Mohon tunggu...
Robin Dos Santos
Robin Dos Santos Mohon Tunggu... -

"Marilah kita mulai dengan yang tak-mungkin"\r\n- Jacques Derrida

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kisah Seorang Kawan untuk Kawannya

11 Desember 2010   15:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:49 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku masih ingat betul, kamu belajar gitar dari aku, sementara aku belajar mencintai perempuan dan makan sehat darimu. Kadang-kadang kamu mengajakku makan malam bersamamu di rumah dinas berwarna putih seperti kulitmu. Makanan yang sangat enak dan lezat buatan ibumu. Aku suka sekali dengan sambal jeruk nipis. Ibumu melihat ku seperti anaknya sendiri. Almarhum bapakmu seorang pegawai, sedangkan bapakku seorang polisi yang digaji rendah. Meski begitu, aku tetap bangga dan kagum terhadap profesinya.

Kita pernah berjanji untuk katakan ‘tidak’ pada segala jenis merek rokok yang menghancurkan hidup kita, namun itu hanya omong kosong. Mungkin karena darah kita yang masih segar, atau barangkali kita seperti anak kecil yang suka main kotor dan makan tanah. Itulah proses kehidupan, bagaimana manusia ingin mandi kalau dia sendiri belum kotor.

Kita pernah bermain mobil-mobilan di bawah pohon beringin besar dekat rumahku. Kamu memiliki mobil plastik koleksi terbaru. Orangtuamu sangat memperhatikanmu dalam hal mainan. Mereka memanjakanmu sebagai anak pertama dari empat bersaudara. Sementara aku bermain dengan mobil buatanku sendiri. Bahan-bahannya dari sepotong kayu kering dan kaleng bekas dengan paku berjumlah delapan belas. Kita bermain bersama adik-adik membuat jalan kecil. Mengangkut tanah dan batu manjadi benteng pertahanan kita, seperti kota Berlin kecil dengan desain arsitek amburadul.

Aku juga masih ingat ketika mabuk Colombus dari orang-orang Buton sebagai tanda perdamaian antara aku dengan istri pak Samsudin yang mukanya penuh dengan jerawat. Hanya gara-gara aku meminta istrinya untuk menghidupkan tape Polytron yang tidak terawat itu untuk menghiburku di pagi hari yang buta. Suaminya melaporkan kejadian itu ke kantor polisi dengan alasan aku mencoba merayu istrinya yang sudah dikaruniai dua anak. Gila saja! Ini tidak adil bagiku karena aku tidak memiliki rencana untuk melakukan hal semacam itu. Sampai akhirnya pak polisi Masu’d dari Bima bersama Justino dari Moru (Parlamento) dengan motor RX-Kingnya mencari aku sampai di SMP Lautem. Waktu itu aku sudah tahu kedatangan polisi, aku berusaha menghindarinya. Di pagi yang buta aku berlari sampai ke kampung Liarava. Sembunyi di asrama anak Soikili dan Iraonu. Kami makan jagung rebus dan ubi kayu. Kami bercanda tawa. Bercerita tentang reputasiku yang jelek di masyarakat.

Ah, betapa hebatnya pengalaman remaja dulu. Aku sungguh tak bisa melupakannya. Sungguh.

Kawanku, Rudi Marsal Pires, yang selalu kurindukan...

Aku ingat dengan jelas bahwa malam itu udara begitu dingin, begitu pekat gelap yang menyelimuti. Iringan suara jangkrik seperti paduan suara di Opera House di Sydney menemani langkahku menembus malam menuju Lautem. Langkahku terhenti ketika tiba-tiba ada bisikan datang dari pasar gelap itu. “Itu mungkin Aurelio, tapi kenapa dia tidak pakai baju? Coba kau panggil, Karlito”, Ujar pak Samada.

Karlito mulai memanggilku, “Aurelio, darimana kamu?”. Aku sedikit takut mendengar suara itu. Aku jawab, “Aku dari kampung Liarava. Apakah kalian bersama polisi?” “O, tidak, kami bersama pak Samada, Rudi, dan Germano. Pak Samada memanggilmu, Aurelio. Dia dari tadi cari kamu”. Dengan berat hati kulangkahkan kakiku ke pasar gelap itu. Disitu telah menunggu kau, pak Samadi, dan Germano. Kulihat wajahmu begitu gusar. Dan aku sendiri mungkin terlihat pasi. Kita pun beranjak ke rumah orang Buton itu untuk berdamai. Betapa girangnya aku sesampainya disana. Kita langsung disuruh makan. Aku begitu menikmati sekali. Ada ikan merah besar, bir ABC 5 kaleng, dan 2 botol Colombus. Sungguh, sebuah tanda perdamaian yang sangat menyenangkan.

Alkohol mulai mengotrol tubuhku. Aku merasa darahku tidak berwarna merah lagi. Bola mataku seperti Bob Marley menghisap ganja. Aku mulai ngomong dengan suara keras dan tertawa sendiri seperti orang gila dalam lagu Iwan Fals. Kita pulang dari rumah orang Buton itu. Kau memapahku karena tubuhku mulai melayang ringan. Aku berjalan sempoyongan. Tentu kau ingat, ketika kita sampai di depan kantor polisi aku mulai berteriak dengan lantang.

“Hei, Justino, kita punya masalah belum selesai, selama tanganku belum kena mukamu, kamu ingat itu! Kamu bisa lapor ke komandanmu, aku tidak takut sama kalian semua. Selamat tidur”, setelah itu kita pergi. Aku mabuk berat malam itu.

III

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun