Contoh lain adalah kampung saya sendiri, salah satu sentra produsen jambu biji merah di Jawa Tengah. Harga yang dibeli para tengkulak ke petani di pada masa tertentu mencapai Rp 500 per Kg nya. Padahal, kalau kita membeli jambu biji di tukang sayur sekalipun harganya masih di kisaran Rp 10.000.
Situasi ini menunjukkan ketidakseimbangan antara supply dan demand. Di Jepang, pemerintah juga aktif turun tangan terhadap harga pertanian. Mekanismenya melalui penentuan komoditi yang ditanam dan membeli sebagian hasil petani.
Konsumen di Jepang juga cukup fanatik dengan barang produksi daerah tertentu. Mereka mengatakan bahwa apel yang terenak adalah apel Aomori, jeruk yang lezat adalah Jeruk Shizuoka, dll. Di toko sembako langganan saya, selain harga biasanya ada informasi mengenai asal produk tersebut. Beras yang berasal dari daerah Miyagi, ikan dari Matsushima, bahkan terkadang saya menemukan ikan tuna yang berasal dari Indonesia.
Preferensi produk suatu daerah tertentu ini juga menyebabkan harga barang yang lebih tinggi. Jus Apel dari Aomori harganya berlipat-lipat dengan produk sejenis dari daerah lainnya. Beras jenis hitomebore juga dua kali lipat dibanding produk sejenis yang diproduksi negara lain.
Selain strata sosial dan kepemilikan lahan, kunci kesejahteraan petani di jepang adalah modernisasi pertanian, kontrol supply-demand yang baik, peningkatan bargaining position melalui organisasi, keberpihakan pemerintah, dan preferensi konsumen. Itulah beberapa alasan kenapa para petani di Jepang bisa memiliki 3 mobil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H