banyak macam jenisnya. Yang paling umum adalah perundungan verbal, yaitu dalam bentuk ucapan. Seseorang bisa menghakimi, memaki, menertawakan, meneror, menfitnah, menjelekkan bentuk fisik atau hal yang bisa membuat korban merasa tersinggung atau terpukul secara emosi dan mental. Bentuk perundungan ini bisa terjadi di dunia nyata maupun di dunia maya. Mirisnya, perundungan verbal ini terkadang dianggap sebagai bentuk candaan. Bentuk perundungan selanjutnya yaitu perundungan fisik, berupa tindakan yang menyerang fisik, seperti memukul, meninju, melempari seseorang dengan suatu benda. Perundungan lain yang menyebabkan korban merasa tidak nyaman adalah perundungan relasi sosial, contohnya seperti pengucilan, tidak dianggap sebagai teman, merasa korban derajatnya lebih rendah, dan menghasut orang lain untuk menjauhi seseorang. Perundungan jenis ini jika terjadi secara berulang bisa menjadi perundungan verbal bahkan fisik.
Kesemua bentuk perundungan tersebut dapat menyebabkan korban mengalami gangguan mental dan emosional. Mereka mungkin mengalami kecemasan yang berlebihan, depresi, stress, dan takut. Akhirnya mereka merasa kesepian, mengalami penurunan kualitas hidup, bahkan bisa menyebabkan kematian.
Kenapa bisa terjadi perundungan?
Faktor penyebab terjadinya perundungan sangat beragam. Namun, jika dikelompokkan secara garis besar, maka ada 3 faktor. Faktor pertama adalah keluarga.
Pelaku perundungan seringkali berasal dari keluarga yang bermasalah, entah dari keluarga yang penuh dengan tindakan kekerasan dalam berumah tangga, keluarga yang menghukum anak secara berlebihan, atau tinggal dengan situasi rumah yang tidak nyaman. Seorang anak biasanya akan meniru perilaku-perilaku yang setiap hari mereka lihat dan alami. Jika setiap hari mereka mendapatkan perlakuan yang kasar atau melihat tindakan-tindakan yang membuat tidak nyaman, maka mereka akan menganggap hal tersebut lumrah untuk dilakukan. Jika situasi ini dibiarkan saja, maka anak pun akan melampiaskan emosinya kepada teman di sekolah dengan meniru apa yang mereka alami selama di rumah.
Faktor selanjutnya adalah sekolah. Sekolah tempat mendidik dan membimbing anak malah bisa menjadi sarang tindakan perundungan, jika sekolah tersebut mengabaikan tindakan perundungan. Sebagai contoh, sistem sekolah yang masih menerapkan hukuman fisik, perlakuan guru yang mewajarkan tindakan fisik seperti mencubit, melempar penghapus kepada siswa yang ribut, dan tindakan semacamnya.
Bukannya siswa menjadi lebih baik, namun hukuman-hukuman seperti ini justru dapat menjadikan siswa beranggapan bahwa tindakan-tindakan fisik adalah hal yang wajar untuk menyelesaikan masalah. Selain itu, sikap sekolah yang mengabaikan dan meremehkan perundungan yang terjadi kepada siswa juga dapat menyebabkan tindakan perundungan akan terus ada. Seperti menganggap tindakan perundungan verbal hanyalah sebuah candaan atau menganggap tindakan perundungan dengan mengatakan “kan masih anak-anak, jadi wajar saja”.
Faktor terakhir adalah lingkungan. Lingkungan bisa mencakup berbagai ranah, seperti lingkungan tempat tinggal, lingkungan teman-teman sebaya, media elektronik, dan media sosial. Anak-anak akan meniru perbuatan yang sering terjadi di lingkungan mereka. Jika perbuatan baik sering dipraktikkan, maka paling tidak anak-anak tersebut akan menirunya. Namun, jika perbuatan negatif seperti perkataan kasar, kekerasan, dan bentuk perundungan lainnya, maka anak tersebut akan menganggap bahwa perbuatan tersebut adalah hal lazim untuk dilakukan.