Mohon tunggu...
Robin Wijaya
Robin Wijaya Mohon Tunggu... Penulis - Author and Educator

Penulis segala rupa, content writer, pengajar dan konselor

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Menjejak Pembaruan: Menengok Potensi Energi Baru Terbarukan di Jawa Barat

10 Februari 2024   20:04 Diperbarui: 10 Februari 2024   20:20 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sambutan oleh Kepala Dinas ESDM Jawa Barat, Ai Saadiyah Dwidaningsih, S.T, M.T. (dok pribadi)

"Selama hidup, saya bertemu orang-orang yang peduli. Peduli pada apapun yang mereka pahami. Peduli pada siapapun yang memerlukan kepedulian tersebut. Hanya sampai di batas itu. Namun hari ini, saya bertemu orang-orang yang peduli pada mereka yang memiliki kepedulian. Dan hal itu sangatlah mahal."

Hari saya dimulai dengan suara derit roda koper yang beradu dengan paving block lobi Avenzel Hotel and Convention. Saya dan seorang murid menjadi salah dua yang beruntung mendapatkan tiket Jelajah Energi Jawa Barat yang digagas IESR bersama dengan Generasi Energi Bersih, Akademi Transisi Energi, ESDM Jawa Barat, dan SRE UI. Selama empat hari ke depan, kami akan mengunjungi beberapa tempat pemanfaatan energi terbarukan di Jawa Barat.

Sambutan oleh Kepala Dinas ESDM Jawa Barat, Ai Saadiyah Dwidaningsih, S.T, M.T. (dok pribadi)
Sambutan oleh Kepala Dinas ESDM Jawa Barat, Ai Saadiyah Dwidaningsih, S.T, M.T. (dok pribadi)
Sepanjang perjalanan menuju titik kumpul di bilangan Cibubur, kami bertukar cerita tentang antusiasme dan rasa penasaran untuk mengikuti kegiatan ini. Bagi saya maupun Jo---murid saya, ini adalah kali pertama kami mewakili sekolah untuk mengikuti kegiatan semacam ini. Saya pernah menghadiri conference di Bangkok, juga kunjungan studi ke beberapa sekolah di Ho Chi Minh City. Namun kunjungan-kunjungan itu berbicara tentang pendidikan dan peran sekolah. Jelajah Energi adalah sebuah pengalaman baru di bidang transisi energi yang tak cukup banyak diperbincangkan di sekolah-sekolah. Oleh karena itulah, sepanjang sessi pembekalan, saya berusaha menangkap esensi dari pemaparan yang disampaikan---sebab sadar diri, untuk bisa memahami sepenuhnya, wawasan dan pengetahuan saya masih sangat jauh dari jangkauan. Namun, bukankah ketidak tahuan yang seringkali memancing rasa penasaran? Dan karena itulah, saya mengatakan pada diri sendiri: mari mencari tahu apa yang ada di luar sana untuk dibawa pulang dan dibagikan kembali.

Perhentian Pertama: PLTSa TPST Bantargebang

Program Jelajah Energi memberikan kesempatan kepada para pesertanya untuk melihat secara langsung, berdiskusi, dan mendapatkan infomasi lebih banyak tentang transisi energi. Tempat-tempatnya, tentu berkaitan dengan pemanfaatan energi terbarukan. Dan lokasi pertama yang akan kami datangi adalah Pembangkit Listrik Tenaga Sampah di TPST Bantargebang.

Sebagai awam, dalam setiap perjalanan menuju lokasi, saya kerap menggunakan mesin pencarian untuk menelusuri informasi terkait lokasi yang akan didatangi. Bantargebang dalam bayangan saya adalah gunungan sampah yang sangat luas. Itu saja. Seorang teman yang pernah melakukan pelayanan ibadah di Bantargebang pernah menceritakan pada saya bahwa lalat adalah hal yang sangat umum di sana. Ia menyarankan, "Jangan banyak-banyak tertawa, ya. Sebab lalat mudah masuk ke mulutmu," candanya. Waktu itu saya hanya berpikir, ah masak iya sampai sebegitunya. Namun begitu saya tiba di Bantargebang, apa yang ia katakan bukanlah celoteh biasa. Lalat-lalat itu malah ikut serta di mobil kami dalam perjalanan pulang meninggalkan Bantargebang. Bisa dibayangkan, bukan, betapa agresifnya lalat-lalat itu.

Jo berfoto dengan latar PLTSa TPST Bantargebang (dok pribadi)
Jo berfoto dengan latar PLTSa TPST Bantargebang (dok pribadi)

Well, mari lupakan kisah si lalat. Beberapa saat sebelum tiba di Bantargebang, saya sudah mengantongi sedikit informasi dari laman jabarprov.go.id yang menyatakan bahwa potensi EBT di Jawa Barat mencapai 170,4 gigawatt. Dari besaran potensi tersebut, menurut Ai Saadiah, Kepala Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat, baru 0,6 gigawat potensi yang terhimpun melalui 24 proyek energi. Saat artikel ini ditulis, sebuah PLTS di atas air terbesar di Asia Tenggara sedang dibangun. Bukankah ini adalah salah satu lokasi yang akan saya kunjungi di hari kedua nanti? Wah... jadi tambah semangat. Di artikel yang sama juga disebutkan Plastic Waste Recylcing Plant atau waste to energy terbesar di Indonesia dengan kepasitas pengolahan sampai mencapai 24.000 ton per hari juga terdapat di provinsi ini. Well, apalagi kalau bukan PLTSa ini?

Kunjungan kami dimulai dengan penjelasan secara singkat oleh Bapak Harun Al Rasjid selaku Wakil Manajer Operasional PLTSa. Jika saya bisa menyimpulkan secara sederhana, PLTSa yang merupakan proyek kerja sama dengan BPPT dan Pemprov DKI Jakarta ini mampu memproduksi 750 kWh listrik setiap harinya dan mampu mengurangi volume sampah hingga 10% dari total sampah harian. Menariknya, PLTSa ini juga memiliki fasilitas untuk mendeteksi gas berbahaya dan sisa bakarannya masih dimanfaatkan lagi untuk bahan bangunan. Sejujurnya, saya takjub melihat pemanfaatan ini benar-benar dipikirkan dari hulu hingga hilir. Sebab, jangan sampai solusi untuk permasalahan sampah justru malah menghasilkan masalah baru, yaitu efek samping bagi warga sekitar.

Kiri: Sampah dikumpulkan untuk dipilah. Foto Kanan: Sampah yang siap untuk dibakar (dok pribadi) 
Kiri: Sampah dikumpulkan untuk dipilah. Foto Kanan: Sampah yang siap untuk dibakar (dok pribadi) 

Selepas dari ruang pertemuan, kami diberi kesempatan untuk melihat-lihat suasana PLTSa dari luar, sebab jumlah rombongan kami cukup banyak sehingga tidak mungkin masuk ke ruang pengelolaan sampah---walau sejujurnya, hal itu membuat saya sedikit kecewa. Namun setidaknya, saya mendapatkan banyak inspirasi dari sini. Apalagi saya juga sedang mengerjakan proyek tentang sampah di sekolah, sehingga kunjungan ini bisa menjadi penyuntik semangat bagi diri saya untuk melanjutkan pekerjaan di sekolah.

PLTS Terapung Cirata Yang Memesona

Selepas beristirahat setelah melalui kegiatan hari pertama, kami memulai hari kedua dengan mengunjungi PLTS Terapung Cirata. PLTS ini tak asing di telinga kita karena memang belum lama menjadi buah bibir dalam artian positif setelah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada akhir 2023 lalu. Saya sudah pernah melihat beberapa gambarnya dari internet, tetapi tidak menduga akan mendapatkan bonus pemandangan yang luar biasa indah di sepanjang perjalanan menuju lokasi. Dan bonus yang jauh lebih besar adalah ketika bisa melihat langsung panel-panel surya yang ternyata sangat luas yang melebihi bayangan saya sebelum tiba di sini.

Bicara soal informasi, kali ini saya banyak melewatkan beberapa catatan dan hanya menyimpan cukup sedikit dalam ingatan, seperti kapasitas energi yang dihasilkan yang mencapai 192 Mega Watt Peak, ukuran panel dan sedikit tentang biaya yang jumlahnya sangat fantastis.

Hamparan panel surya di Waduk Cirata yang tampak memesona (dok pribadi)
Hamparan panel surya di Waduk Cirata yang tampak memesona (dok pribadi)

Well, mari kesampingkan informasi-informasi itu. Bagaimana kalau kita menggali kesadaran diri tentang betapa kayanya negara kita ini. Indonesia memiliki potensi yang sangat luar biasa dan PLTS Terapung Cirata ini. Jika kita tak memperhitungkan pendanaan, birokrasi, dan Sumber Daya Manusia untuk mengelola potensi tersebut, mestinya kami yang hadir cukup melek mata untuk membicarakan potensi ini dan bahkan bagi saya pribadi yang bekerja sebagai pengajar, mestinya mampu memercikkan semangat dan inspirasi agar kelak beberapa anak didik di sekolah ini akan menjadi orang-orang yang terlibat dan berkontribusi dalam pengelolaan Energi Baru Terbarukan.

Si Klaustrofobia Masuk Ke Tunnel PLTA Cirata

Kalau ditanya tempat yang mana yang paling berkesan selama Jelajah Energi Jawa Barat, cepat saya akan menjawab PLTA Cirata. Kenapa? Pertama, baru saja dibuat takjub dengan PLTS Terapung Cirata, saya kembali dibuat takjub dengan PLTA Cirata dan segala teknologi yang digunakannya. Kedua, saya benci berada di ruang tertutup untuk waktu yang lama. Saya tidak suka lift, dan saya tak ingin berada di terowongan---terlebih terowongan bawah tanah. Saya memiliki masalah dengan ruang tertutup. Saya bahkan harus memeriksa kunci toilet di manapun setiap kali saya akan menggunakannya. Terjebak di dalam terowongan, apalagi terowongan bawah tanah, adalah kekhawatiran yang terasa terlalu nyata bagi saya.

Sepanjang berada di terowongan, mata dan telinga saya bersiaga. Imajinasi saya membayangkan dinding yang runtuh, pipa yang jebol, atau kebakaran atau ledakan yang mengerikan. Saya yang tak terlalu fokus mendengarkan penjelasan Bapak Sumitro Pandapotan---semoga saya tidak salah nama---berharap Jo menangkap lebih banyak dan kami bisa berbagi informasi saat di hotel nanti.

Mulut tunnel yang membuat saya deg-degan (dok pribadi)
Mulut tunnel yang membuat saya deg-degan (dok pribadi)

Usia PLTA Cirata yang sudah 36 tahun ini memiliki 8 unit yang menggunakan turbin francis. Seperti pengetahuan yang saya dapatkan dari pelajaran IPA ketika SMP, air yang ditampung di waduk Cirata dialirkan melalui intake gate. Air mengalir ke terowongan yang dibuat bercabang. Masing-masing cabang berfungsi untuk mencegah aliran balik (water hammer) dan mengarahkan air ke turbin. Energi kinetik yang dihasilkan oleh turbin yang berputar kemudian dialihkan menjadi listrik melalui generator. Melihat ukuran generator yang luar biasa besar, saya bisa membayangkan seberapa besar terowongan dan laju air di bawah tanah ini.

Suasana di lantai 1 tunnel. Di belakang kami (warna oranye) adalah generator di mana turbin berada di lantai bawah (dok pribadi)
Suasana di lantai 1 tunnel. Di belakang kami (warna oranye) adalah generator di mana turbin berada di lantai bawah (dok pribadi)

Tentu, PLTA sendiri memiliki permasalah dan kekurangannya dalam menghasilkan Energi Baru Terbarukan. Salah satunya adalah bergantungnya pada pasokan air yang membuat PLTA tidak stabil di musim kering atau ketika curah hujan sedang rendah. Kalau saya tidak salah tangkap, permasalahan bahkan bisa muncul dengan tidak terjaganya kondisi lingkungan di hulu yang bisa mengakibatkan debit air yang turun tidak besar sekalipun sedang musim hujan. Rumit juga, ya. Ternyata, upaya EBT ini memang tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus ditopang dengan pengelolaan lingkungan dan sumber daya energi lainnya, dan tentunya kesadaran masyarakat tentang lingkungannya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun