Hari-hari ini, kita menikmati udara kebebasan. Letupan senjata berupa laras panjang dan pentungan, hanya tinggal historia yang berlinang dalam memori anak bangsa. Hanya rubrik yang kerap dianggap purba. Juga tumpukan rekaman dan juga tumpukan helaian yang tersimpan rapi di lemari para pelaku sejarah. Begitupun benda-benda kuno yang berapit rapi di berbagai museum.
Generasi 45 misalanya, di era Sang Proklamator, Soekarno, para pemuda yang kian latang di berbagai forum dunia. Yang mengisah tentang bagaimana mempertahankan kemerdekaan. Memperdebatkan ideologi dengan pemikiran yang kian kritis di forum paling bergensi tingkat dunia. Mereka kaya dengan idealisme dengan bacaan yang betul-betul meragi menjadi sebuah ide yang amat cemerlang.
Mereka sangat menjaga martabat sebagai anak bangsa yang tumbuh dengan pemikiran yang kritis. Mengambil posisi yang sepi, mengambil jarak dengan para penggoda di tubuh kekuasaaan. Dari sudut paling sunyi, mereka melontarkan kebernasan gagasan lewat rubrik yang disaji dalam setiap pagi di gubuk rakyat. Mereka mengurai dengan ide-ide paling mujarap. Agar rakyat sadar, bahwa kemerdekaan adalah harga mati.
Dalam sebuah refleski kritis Soejatmoko(1990 misalnya, Revolusi Indonesia Setelah 45 tahun, yang mengisah tentang pemikiran kritis Amir Sjarifuddin dan juga Sjahrir, keduanya mengambil jarak dengan selalu mendebatkan kemerdekaan Indonesia. Soejatmoko selalau mengambil jarak dengan Soekarno.
Masuk pada era 1965, Para pemuda juga tidak kalah kritisnya menyuarakan era kepemimpinan Orde Baru yang menggunakan tangan besi ketika rakyat melawan. Surat kabar dibredel, pun kemunculan ideologi yang berseberangan dengan pemerintah akan diberangus. Sungguh lalim, Orde baru memburu sesama anak bangsanya.
Jalan panjang perjuangan perjuangan pemuda era itu, kian teriris dengan ancaman yang kian kejam. Para pemikir dari kelompok kiri hanya sisa cerita dan raga yang tak tau pelakunya lari entah ke mana.
Â
Mitra Kritis
Pemuda sejatinya adalah api semangat yang tumbuh dengan idealisme yang kritis. Berkobar melontarkan keresahan yang berangkat dari suasana ketidakadilan. Ataupun kebijakan yang tidak berjalan dalam alur yang kian seimbang, mereka tidak pernah diam saja. Tak ada yang bisa menggantikan posisi kaum muda dari sejarah akan tumbuh dan berkembangnya bangsa ini.
Menjadi kawan dalam sebuah pertengkaran yang ide, adalah harga mati yang kerap menjadi kesepakatan batin bagi semua pemuda. Mereka akan menjadi lawan ketika tindakan tidak sejalan dengan amanah. Yang melenceng mesti dicengkram dengan kritik penuh pedis.
Relasi itu kian langggeng, ketika perjumpaan dijadikan sebagai agenda pertengkaran gagasan. Yang salah mesti disuarakan. Yang membelok harus diluruskan. Serba-serbinya diamati baik-baik.
Mereka yang pernah bergolak di medan paling sulit. Meracik dengan ide-ide berkemajuan. Dari gubuk-gubuk diskusi, pemuda tidak lekang dalam perih. Menyeruak dari dari persimpangan jalan. Kelaliman bagi mereka adalah bentuk penindasan paling keji dalam sebuah negara. Apalagi kepada bangsanya sendiri.
Memuncak pada 21 Mei 1998, pemuda memenuhi jalan, menduduki gedung parlemen. Meruntuhkan rezim paling keji dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Pemuda kian tak tergantikan. Mereka kaya dengan ide. Merancang berbagai strategi. Demi sebuah keadilan, agar manusia merasakan bebas menghirup udara bebas.