Mohon tunggu...
Robi Muhammad Affandi
Robi Muhammad Affandi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta dan Penulis Media Online

Hidup adalah tentang bagaimana engkau bercerita, dan bagaimana engkau diceritakan. Karena dengan cerita itulah manusia akan dikenal dalam sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Prince Gubee 13 (Di Balik Kematian Sang Ratu)

29 Agustus 2024   19:19 Diperbarui: 29 Agustus 2024   22:30 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prince Gubee (dokpri)

Prince Gubee 13 (Di Balik Kematian Sang Ratu)

                

                Upacara pemakaman Ratu lebah dilangsungkan siang itu. Kematian sang Ratu yang tiba-tiba, menorehkan kesedihan yang mendalam bagi koloni lebah. Tak ada satupun lebah yang tau penyebab kematian sang Ratu. Mereka hanya pasrah menerima ketentuan takdir di sarang itu.

                Pemakaman Ratu lebah berlangsung dengan suasana yang penuh penghormatan di dalam sarang.  Lebah-lebah pekerja yang biasanya sibuk dengan tugas mereka, hari itu berkumpul di sekitar tubuh sang Ratu.

                Ratu diletakkan di bagian tengah sarang, di mana cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah sarang menyinari tubuhnya. Seluruh lebah yang ada di sarang itu berdiri dengan formasi melingkar, menegelilingi sang Ratu dengan penuh khidmat. Sayap mereka yang berwarna keemasan berkilau dalam sinar matahari, menciptakan suasana indah namun penuh haru.

                Suara dengungan lembut sayap mereka yang digetarkan bersamaan memenuhi udara, seolah-olah seluruh koloni sedang menyanyikan lagu penghormatan terakhir untuk sang Ratu. Beberapa lebah pekerja mulai membalut tubuh sang Ratu dengan lilin lebah, memberikan sentuhan terakhir, sebelum akhirnya tubuh sang Ratu disimpan di sudut khusus di dalam sarang itu.

                Setelah upacara pemakaman sang Ratu selesai, para lebah di sarang itu tak lagi melanjutkan aktivitas seperti biasanya. Mereka hanya diam dan merenung di dalam sarangnya. Lebah pekerja tak lagi mencari nektar. Begitupun lebah penjaga, mereka tak lagi melakukan tugasnya. Hari itu, pucuk pohon Willow terasa sunyi tanpa hiruk pikuk yang biasa terjadi di sarang itu.   

                "Apa yang akan terjadi dengan koloni kita selanjutnya?" Gubee mencoba berbicara dengan seekor lebah pekerja yang masih diam berdiri di depan kamar sang Ratu.

                Lebah itu hanya diam. Pandangannya kosong menatap titik yang tak terlihat. Ada bayangan yang bermain di dalam kamar Ratu lebah yang membuatnya terkadang tersenyum sendirian. Saat bayangan itu hilang, raut wajahnya kembali menyedihkan. Kenangan bersama sang Ratu terus bergulir di ruang matanya, memainkan peran yang semakin mengusik perasaan.

                "Apa kau mendengarku?

                Lebah itu menatap Gubee untuk sesaat, dan kembali memandangi kamar sang Ratu.

                "Mengapa semuanya hanya diam? Apakah tidak ada cara yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkan koloni ini?

                "Cara apa yang kau bicarakan? Koloni kita telah berakhir. Ratu pergi sebelum melahirkan telur untuk penerus koloni ini." Lebah itu mulai menanggapi Gubee.

                "Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu kematian bersama-sama di sarang ini. Pergilah ke tempatmu, dan tunggu kematianmu di sana," pungkas lebah itu, lalu pergi meninggalkan Gubee.   

                Pernyataan lebah pekerja itu membuat Gubee tak mampu berkata-kata lagi. Sepertinya, sudah tidak ada solusi untuk masalah yang menimpa koloninya, selain menunggu kematian. Gubee akhirnya kembali ke tempatnya, ke aula di mana para lebah jantan berada.

                 Saat memasuki ruangan itu, pemandangan mengerikan menyambut Gubee. Para lebah jantan di aula itu tak lagi bernyawa. Pangeran-pangeran itu telah kaku dan menjadi mayat.

                 "Apa yang terjadi di sini?" Dengan penuh kecemasan, Gubee memeriksa satu persatu jasad temannya. Tak satupun dari mereka yang masih bernapas.

                 Gubee teringat percakapannya dengan temannya sepekan yang lalu.

                 "Kita akan menjadi lebah dewasa dalam waktu empat belas hari. Saat waktu itu tiba, kita semua akan mati. Kita akan menjadi bangkai setelah musim kawin selesai.

                 "bagaimana jika kita tidak mati setelah musim kawin?

                 "mustahil! tidak akan ada diantara kita yang bisa hidup melebihi waktu empat belas hari.

                 Gubee tertegun sejenak, tersandar di dinding ruangan itu. Matanya yang kecil memancarkan aura sunyi, dingin, dan kehilangan. "seperti inikah akhir hidup lebah jantan?" lirihnya.

                 "Aku juga lebah jantan! Aku juga pangeran lebah!" sentaknya kemudian memandangi tubuhnya sendiri.

                 "Keajaiban bunga itu benar-benar nyata! Aku masih hidup berkat nektar bunga itu." Imbuhnya.

                 "Tapi, kenapa Ratu bisa mati? Bukankah dia juga telah diberi nektar bunga itu?" Kenyataan itu terasa aneh di pikiran Gubee.                      

                 Definisi keabadian yang dibayangkannya seakan tak sesuai dengan apa yang terjadi di hadapannya hari itu.

                 "Mungkin Laba-laba tua bisa menjelaskan semua ini!" Gubee teringat sesuatu. Ia teringat seekor Laba-laba tua yang tinggal di sebuah rumah di tengah hutan gunung Alpen.

                  Ia kemudian meninggalkan sarangnya, terbang kembali mengarungi hutan. Ingatannya terus tertuju pada Laba-laba tua yang pernah di temuinya tujuh hari yang lalu. Ia yakin, Laba-laba yang banyak tahu tentang kehidupan di sekitar hutan gunung Alpen itu, mungkin bisa menjawab keanehan yang sedang terjadi di koloninya.

                  Di dalam hutan yang rimbun dan penuh dengan pepohonan tinggi, Gubee tak henti-hentinya melayang di udara. Berpacu dengan alam yang mulai menampakkan wujud senjanya, Gubee terus mempercepat getaran sayapnya, menyonsong desiran angin yang menyapu dedaunan.

                  Bayangan rumah tua yang terletak di tengah hutan lebat, mulai terlihat. Cahaya kuning langit senja telah nampak mewarnai semak belukar dan tanaman liar yang tumbuh subur di sekeliling rumah itu. Gubee berhasil sampai ke rumah itu sebelum matahari benar-benar tenggelam.

                  "Pak tua! Apakah kau masih di dalam sana?" ujar Gubee sesampainya di tepi sebuah lubang papan rumah itu.

                  "Siapa itu?" suara sedikit agak kasar terdengar dari dalam lubang itu.

                  "Aku Gubee! Lebah yang kau lepaskan dulu!

                  "Gubee? Kau kah itu?" Laba-laba tua tampak keluar dari lubangnya. Tubuhnya yang besar dan berbulu, menguning terkena biasan cahaya langit senja.

                 "Apa yang membawamu ke sini Gubee?" tanyanya kemudian.

                 Gubee terbang mendekati Laba-laba tua itu, lalu hinggap di tepi lubang papan.

                 "Bencana besar telah menimpa koloniku Pak tua. Ratu kami telah mati." Ungkap Gubee.

                 "hahaha..!" Laba-laba tua tertawa.

                 "Itu memang sudah biasa terjadi Gubee! setiap kehidupan pasti akan menemukan kematian. Kau tak perlu terlalu bersedih, kehidupan kolonimu belum berakhir. Lebah-lebah pekerjamu pasti akan merawat Ratu baru untuk menggantikan Ratumu itu." terang Laba-laba tua, bersikap biasa saja.

                 "Koloniku sudah berakhir Pak tua. Tak ada ratu baru, ataupun penerus koloni itu. Ratu kami mati sebelum bertelur.

                 "Apa!? Itu tak mungkin!" Raut wajah Laba-laba tua mulai tampak tegang.

                 "Tapi itulah yang terjadi Pak tua.

                 "Itu tidak semestinya terjadi. Ratu lebah akan mengeluarkan banyak telur sebelum hari kematiannya. Bahkan, ia akan mengeluarkan banyak telur yang bisa dijadikan sebagai calon Ratu. Sepertinya ada yang aneh dengan kematian Ratumu itu."

                  Laba-laba tua berpikir sejenak.

                 "Bagaimana kematian itu terjadi?" tanyanya kemudian.

                 "Kematian itu terjadi saat prosesi perkawinan sedang berlangsung. Aku yang mengawini Ratu pada saat itu. Belum lama setelah proses perkawinanku dengan Ratu selesai, Ratu kehilangan nyawanya." Raut Gubee tampak sedih saat mengingat kembali cerita itu.

                   Laba-laba tua memandangi Gubee yang diam merenung di sampingnya. Cukup lama ia memandangi lebah kecil yang sedang berduka itu.

                  "Kenapa kau masih hidup?

                   Gubee tak menjawab, pertanyaan Laba-laba tua terdengar aneh baginya. Laba-laba tua juga menampakkan wajah tidak senangnya di saat itu.

                   "Apa kau meminum nektar bunga Edelweis?" Laba-laba tua menatap Gubee dengan tajam.

                 Gubee mulai merasa tak nyaman dengan tatapan itu. Ia gelagapan dan salah tingkah saat laba-laba tua itu mulai semakin mendekatinya.

                  "I,i.i..ya, aku me..minumnya. Tolong jangan melihatku, seperti itu Pak, tua." Gubee tampak pucat, mundur perlahan-lahan.

                  "Kaulah masalahnya Gubee!" tukas Laba-laba tua.

                  "Kolonimu akan benar-benar berakhir," keluhnya. (bersambung..)  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun