Mohon tunggu...
Roby Mohamad
Roby Mohamad Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Hanya tidur, bermimpi, bangun, melamun, dan satu lagi: jarang mandi! :P

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

POS#3: Mengaji Fiqh

11 Februari 2016   03:24 Diperbarui: 18 Februari 2016   10:24 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Jika seseorang ingin Allah mengirim kebaikan untuknya, maka, yuuk mengaji agama. Sebaliknya, ketika ia sudah enggan memahami agama, bersiap-siaplah menikmati keburukan yang Allah timpakan terhadapnya. Akibat dampak fiqh inilah, para ulama menetapkan fiqh sebagai ilmu yang paling spesial. Seiring dinamisasi ilmu-ilmu agama di era kodifikasi pengetahuan, mereka mengartikan hakikat fiqh dengan lebih fokus sebagai: “sebuah ilmu perihal hukum-hukum syariat yang 'amali-praktis (dalam keseharian), digali dari sumber-sumber dalil terperinci dengan cara ijtihad.”

Sebagian Dasar perihal Ilmu Fiqh

            Dari definisi ulama diatas, kita bisa mengetahui sebagian dasar sekilas ilmu fiqh. Pertama, objek fiqh adalah status hukum Syariat atas setiap aktivitas yang ‘amali, bukan yang ideologis. Bahasa mudahnya, Mbahyai Sahal Allah yarham mengartikan 'amali ini dengan "dalam keseharian". Hukum niat dalam salat, misalnya, adalah wajib, merupakan rukun pertama.  Kedua, kata “yang digali” pada definisi fiqh menunjukkan bahwa pengetahuan atas status hukum ini lahir melalui serangkaian proses penalaran dan kerja intelektual yang panjang, sebelum pada akhirnya dinyatakan sebagai hukum praktis.[6] Ketiga, tentu produk fiqh ini tidak hanya hasil dari proses penggalian intelektual (rasionalisasi) semata, tapi proses tersebut harus bersumber dan berdasarkan dalil-dalil terperincinya, baik dari Al-Quran, Hadits, ijma’ (kesepakatan para mujtahid), ataupun qiyas. Mekanisme baku dalam proses ijtihad penggalian hukum ini dipelajari dalam ilmu Ushul fiqh.

         Oleh karena demikian, seseorang yang mampu menggali status hukum suatu aktivitas langsung dari sumber aslinya tidaklah sembarang orang cerdas, tapi harus bertaraf mujtahid. Bila belum sampai taraf mujtahid, berendah hatilah sebagai pengikutnya. Belajarlah dari warisan ilmu para mujtahid dengan serius dan tekun. Tak perlu kita angkuh dan sok berlagak ‘alim, mengutuk pengikut mujtahid. Sebab, andai saja kita semua diperbolehkan menggali langsung dari sumber primer (Al-Quran dan Hadis) secara bebas, lalu kita tafsiri sendiri semua kandungannya, seenak kita dan sesuai dengan selera kita, maka sesungguhnya kita tidak sekedar menghasilkan produk fiqh yang gagal dan menyesatkan, tetapi juga telah menciptakan agama baru. Agama itu sama sekali bukan agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw, kita cuma men-dompleng nama saja, sementara isi dan ajarannya 100% buatan akal kita sendiri.[7] Na’udzubillah…

             Nah, pertanyaannya adalah, apa, sih, hukum mengaji fiqh ini? Sayyid Ahmad Asy-Syathiry membagi tiga hukum. Mengaji fiqh hukumnya fardlu ‘ain dalam materi-materi yang menentukan kesahan/keabsahan ibadah, mu’amalah, dan pernikahan. Lebih dari itu hingga taraf berfatwa, hukum mengaji fiqh adalah fardlu kifayah. Lebih dari sekedar taraf berfatwa, maka hukumnya sunnah.[8]

            Dari klasifikasi trio hukum ini, bisa kita simpulkan hukum mengaji fiqh ibadah seperti yang tertuang dalam kitab Safinatun Najah adalah fardlu ‘ain. Sebab tanpa mengetahui syarat-rukun ibadah, sebagaimana yang diterangkan Safinah, ibadah kita takkan sah. Melalui Safinah ini, kita akan sangat mudah mempelajari syarat-rukun tersebut. Bahkan, saking mudahnya, kita sampai sering lupa, “Berapa, ya, rukun salat dan nishab zakat dagangan itu? Lol :P

           Akhir soal yang perlu kita jawab bersama: “Untungnya ngaji fiqh itu buat apa?” Tentu tidak hanya agar ibadah kita sah saja, yaa. Lebih dari itu. Mengaji fiqh akan menghantarkan kita pada ketakwaan. Dengan fiqh, kita akan tahu segala perintah Allah sehingga bisa kita laksanakan dengan khidmat. Begitu pula, fiqh menjauhkan kita dari larangan-Nya. Semakin jeli-teliti kita memahami fiqh, semakin nikmat kita menjalankan titah-Nya dan menghindari larangan-Nya. Demikian itu atas kesadaran tertinggi bahwa setiap perintah Ilahi pasti memberi kita kebahagiaan lahir-batin abadi, sedang larangan-Nya menyimpan kesengsaraan yang siap melilit kehidupan dunia-akhirat kita. 

             Sebagaimana telah dikutip pada permulaan, Al-Quran membahasakan tujuan ngaji fiqh, yang merupakan bagian integral dari tafaqquh fid din, dengan: “supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”[9] Dengan “penjagaan diri” sesuai koridor fiqh inilah, kita tidak hanya untung di dunia, akan tetapi juga bakal berbagahia untuk selamanya di akhirat kelak. Amiin

 Wallahu a’lam bish Shawab

 

Rabu Larut, 11 Februari 2016 di Mahallah Zubair-IIUM

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun