Mulai tahun 2016, Gubernur DKI membebaskan PBB bagi hunian dengan NJOP dibawah Rp 1M(miliar).
Alasan Gubernur Ahok membebaskan PBB adalah membantu orang-orang di saat ekonomi di Indonesia sedang susah dan adalah tugasnya mengadministrasi keadilan sosial.
Siapa penggagas pembebasan PBB?
Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferri Mursyidan Baldan adalah penggagas dibebaskannya PBB. Pembebasan PBB semata demi kesejahteraan rakyat, demikian kata Ferry Baldan. Pajak bumi hanya satu kali, yaitu saat lahan menjadi milik seseorang.
Ferry Badan juga menyatakan Tuhan menciptakan bumi satu kali mengapa Indonesia pajaki setiap tahun.Â
Gotong royong dan berbagi kasih dengan yang kurang
Baik Menteri Agraria maupun Gubenur DKI menekankan kesejahteraan rakyat dan keadilan sebagai dasar pembebasan PBB untuk hunian dengan NJOP dibawah Rp 1 miliar.
Mari kita mengambil contoh sebuah hunian di DKI dengan NOP rp 900 juta. Dalam pengamatan saya, harga pasar dari hunian adalah 2-3 kali NJOP. Jadi hunian dengan NJOP Rp 900 juta, diperjual belikan dalam kisaran Rp 1,8 M- Rp 2.7 M. Dengan kata lain: Mereka yang memilik hunian dengan NJOP Rp 900 juta,  memiliki kekayaan dalam bentuk hunian/properti sebesar  Rp 1.8-2.7 M. Besar kemungkinan memiliki kekayaan dalam bentuk lain seperti Tabungan, Saham, Obligasi, Kendaraan bermotor dan lain-lain. Dalam pengamatan saya,  mereka setidaknya berkecukupan.
Mereka yang tinggal di Hunian dengan NJOP Rp 900 juta, kemungkinan besar menikmati fasilitas yang dibangun pemerintah, seperti: PLN, air bersih dan jalan beraspal. Mungkin juga menikmati taman.
Mereka yang tidak memiliki hunian dan mereka yang tergolong miskin sebagian besar tidak menikmati fasilitas diatas. Sebagian dari mereka  tinggal dilingkungan langganan kebanjiran, dan tidak aman. Kecil sekali kemungkinan/kesempatan bagi anak-anak mereka untuk diterima di sekolah negeri unggulan.
PBB progresif
Tugas Pemerintah membuat penggolongan pajak yang meningkatkan gotong royong, meningkatkan rasa keadilan dan berbagi kasih.
PBB yang sekarang terdiri dari 3 pengelompokan tarif yaitu : bebas, 0,1% dan 0,2%. Perlu diperkenalkan perluasan pengelompokan hingga 5 atau 10: 0,5%, 0.1%, 0.2%, 0.3% dan seterusnya.
Untuk pemeratan, meningkatkan rasa gotong royong dan mengurangi pencari rente lahan baiknya dipertimbangkan tarif  khusus bagi mereka yang memiliki lebih dari 1 hunian.  Apalagi jika hunian yang yang ke dua dan seterusnya dibiarkan tidak dihuni. Banyak yang membutuhkan hunian tetapi di Perumahan Mewah jelas sekali banyak yang tidak dihuni, malah tidak terawat.
Memiliki hunian yang tidak dihuni apalagi tidak dirawat adalah suatu bentuk demonstrasi: Adalah hak asasi saya  untuk memiliki hunian sebanyak-banyaknya, dan hak saya menterlantarkannya.
Pemerintah DKI perlu berbagi
Penduduk DKI paling menikmati infrastruktur yang dibangun pemerintah. DKI paling menikmati banyaknya fasilitas pendidikan dan fasilitas paling berkelas. Semua fasilitas yang dibangun Pemerintah berarti dibiayai 250 juta rakyat Indonesia, tetapi dinikmati sekitar 10-20 juta rakyat DKI.
Pemerintah DKI justru perlu meningkatkan pendapatan dari pajak, termasuk PBB untuk sebagian dibagikan kedaerah tertinggal.
Pada bulan Maret 2015, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,59 juta orang (11,22 persen). Berapa juta penduduk Indonesia yang sejak kemerdekaan hidup dalam kegelapan, karena tidak pernah mendapat aliran listrik. Mereka tidak memilik gambaran kapan mereka akan bangkit dari gelap menjadi terang. Berapa juta penduduk Indonesia yang tidak memiliki fasiltas air bersih.
Biarpun kita menganut Otonomi Daerah , kita bangsa Indonesia berkewajiban untuk berbagi dengan saudara-saudara  kita yang kurang dari kita, yang kurang menikmati pembangunan.
Saudara kita yang tinggal di pedalaman, di daerah tertinggal hanya dijadikan penonton, dianak-tirikan dalam pembangunan tetapi disamakan dalam membayar PBB.
Menteri  Agraria bukannya mensejahterakan rakyat, bukannya menegakkan keadilan sosial tetapi justru memperbesar jurang/ketimpangan
Ketimpangan antara  orang yang berkecukupan( penduduk DKI) dengan orang miskin (penduduk DKI) apalagi dibandingkan dengan orang miskin yang tinggal  di pedalaman/daerah tertinggal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H