Foto: https://analisis.kontan.co.id
Manusia secara ontologis merupakan mahluk yang bermultidimensi. Dengan karakternya yang multidimensi manusia mampu menjalin relasi dan beradaptasi dengan entitas di luar dirinya termasuk kemampuan untuk mengembangkan dirinya sendiri. Manusia mampu bergerak dari satu fase ke fase berikutnya (dinamis). Dengan karakter religius (homo religiutsitas) manusia mampu menjalin relasi dengan Allah. Dengan karakter sosial (homo sociale) manusia mampu menjalin relasi dengan sesamanya. Demikian pun sebagai homo culturale memampukan manusia berelasi dengan alam dan sesama. Karakter dinamis manusia turut mempengaruhi kebudayaan yang dihidupinya. Kebudayaan berubah seirama dengan perubahan hidup masyarakat. Perubahan itu berasal dari pengalaman baru, pengetahuan baru, tekhnologi baru dan berakibat pada penyesuaian cara hidup dan kebiasaanya pada kepada situasi baru.
Terjadinya perubahan tersebut disebabkan oleh sumber kekuatan dan kemakmuran suatu masyarakat atau negara yang mengalami perpindahan pemanfaaan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Sikap, mental dan nilai budaya turut serta dikembangkan guna keseimbangan dan integrasi secara baru. Hal ini mengingatkan kita akan ramalan seorang teoritikus komunikasi Kanada Marshall McLuhan (1911-1980) pada tahun 1960-an yang memperkenalkan suatu ramalan globalisasi dalam ilmu sosial dengan spekulasi bahwa dunia semakin dihegemonisasi menjadi "desa global", yang di dalamnya keragaman budaya lokal diubah secara radikal (dan akhirnya dibatasi) melalui sistem komunikasi dan perjalanan yang semakin maju dan universal.
Pada sisi lain manusia ditantang untuk mempertahankan budayanya. Oleh sebab itu pertanyaan atau kecemasan umum yang sering terjadi adalah, apakah kebudayaan mampu bertahan dalam setiap dinamika kehidupan tersebut? Apakah kebudayaan mampu mempertahankan hakekat dan kodratnya dalam setiap perubahan? Nyatanya kita temukan dalam dunia dewasa ini hampir tak ada lagi budaya yang otentik dalam artian berkembang secara mandiri melainkan telah mengalami pengitegrasian dengan berbagai macam hal-hal baru terutama budaya barat.
Manusia dan Disrupsi Digital
Sebagaimana dipahami bahwa kebudayaan merupakan hal-hal yang terkait dengan aktualisasi dari daya budi (ratio et intellectus) insani, yaitu proses dan hasil dari daya yang berarti tenaga, energi dari akal budi manusia.Â
Dari makna literer ini maka yang menjadi subjek dari suatu kebudayaan adalah manusia. Manusia menjadi subjek kebudayaan dalam artian manusia adalah tuan atas kebudayaan tersebut dan relasi timbal balik diantaranya adalah relasi antara subjek dengan subjek.Â
Manusia menjadi pelaku suatu kebudayaan. Ia menjalankan kegiatannya untuk mencapai sesuatu yang berharga baginya dan dengan demikian kemanusiaanya menjadi lebih nyata. Melalui kegiatan kebudayaan sesuatu yang sebelumnya hanya merupakan kemungkinan belaka, diwujudkan dan diciptakannya secara baru.
Dengan demikian kedudukan manusia di dalam kebudayaan menempati posisi yang sentral, bukan manusia sebagai orang melainkan sebagai pribadi. Kepadanya segala kegiatan diarahkan sebagai tujuan. Manusia menempati posisi sentral karena hanya manusialah yang memiliki budi yang menjadi dasar kesempurnaan manusia. Karena itu budi tidak sama dengan akal atau pikiran rasional. Budi (entendent, Perancis-Vernunft, Jerman) adalah pengetahuan tertinggi sang manusia  dan memuat kekayaan yang tak dapat digali seumur hidup yang dengan tak berkeputusan dapat disempurnakan lagi.
Manusia Sebagai Subjek Perubahan (Change Agent)
Perubahan adalah salah satu hal utama dalam sejarah kehidupan umat manusia. Perubahan menunjukan bahwa manusia mampu mengintegrasikan dirinya dengan alam sekitar. Perubahan selalu bergerak ke depan sesuai aliran waktu dari masa lalu ke masa kini. Perubahan kemudian dimaknai sebagai hakikat kehidupan manusi di mana manusia akan menjadi lebih manusiawi dalam aliran serta gerakan waktu.
Subjek utama dari perubahan tersebut adalah manusia. Menurut Paulo Freire hanya subjek saja yang memiliki kemampuan untuk melihat realitas dan mengerti eksistensinya. Menurutunya yang paling penting pemahaman mengenai manusia adalah bukanya "what man is" tetapi "what man will be". What man will be mengandaikan bahwa manusia "always on the making" selalu berproses dan di dalam proses itulah tercipta perubahan. Itulah sebabnya manusia pantas disebut sebagai subjek perubahan.
Selama dua dekade terakhir laju perubahan menjadi sedemikian cepat sehingga tatanan sosial-budaya memperoleh sifatnya yang dinamis dan luwes. Kini tatanan sosial dan budaya berada dalam kondisi perubahan permanent. Herakleitos (540-480 SM) mengatakan " nothing endures but change"-"tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri". Ramalan Herakleitos kini menjadi nyata dalam dunia dewasa ini, bahwa segala sesuatu akan berubah-mengalir, bahkan budaya itu sendiri pun mengalami perubahan.
Dalam Gaudium et Spes dikatakan bahwa "dewasa ini umat manusia berada dalam periode baru sejarahnya, masa perubahan yang berangsur-angsur meluas ke seluruh dunia." Perubahan itu timbul dari kecerdasan dan usaha kreatif manusia dan kembali mempengaruhi manusia sendiri, cara-cara menilai serta keinginan-keinginannya yang bersifat perorangan maupun kolektif, caranya berpikir dan bertindak terhadap benda-benda maupun dengan sesama manusia.
Youval Noah Harary dalam Homo Sapiens mengatakan bahwa penyebab utama terjadinya suatu perubahan adalah karena sifat manusia yang menganggap bahwa tatanan tradisional itu bersifat keras dan kaku sedangkan transfromasi sosial sebagai hasil akumulasi banyak lagkah kecil adalah jauh lebih relevan untuk konteks sekarang ini. Karena faktanya sekarang setiap tahun selalu bersifat revolusioner. Manusia keluar dari tatanan lama dan menciptakan tatanan yang lebih baru. Tatanan dasar sosial yang tradisional berubah secara besar-besaran dengan segala keuntungan dan resikonya.
Definisi Disrupsi Digital
Istilah Disrupsi digital sering juga dikenal dengan istilah Revolusi Digital yang dipahami sebagai perubahan dari teknologi mekanik dan elektronik analog ke teknologi digital yang telah terjadi sejak tahun 1980 dan berlanjut sampai hari ini. Revolusi itu pada awalnya mungkin dipicu oleh sebuah generasi remaja yang lahir pada tahun 80-an. Analog dengan revolusi pertanian, revolusi Industri, revolusi digital menandai awal era Informasi.Â
Revolusi atau disrupsi digital ini telah mengubah cara pandang seseorang dalam menjalani kehidupan yang sangat canggih saat ini. Sebuah teknologi yang membuat perubahan besar kepada seluruh dunia, dari mulai membantu mempermudah segala urusan sampai membuat masalah karena tidak bisa menggunakan fasilitas digital yang semakin canggih ini dengan baik dan benar.
Dari definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa secara bahasa disrupsi disebut sebagai suatu gangguan yang terjadi pada sebuah peristiwa atau, aktifitas dan proses (distrbance or problems which interrupt an event, activity or process). Pada landasan konsepsional disrupsi ditandai dengan perkembangan tekhnologi informasi digital dan berubahnya pola hidup manusia secara radikal. Disrupsi ini mengikuti revolusi industri peradaban industrial masyarakat yang telah sampai pada level 4.0 ketika perkembangan industri informasi virtual menyergap kehidupan sebagain besar bangsa masyarakat modern dan membangun kedangkalan dan perusakan kulutaral manusia.
Terganggunya tatanan sosial oleh kemajuan teknologi bukanlah fenomena baru bagi manusia. Tanda-tanda ini sudah mulai muncul sejak awal Revolusi Industri, di mana masyarakat manusia telah mengalami proses modernisasi tanpa henti sebagai satu proses produksi baru menggantikan yang lain. Disrupsi digital sebenarnya sudah mulai dipropagandakan sejak era tersebut. Disrupsi digital ini kemudian membentuk identitas manusia yang baru yang disebut homo digitalis. Seperti yang dikatakan F. Budi Hadirman "kelahiran  homo  digitalis ke  pentas  sejarah  dimungkinkan  oleh  teknologi".
Dari pengertian tersebut di atas disimpulkan bahwa disrupsi digital hadir dalam kehidupan manusia dengan dua sisi yakni sisi positif dan serentak membawa sisi negatif. Sisi positif, disrupsi digital merupakan peluang untuk mengembangkan kehidupan manusia atau sebagai sarana untuk mempromosikan budaya-budaya dalam masyarakat lokal terutama kearifan-kearifan lokal yang belum terjangkau oleh publik. Tetapi di sisi lain disrupsi digital menyebabkan terjadinya gradasi kebudayaan secara besar-besaran. Inilah dua paradoks yang mesti dihadapi secara bijak.Â
Disrupsi Digital Sebagai PeluangÂ
Salah satu unsur untuk mengembangakan kebudayaan adalah tekhnologi. Pada masyarakat tradisional tekhnologi yang digunakan tentunya sangat sederhana. Sistem tersebut berbeda jauh dengan sistem tekhnologi yang kita gunakan saat ini. Kehadiran tekhnologi dalam era disrupsi ini merupakan berkah bagi manusia sejauh kehadirannya itu dimanfaatkan untuk membangun kehidupan. Seperti yang kita pelajari dalam sejarah, bahwa manusia mengolah alam menjadi bernilai bagi hidupnya, dengan mengembangkan teknologi. Tekhnologi pada satu sisi juga merupakan salah satu unsur yang hakiki dari kebudayaan itu sendiri.
Secara historis, teknologi mengalami kemajuan. Dalam perkembangannya teknologi dapat mengubah wajah dunia. Teknologi melahirkan suatu revolusi yang menunjukkan terjadinya perubahan pada manusia dalam melakukan proses produksinya. Berkaitan dengan hal ini maka tekhnologi dapat dikaji dari dua aspek: pertama; apa yang disebut dengan media (media cetak dan eletronik-online) dan kedua; apa yang disebut dengan tekhnologi itu sendiri dengan sistem operasinya masing-masing. Dengan hadirnya tekhnologi yang canggih dalam era digital ini kebudayan-kebudayaan dapat dikenal diseluruh dunia dan dapat bersaing dalam kontestasi global. Salah satu contoh budaya mbaru niang (rumah adat) masyarakat Wae Rebo yang baru-baru ini menyabet juara satu nominasi kampung asli dalam kontestasi desa paling menarik di Indonesia. Dengan demikian kehadiran tekhnologi dapat menjadi sarana untuk mempromosikan kearifan-kearifan lokal.
Kehadiran tekhnologi diharapkan membuat kehidupan manusia makin beradab dan semakin bermartabat ketika kegiatan manusia sehari-hari didukung oleh peralatan-peralatan yang sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman. Dalam pengertian ini maka kegiatan apa pun yang dilakukan oleh manusia apabila didukung oleh peralatan yang relevan dan aktual maka hasil yang diperoleh juga akan memenuhi hasrat hati dan harapan.
Disrupsi Digital Sebagai TantanganÂ
Di samping sebagai peluang Disrupsi Digital juga merupakan tantangan yang paling eksistensial bagi kebudayaan. Selama beberapa abad terakhir semua kebudayaan berubah nyaris tak bisa dikenali akibat banjir pengaruh global. Hampir tidak ada lagi kebudayaan-kebudayan yang betul-betul otentik yang terdiri atas tradisi-tradisi lokal kuno dan bebas dari pengaruh luar. Di era disrupsi ini sulit kita temukan budaya-budaya yang benar-benar otentik dalam artian sesuatu yang berkembang secara mandiri.
Salah satu contoh terkait hal ini adalah gradasi budaya gotong royong di berbagai tempat dalam kontkes kultur Indonesia. Munculnya mesin-mesin pertanian yang canggih menggantikan tenaga manusia dalam mengolah lahan yang dapat dikerjakan secara gotong-royong. Pekerjaan yang dulunya dikerjakan oleh sekelompok orang kini bisa dikendalikan oleh satu orang saja dengan bantuan mesin. Selain itu perkembangan alat-alat komunikasi yang canggih hampir tak terbendungkan lagi dimanfaatkan untuk kebutuhan-kebutuhan komersialisasi. Misalnya komersialisasi tubuh. Bagian tubuh sensitif yang dulunya dinilai sakral di zaman tekhnolog ini tubuh dikomersialisasikan untuk mempromosikan produk-produk kecantikan dan mode-mode
Dampak yang paling serius juga dari disrupsi digital adalah perubahan pola pikir yang sangat eksistensial. Pola pikir modern meggantikan pola pikir klasik merambah hingga ke bidang kehidupan yang paling kecil. Misalnya mentalitas instan dan hedonis.Â
Mempertahankan Eksistensi Budaya Di Tengah Disrupsi DigitalÂ
Pembahasan di atas sudah cukup memadai untuk menjelaskan budaya lokal dan disrupsi digital. Kini saya akan membuat sebuah risalah atau semacam rekomendasi terkait bagaimana mempertahankan kearifan-keaifan lokal di era disrupsi digtial ini. Sebagai tuan atqs budaya manusia dituntut untuk mempertahankan budayanya-kearifan lokal yang merupakan ciri khas suatu komunitas masyarakat tertentu.
Kemajuan tak mungkin bisa dielakkan lagi. Kamajuan tekhnologi yang sudah merambah segala bidang kehidupan manusia saat ini membantu banyak hal tetapi juga sekaligus mengubah tatanan sosial-budaya yang sudah sekian lama dibangun. Maka dalam laju perkembangan yang sulit dikendalikan itu budaya mesti dilindungi-dilestarikan dan dijaga agar jangan sampai terkontaminasi dengan pengaruh-pengaruh luar terutama pengaruh budaya barat.Â
Sepanjang sejarah umat manusia, telah terbukti bahwa "kebudayaan merupakan ikatan yang paling kuat terbentuknya sebuah masyarakat atau kelompok sosial". Kebudayaan pada pengertian ini dipahami sebagai suatu struktur yang tersususun dengan sangat rapi di mana berbagai komponen memiliki relasi yang sangat erat dengan banyak aspek lain dalam lingkungan hidup manusia yang berbeda dan dalam situasi apa pun. Secara kasat mata kita dapat melihat dalam sistem kebudayaan kita yang memiliki sistem dan struktur yang jelas dalam bentuk ritual-ritual.
Manusia berada di dunia yang terus maju dan berkembang. Berada dalam dunia berhubungan dengan eksistensi manusia. Manusia dapat merealisasikan dirinya dengan merealisasikan dunia. Maka seperti apa pun perubahan yang terjadi dalam dunia manusia dituntut untuk mempertahankan eksistensinya dan terus merealisasikan dunia dalam eksistensinya. Manusia dan dunia adalah dua kenyataan yang tak dapat dipisahkan. Untuk itu manusia berlaku secara serentak antara imanensi dan transendensi. Manusia adalah suatu kesatuan dengan dunia (alam) namun sekaligus bertransendensi terhadapnya.
Berhadapan dengan kemajuan yang pesat ini tidak ada cara lain, manusia harus terus bereksistensi. Umat manusia dewasa ini menyadari adanya polarisasi kehidupan yang baru yang disebut disrupsi digital. Sistem digital adalah suatu budaya baru yang serba tekhnis. Manusia mengolah segala sesuatu mengunakan teknik-teknik tertentu. Teknik dalam arti sempit dimengerti sebagai membuat dan menggunakan alat-alat sehingga alam dapat dikerjakan secara lebih efisien dan mudah. Dengan bantuan alat-alat teknik manusia dapat bekerja sebagai bagian dari budaya dengan sangat mudah. Melalui perkembangan tekhnik organ-organ tubuh bekembang makin sempurna.
Dengan demikian tekhnik bukan hanya perpanjangan dan penyempurnaan organ manusia melainkan juga pelbagai fungsi organ tubuh dipindahkan dan diambil alih. Kehadiran tekhnologi dinilai meringankan dan memperkuat kerja otak manusia seperti berpikir, mengingat, menghitung, dan mengukur. Tetapi penggunaan alat-alat teknik tidak berarti mereduksi peran utama manusia. alat-alat teknik berfungsi sebagai "peimikir", "pengontrol", "pengamat" dan penyimpan iformasi. Semuanya dalam tanda kuitp sebab alat-alat tekhnologi ini (komputer) tetap merupakan buatan manusia dan diprogram oleh manusia. Dengan demikina manusia tetaplah subjek utama atas alat-alat tersebut.
Kurang lebih ada empat point yang dapat dianjurkan sebagai strategi untuk mempertahankan kebudayaan di era disrupsi ini yakni: pertama; dengan menyadari bahwa kebudayaan merupakan milik bersama suatu komunitas masyarakat tertentu. Oleh karena itu setiap orang bertanggungjawab atas budayanya. Kedua; kebudayaan merupakan hasil belajar masyarakat lokal atas fenomena alam yang dijumpainya.Ketiga; budaya merupakan identitas dan lambang. Keempat; perlunya integrasi dan asimilasi.Â
Dengan pola pikir seperti ini manusia dapat mempertahankan eksistensi budaya di tengah gempuran globalisasi. Kendati hal ini menjadi tantangan yang sulit bagi manusia tetapi dengan perangkat-perangkat yang melekat dalam dirinya seperti akal budi dan kehendak manusia dapat memperhankan kebudyaaan yang dihidupinya.
BAHAN BACAAN
Adelbert Sijders, Manusia Paradoks dan Seruan, Yogyakarta: Kompas, 2004
J. W. M Bakker, SJ, Filsafat Kebudayaan, Sebuah Pengantar, Jakarta: Kanisius, 1984
Prof. Dr. H.A.R. Tillar, MSc. Ed, Perubahan Sosial dan Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2012
Paula A. Erickson & Liam D, Murphy, Sejarah Teori Antropologi, Jakarta: Prenada Media: 2018
Gregorius Neonbasu, SVD.Ph. D, SKETSA DASAR, Mengenal Manusia dan Masyarakat, Jakarta: Kompas, 2020
Yuval Noah Harari, Sapiens, Riwayat Singkat Umat Manusia, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia-KPG, 2019
Konsili Vatikan II: Gaudium Et Spes, dalam R. Hardawiryana, SJ (penerj), Dokumen Konsiili Vatikan II, Jakarta: Obor, 2013
https://id.wikipedia.org/wiki/Disrupsi-Revolusi-Digital, diakses pada Minggu, 12 Desember 2021
Teuku Kemal Fasya, Budaya Lokal di Era Disrupsi dan Ketahanan Nasional : Sebuah Tantangan Bagi Antropologi Pendidikan, dalam Jurnal Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Antropologi (SENASPA), Vol. 1 Tahun 2020), Fakultas Ilmu Sosial: Â Universitas Negeri Medan, 2019
Francis Fukuyama, The Great Disrupstion, (United States: Great Britain, 1999), hlm. 17
F. Budy Hadirman, Manusia Dalam Prahara Revolusi Digital, dalam, https//journal.driyarkara.ac.id/index.php/diskursus/article/view/252/132. Diakses pada Minggu, 12 Desember 2021
Adelbert Sijders, Manusia Paradoks dan Seruan, Yogyakarta : Kompas, 2004
    Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H