Salah satu permasalahan klasik saat lebaran bagi keluarga adalah ditinggal mudik asisten rumah tangga. Masalah asisten rumah tangga saat musim mudik Lebaran memang membuat pening sebagian besar keluarga di perkotaan. Khususnya bagi mereka yang mengandalkan semua urusan rumah tangga di tangan sang asisten. Mulai dari mencuci, setrika, memasak, hingga urusan bersih-bersih rumah.
Situasi ini berbeda di Jepang. Di negara ini, pembantu rumah tangga merupakan profesi yang sangat jarang sekali. Negara maju ini memang patut diteladani soal kemandirian rumah tangganya, ada suami,istri dan anak tapi tanpa pembantu.
Pemerintah Jepang, sementara ini hanya memberikan izin untuk pembantu rumah tangga asing hanya untuk diplomat dan pegawai asing dengan gaji minimal ¥10 juta (sekitar Rp. 1,2 Milyar)/tahun.
Hal ini wajar, mengingat biaya untuk menggunakan jasa pekerjaan domestik ini terbilang mahal. Perusahaan penyedia layanan jasa perkejaan domestik mematok biaya di kisaran ¥3,000/jam. Lebih dari Rp. 350 rb per jamnya. Harga ini bahkan beberapa kali lipat lebih mahal dibanding pekerjaan part time job seperti kasir di minimart atau penyortiran barang yang gajinya ¥800 - ¥1000/jam.
Selain biaya, hal yang membuat minimnya penggunaan jasa pekerja domestik adalah karena kemandirian. Hal ini yang membedakan Jepang dari beberapa negara lain seperti Singapura dan Taiwan. Meskipun rata-rata pendapatan perkapita nya sama sama tinggi. Negara tersebut biasanya menggunakan jasa asisten rumah tangga.
Kemandirian dan Kerjasama
Di Jepang, pekerjaan kategori blue collar seperti pekerja bangunan sekali pun dilakukan oleh orang Jepang sendiri. Kemandirian menjadi hal yang sangat penting. Melihat wanita ber hak tinggi dan berjas rapih sambil menyapu dan mengelap tempat sampah bukan lah hal aneh di Jepang.
Arie (33), adalah seorang pegawai salah satu instansi yang sedang tugas belajar bersama suaminya di Jepang. Ia mengaku, di Jakarta, pekerjaan domestik biasa di lakukan oleh 2 asisten rumah tangganya. Semenjak tinggal di Jepang, bersama suaminya, mereka melakukan pekerjaan domestik ini tanpa bantuan asisten rumah tangga.
“Saya bersepakat untuk membagi tugas, suami memasak dan menyiapkan bekal, sedangkan saya mengurus anak-anak dan membereskan rumah” paparnya.
Aktivitas ini dilakukannya sebelum mengantar dua anaknya ke sekolah dan dia beserta suami berangkat kuliah.
“Skill utama yang harus ditingkatkan pada rumah tangga yang tidak menggunakan asisten rumah adalah kemandirian, saling bekerja sama, kemampuan berimprovisasi” tekannya.
Aspek kemandirian ini memang ditanamkan sejak dini di Jepang
“Anak usia 2 tahun sudah dibiasakan makan sendiri, mereka bahkan mengangkat kursi makan dan mengenakan celemeknya sendirian” Arie menceritakan suasana di daycare anaknya.
Dukungan Pemerintah
Di sisi lain, Pemerintah Jepang mensupport layanan untuk pengasuhan anak melului day care. Layanan ini diperuntukkan bagi bayi usia 3 bulan hingga anak usia TK. Pemerintah kota menyediakan layanan ini di tiap kelurahan, meskipun jumlahnya belum memenuhi kebutuhan.
Mereka menseleksi rumah tangga yang dapat menggunakan fasilitas ini. Jika layanan pemerintah ini tidak mencukupi, para orang tua harus bersiap menggunakan daycare swasta yang harganya relative mahal.
Pemerintah juga menyediakan fasilitas umum dalam ruangan sebagai tempat belajar dan bermain bagi anak-anak selepas sekolah. Fasilitas ini bernama “jidoukan”. Di tempat ini, disediakan berbagai macam sarana seperti perpustakaan mini, tempat olah raga, ruang balita, tempat bermain, dan ruang kerajinan tangan.
Konsep ini cocok diterapkan di Indonesia, terutama di kota besar seperti Jakarta. Jika jasa daycare anak dan fasilitas seperti jidoukan sudah ada dimana-mana, ketergantungan pada asisten rumah tangga dapat ditekan. Tentu dengan semangat kemandirian suami, istri, dan anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H