terlahir dari keluarga besar yang sederhana, miskin dan terbelakangan dipedalaman sumatera utara membuatku harus berusaha keras dan berjuang untuk bisa memiliki kehidupan yang lebih layak. belajar dari hari kehari dengan kondisi yang sangat memprihatinkan, membuatku menjadi seorang pelajar yang tekun dan cukup berhasil untuk keluar dari jona keterbelakangan hingga aku layak mendambakan pendidikan yang lebih tinggi diperguuan tinggi dikota medan dan kota2 indah lainnya
Perasaan menakjubkan, terharu dan bangga saat pertam kali menginjakkan kaki dimedan, kota besar pertama yang pernah kukenal, berada ditempat yang baru membuat impianku terasa semakin dekat untuk bisa dijangkau dengan bermodalkan pendidikan smu dari kampung. Mengikuti test UMPTN pada tahun 2009 menjadi langkah pertama untuk bisa mengenyam pendidikan yang lebih baik diperguruan tinggi. Tapi sayangnya impian ini tidak pernah dibicarakan sebelum berangkat kekota dan aku tidak tahu bahwa ternyata orang tua tak pernah merestui keinginanku untuk kuliah dengan alasan kondisi ekonomi dan masalah keuangan. Dan saat namaku terpampang dengan gagah lulus difakultas pertanian USU jurusan Agronomi, tak terkira rasanya kegembiraan yang memenuhi semua ruang dalam hatiku, setiap saat kulalui dengan tersenyum bahagia yang tak terlukiskan "inilah awal bahwa semua impian akan semakin dekat untuk bisa diraih, satu langkah besar telah dimulai"
Sesampai dikampung dengan bermodalkan berita besar ini aku berharap dapat paha ayam simera altong yang sengaja disembelih sekedar untuk perayaan dan rasa syukur. bagai petir yang menyambar dalam ketenangan hari dan berlimpah harapan aku mendengar hardikan ayah memarahiku sebagai jawaban atas kerja keras dan perjuangan ini, mengataiku anak yang keras kepala dan selalu melakukan keinginan sendiri "apakah kau pikir kau terlahir sebagai anak pejabat ato pegawai negeri sampai kau berani menentukan langkah sendiri tanpa berpikir kemampuan orangtua dan sekolah adek2mu yang tiga orang lagi....?". akhirnya dengan perasaan hancur dan tangis tanpa air mata harapan pupus bagai gulungan asap yang semakin lama memudar hilang ditelan angin.
kegagalan ini membawa perjalananku untuk mengikuti jejak teman-teman yang telah lebih dahulu merantau kekota-kota pencetak uang seperti batam, pekanbaru dan jakarta, akhirnya aku memilih peruntungan dikota besar pekanbaru riau.
berada di Riau dengan semua pekerjaan berat serabutan tidak membuatku berpasrah diri melepaskan semua impian dan harapan masa sekolah, setiap pagi dan sore bekerja dipeternakan ayam, siang hari bekerja sebagai buruh bangunan dan malam hari menjadi buruh angkut batu bata. semua pekrjaan ini kulakukan untuk impian duduk dibangku kuliah, menabung setiap hari dan melupakan kenikmatan yang ditawarkan kota. aku hidup hanya untuk masa depan dan perjuangan untuk menjadi seseorang dangan embel-embel kesarjanaan dibelakang namaku, setaip malam berhayal menjadi kenikmatan tersendiri "betapa indah berada disana dengan meneteng tas besar, sepatu bersih dan langkah mantap melintasi koridor kampus-kampus yang jadi impianku".
dua tahun berjuang mengumpulkan uang dan tak lupa belajar soal-soal UMPTN 2 jam setiap hari telah cukup jadi modal untuk kuliah, dengan keyakinan dan langkah pasti aku berjalan menyusuri lorong-lorong kampus untuk sampai pada kelas kuliah perdanaku, hari-hari dikampus kujalani dengan perjalanan yang jauh lebih berat sehingga waktu-waktu dan moment perkuliahan tak pernah ternikmati, selalu terbagi antara perkuliahan dan pekerjaan yang harus dilakukan untuk tetap menyamung hidup dan uang kuliah, biaya foto kopi, uang diktat, laboratorium dan lain-lain. sampe pada 7 tahun kemudian aku diwisuda dengan tanpa senyum, kehilangan gairah dan kematian semangat. Ternyata apa yang kukejar tak benar-benar menakjubkan seperti saat semua ini masih berupa impian belaka diman gairah itu untuk perayaan kebrhasilan ini.
Untuk terakhir kali aku berdiri disudut kampus yang jadi tempat favoritku dulu, memandang sebuah kertas putih berwarna keperakan bertuliskan namaku dan sebuah tulisan baru dibelakangnya "SP". baru pertama kali dalam hidup aku menemukan ketakutan pada sesuatu yang tak kuketahui, kenapa justru status baru dalam namaku lebih tepat menjadi beban daripada sebuah keberhasilan, kenapa kakiku seolah tak bisa menetukan kemana melangkah kaki dengan membawa arti baru dalam nama ini.
sebuah tanya "ada apa dengan diriku..?"
ternyata ini bukan akhir dari pencarian yang telah kuperjuangkan dengan semua kemapuanku untuk rela menderita. aku disini namun hatiku tak menginginkannya dimanakah menghilang jati diriku, apa yang terjadi dalm selang 7 tahun yang tak menggairahkanku, aku menghilang dalam pencarian kesarjanaan dan ternyat bukan ini pencarianku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H