Mengartikan Kesejahteraan dengan Terpaksa
Kesejahteraan begitu akut dalam batin semua warga negara yang kerap senang memuji-muji. Â Bahkan apresiasi yang kian berlebihan. Begitupun produksi narasi dari ruang kekuasaan yang tiada henti dihembuskan.
Tidak lain maksud daripada narasi tersebut adalah agar mereka semakin langgeng menjadi bohir-bohir yang tiada tergantikan. Suguhan anggur dari dalam gedung terhormat memang lebih beda. Ketimbang mengecup pahit proses proses deliberatih akan keadilan yang harus diperjuangkan.
Ada yang sia-sia begitu saja. Ketika narasi itu hanya sebagai pemanis untuk diakui semua warga yang menghuni. Padahal, ketidakmampuan itu runtuh sekejap, ketika kekuasaan tidak lagi menjadi tameng untuk memproduksi yang namanya populisme.
Sebagaimana yang dilansir BBC News Indonesia pada 11 Juli 2022 yang lalu, ketika Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa menyatakan mundir dari Jabarannya sebagai presiden.
Gelombang gerakan yang menggulir di sejumlah aktivis gerakan pun terus menggebu-gebu dan juga masyarakat biasa yang ikut melontarkan amarah atas ketidaksanggupan pemerintah mengatasi krisis yang terjadi.
Kondisi kesadaran masyarakat memang akan tumbuh ketika situasi tidak lagi hanya kata-kata pemanis seperti kesejahteraan. Namun lebih kepada suasana dan jawaban yang menyentuh lapisan paling dasar.