Mohon tunggu...
Robi Muhammad Affandi
Robi Muhammad Affandi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta dan Penulis Media Online

Hidup adalah tentang bagaimana engkau bercerita, dan bagaimana engkau diceritakan. Karena dengan cerita itulah manusia akan dikenal dalam sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Prince Gubee (Mencari Jalan Keabadian)

12 Agustus 2024   23:15 Diperbarui: 13 Agustus 2024   00:02 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesedihan hati adalah perasaan yang begitu mendalam, seakan ada beban yang tak terlihat  namun terasa begitu nyata. Seperti awan kelabu yang menutupi langit, kesedihan merangkak perlahan, membungkus setiap setiap sisi hati dengan keheningan yang menggema. Rasanya seperti berdiri di tepi jurang, melihat ke dalam kegelapan tanpa tahu apa yang menunggu di bawah.

                Mata yang biasanya bersinar, saat itu redup, terselimuti oleh bayangan kesendirian dan rasa kehilangan. Dalam kesedihan itu, waktu seolah melambat, setiap detik seperti menambah luka yang tak kunjung sembuh. Dan penyesalanlah yang selalu menjadi akhirnya.

* * * * * * *

Baca juga: Senja di Ujung Tali

Telah tujuh hari Gubee keluar dari pupanya. Ia yang terlahir sebagai lebah jantan diantara puluhan lebah jantan lainnya,  berkumpul di sebuah Aula yang sangat megah. Aula yang sengaja dibuat untuk para pangeran lebah yang akan membuahi ratu lebah nantinya. Di Aula itu dihidangkan madu-madu yang berasal dari berbagai macam nektar bunga, untuk santapan para pangeran sembari menunggu musim kawin.

Ada banyak cerita yang terdengar di antara para lebah di dalam Aula. Namun yang sangat menarik perhatian Gubee saat itu adalah cerita tentang siklus hidupnya sebagai lebah jantan.

“Kita akan menjadi lebah dewasa dalam waktu empat belas hari. Saat waktu itu tiba, kita semua akan mati. Kita akan menjadi bangkai, setelah musim kawin selesai.” Cerita salah seekor lebah jantan.

Baca juga: Ruang Kecil

“bagaimana jika kita tidak mati setelah musim kawin?” Tanya Gubee.

“mustahil! tidak akan ada diantara kita yang bisa hidup melebihi waktu empat belas hari.

“kenapa begitu? kenapa kita tidak bisa hidup lebih lama seperti lebah pekerja? Atau seperti ratu lebah yang bisa hidup sampai enam tahun? Bukankah makanan kita sama?” Percakapan ini semakin menarik bagi Gubee.

“tak sama. Ada perbedaan dari jenis nektar bunga yang digunakan untuk membuat makanan kita. Semenjak kita lahir, kita hanya diberi makanan berupa madu dari nektar bunga biasa. Kita tidak pernah diberi madu yang berasal dari nektar Bunga Edelweis, si bunga keabadian yang membuat hidup para lebah lebih lama. Tidak seperti Ratu lebah yang diberi madu Bunga Edelweis setiap musim, sehingga dia bisa hidup sampai enam tahun. Dan lebah lainnya diberi nektar bunga itu satu kali seumur hidup, dan mereka dapat bertahan hidup hingga dua bulan.      

“siapa yang membuat aturan seperti itu?

“mungkin alam, ratu lebah, atau leluhur kita, tapi entahlah! Sudahlah, nikmati saja hidup yang singkat ini. walaupun tak lama, setidaknya kita beruntung dari lebah lainnya. Karena  kita terlahir sebagai pangeran lebah yang akan mengawini ratu lebah.” Ucap lebah jantan itu tersenyum.

“ya! Nikmati saja! Siapkan stamina menjelang musim kawin tiba!” Seru lebah-lebah lainnya.

Gubee sepertinya tak senang dengan kenyataan itu. Ia merasakan ketidakadilan dalam jatah umur yang di dapatkannya. “untuk apa jadi pangeran kalau hanya berumur pendek? Harusnya pangeran berumur panjang seperti ratu.” Bisiknya dalam hati.

“heii..! apa kau tau seperti apa bentuk bunga edelweis itu!?”  Tanya Gubee kembali kepada pada lebah yang tadi bercerita. Lebah itu  terlihat tengah asyik menciumi satu persatu sarang madu yang ada di hadapannya, seperti sedang mencari sesuatu diantara madu-madu itu.

“itu pertanyaan bodoh! Kau kan tau, semenjak kita lahir kita sama-sama tak pernah keluar dari tempat ini. jadi, bagaimana mungkin aku bisa tau bentuk bunga itu? Mungkin kau bisa bertanya pada lebah pekerja, karena dari merekalah aku tau tentang cerita bunga itu. Tapi ku yakin, mereka tidak akan memberitahukanmu. Aku saja mendengar cerita itu secara diam-diam, hahaha… sudahlah, lupakan saja!” Ucap lebah itu, kemudian meneguk salah satu sarang madu dihadapannya.

“ini tidak adil! Kita pangeran lebah dikoloni ini. Kita yang akan memberikan keturunan kepada ratu lebah nantinya. Seharusnya umur kita harus setara dengan ratu lebah, karena peran kita sama pentingnya dengan ratu lebah!” Ujar Gubee.

“kemana kita akan menuntut ketidakadilan ini? Kepada lebah pekerja yang hanya sibuk dengan pekerjaan mereka? Kepada lebah penjaga yang sepanjang hidupnya berdiri seperti patung? Atau kepada ratu lebah yang hanya sibuk mempercantik dirinya menjelang musim kawin tiba?" Tanya lebah itu. 

“kita tidak akan menuntut pada siapapun. Tetapi kita bisa mencari nektar bunga edelweis itu sendirikan? Mungkin umur kita singkat karena kita tak mau berusaha dan hanya berdiam diri disini menunggu madu dari lebah pekerja! Mana mungkin kita bisa hidup lebih lama jika kita hanya hidup dari pemberian dan belas kasihan!” Dengan suara lantang, Gubee menyatakan pendapatnya pada para lebah.

“jangan bodoh! Kita ini pangeran. Kita tidak hidup dari belas kasihan. Kita ini dilayani disini layaknya seorang pangeran.” Bantah salah seekor lebah lainnya, tidak setuju dengan pemikiran Gubee.

“pelayanan apa yang kau bicarakan? Kita tidak pernah diberi madu keabadian, sedangkan lebah lainnya mendapatkan madu dari nektar bunga itu! Gelar pangeran ini pembodohan! Kasta kitalah yang paling rendah di koloni ini, sehingga kita tidak diberi hak meminum madu keabadian!” Tegas Gubee lagi.

“ya! Kau benar. Kasta kita yang paling rendah disini!” Tukas salah satu lebah dari perkumpulan lebah jantan di Aula itu, sepertinya lebah itu mulai memahami maksud Gubee.

“ayo kita cari bunga itu teman!!” Ujar Gubee pada lebah itu, semakin bersemangat.

“pergilah duluan, dan kabari aku setelah kau menemukannya!” Jawab lebah itu.

“hahaha..!” lebah lainnya tertawa mendengar penyataanya.    

“dasar lebah pemalas!” Gerutu gubee akhirnya.

 Walau tak ada satupun lebah yang mau mengikuti keinginannya, Gubee tidak mengakhiri hasrat yang terbesit dihatinya itu. Keinginan untuk hidup lebih lama dibenaknya, membuatnya semakin ingin tahu tentang Bunga Edelweis. Ia mencoba bertanya kepada beberapa lebah pekerja, namun benar saja, tak ada satupun lebah pekerja yang mau memberitahunya.

 Akhirnya Gubee memutuskan untuk mencari sendiri tentang keberadaan Bunga Edelweis itu. Diam-diam, ia tinggalkan sarang yang melekat kuat di pucuk Pohon Willow itu. Madu-madu mewah yang ditawarkan di dalam huniannya itu seperti tak menarik lagi dibandingkan cerita bunga keabadian yang didengarnya. Hari itu, ia mulai berpetualang dengan sayap mudanya yang baru berumur tujuh hari.

Di alam bebas, dikaki Gunung  Alpen, ia disambut oleh hamparan bunga-bunga yang sedang mengembang. Bunga itu bagaikan hamparan permadani warna-warni yang terbentang luas, dipenuhi dengan berbagai jenis bunga yang mekar indah. Mawar merah, tulip kuning, anyelir merah muda, dan bunga-bunga lainnya tertata rapi, menciptakan pemandangan yang mempesona. Wangi bunga yang semerbak menyelimuti udara, mengiringi getaran sayap kecil Gubee yang terbang riang diatasnya.

“inikah yang dinamakan bunga? Tidak hanya nektarnya yang manis dan berbau harum, ternyata rupanya juga sangat indah.” Gumam Gubee,  merendah mendekati kuntum bunga berwarna putih. Tangkai bunga itu yang ramping, berayun saat dihinggapi Gubee.

“bunga ini sangat indah dari bunga-bunga lainnya. Apakah ini bunga edelweis itu?” Gubee menjulurkan belalainya menghisap nektar bunga putih yang berbentuk lonceng itu.

“hemmm…sangat manis.” Gumamnya, kembali menghisap lebih banyak nektar, dan berpindah dari satu kuntum bunga ke kuntum bunga lainnya. Hingga akhirnya perut lebah kecil itu mulai terasa penuh oleh nektar bunga itu.

Namun tiba-tiba tenaganya seakan hilang begitu saja. Sayapnya tak mampu lagi untuk bergerak. Matanya mulai berkunang-kunang, nafasnya terasa berat, dan detak jantungnya mulai melambat. Perlahan, kesadarannya mulai hilang, dan akhirnya Gubee jatuh ketanah, tepat diatas ribuan koloni semut merah.

“makan siang datang!!” Ujar komandan koloni semut merah. (Bersambung…….)      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun