Dari mana kita mendapatkan konsep awal tentang cita-cita? Tampaknya, kita mendapatkannya dari pengetahuan kita yang terbatas. Orang tua dan guru selayaknya membuka cakrawala keterbatasan pengetahuan anak dengan profesi yang baik. Sinetron yang menampilkan kisah geng bermotor, akan membentuk cita-cita yang buruk bagi si anak. Tayangan ini membentuk imaji kesenangan yang miskin hakikat soal cita-cita yang baik. Guru di Jepang memperluas keterbatasan untuk anak-anak dengan cara unik, yakni melalui magang, bacaan menarik, field trip, hingga role play.
Bulan lalu saya diundang untuk menghadiri “kohagi matsuri” di sekolahan SD anak. Di festival ini, anak-anak melakukan simulasi mata rantai industri kreatif. Uniknya, mereka sendiri yang berperan sebagai pembuat konsep, pelaksana, sampai konsumennya. Masing-masing kelas menjajakan kreativitasnya. Ada yang memproduksi semacam gel mainan, permainan ketangkasan, hingga pertunjukan film. Mereka sendiri yang menyediakan kursi bagi para pengantre sampai berperan dalam pertunjukan film. Para guru justru berperan sebagai pengunjung.
Konsep cita-cita ini diperkenalkan semenjak belia. Dulu, semasa TK, anak saya dikenalkan konsep cita-cita dengan profesi yang ada di sekitar mereka. Contoh paling mudah adalah pasar, supermarket, ataupun penjual bunga. Toko bunga memang sangat banyak ditemukan di Jepang. Dalam radius beberapa ratus meter kita dapat menemukan toko penjual bunga. Jumlahnya barangkali sebanyak penjual nasi uduk di Jakarta.
Di usia ini, profesi yang lebih dulu mereka kenal adalah orang yang berjualan. Akhirnya, terkonsep cita-cita itu adalah menjadi orang yang menjual sesuatu: penjual bunga, penjual sayur, penjual ikan dll. Profesi polisi, dosen, dokter, belum dikenali karena bagi anak usia tersebut, profesi itu masih sangat abstrak dan tugas mereka belum sampe ke sana.
Semenjak masuk SD, anak saya mulai dikenalkan bermacam profesi dan keterkaitannya dengan masyarakat sekitar. Diawali dengan pengenalan supermarket, macam-macam toko, dan orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Selain itu, mereka juga sudah mulai dikenalkan dengan “mata rantai” perdagangan. Mereka juga dikenalkan profesi 'bertani' yang menghasilkan makanan seperti sayuran sebagai supplier supermarket. Untuk skala yang lebih luas lagi, mereka dikenalkan secara singkat pada koujo (pabrik) dan tentang distribusi barang hingga sampe ke supermarket dan orang orang yang bekerja di dalamnya, sampai ke letak wilayah di kota yang banyak pabriknya.
Pada buku yang dibagikan pihak sekolah, anak-anak juga dikenalkan dengan aneka profesi seperti pemadam kebakaran dan polisi. Di buku ini ditampilkan gambar mobil pemadam kebakaran, polisi, dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Selain itu, di buku ini juga dijelaskan keterkaitannya sampai ke bencana dan kecelakaan. Langkah apa yang mesti dilakukan ketika ada gempa bumi, barang-barang apa yang harus dibawa untuk mengungsi, siapa yang harus dihubungi ketika terjadi kebakaran atau kecelakaan di jalan raya, sampe ke apa tugas patroli masyarakat. Mereka pengenalan ini, sewaktu mereka dihadapkan pada bencana sebenernya paling tidak sudah paham dasarnya.
Isu lingkungan juga dimasukkan dalam pengenalan profesi ini, misalnya dalam pembahasan pelestarian air, pemanfaatan air dalam hidup, bagaimana memperoleh air bersih, hingga ke ke pengelolaan sampah. Mereka diajarkan bagaimana memisahkan sampah untuk didaur ulang dan profesi orang-orang yang terlibat dalam proses recycle itu.
Konsep buku sosial ini menarik. Anak-anak dibentuk untuk siap terjun di masyarakat dengan konsep aplikatif beserta penerapannya. Bukan dengan cara menghafal. Selain itu, ditekankan juga pentingnya menghargai semua profesi. Betapa seorang petani dan para petugas kebersihan mempunyai kontribusi penting di dalam kehidupan masyarakat.
Melalui magang, bacaan informatif yang menarik, field trip hingga role play ini, diharapkan dapat memperluas cakrawala cita-cita anak-anak. Selanjutnya mereka dapat memahami cita-citanya, dan menghargai profesi orang lain.