Mohon tunggu...
Roberto Armando
Roberto Armando Mohon Tunggu... Novelis - pemerhati politik

penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Tak Tahan Jadi Oposisi, PKS Dulu Caci-Maki Kini Ingin Gabung Koalisi

3 Mei 2024   11:21 Diperbarui: 3 Mei 2024   13:23 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
CNBC Indonesia/(Tangkapan Layar YouTube KPU RI)

"Tidak semua orang tahan menjadi oposisi." Begitu bunyi pernyataan Anies Baswedan saat mengkritik Prabowo Subianto pada debat kandidat jelang Pilpres 2024. Kala itu calon presiden yang diusung Partai Nasdem, PKB, dan PKS tersebut menuding lawan politiknya itu sebagai sosok yang oportunis: kalah dalam kontestasi, tetapi tetap ingin menikmati kue kekuasaan meski harus merendahkan harga diri dengan menjadi bawahan.

Cibiran itu rupanya sekarang berbalik arah. Tidak lama berselang usai Anies kalah dalam pemilihan, partai politik pengusungnya berebut untuk masuk ke dalam pemerintahan. Mungkin saja, seperti perkataan Anies sebelumnya, mereka tidak tahan untuk menjadi oposisi dalam lima tahun mendatang. Biarlah saat ini mereka menjilat ludah sendiri asalkan nanti bisa ikut mendapatkan jatah kursi menteri.

Keinginan untuk merapat ke koalisi Prabowo  diamini oleh Presiden PKS, Ahmad Syaikhu. Ia mengaku telah membuka sejumlah komunikasi dengan orang-orang dekat Prabowo dan Partai Gerindra. Bahkan, Sekjen PKS, Aboe Bakar Al Habsyi, lebih terang-terangan dalam menyatakan harapan bahwa partainya ingin  diajak bergabung ke koalisi pemerintahan seperti dua sejawatnya, Nasdem dan PKB.

Khianati Suara Oposisi

Khusus untuk Nasdem dan PKB, sudah banyak orang yang menduga bahwa keduanya akan tetap merapat ke kandidat pemenang pilpres. Pasalnya, pada pemerintahan sebelumnya, mereka merupakan bagian dari kekuasaan. Ditambah lagi, kedua parpol itu memang cenderung pragmatis. Mereka akan berupaya merapat karena menjadi bagian pemerintahqn menguntungkan secara ekonomis dan politis. Jadi, sudah jauh-jauh hari, banyak pihak yang memprediksi keduanya bakal berbalik arah dengan mengkhianati suara oposisi pemerintah.

Namun, tidak begitu halnya dengan PKS. Sejak awal partai politik oposisi itu sangat getol menyuarakan jargon perubahan. Suara mereka paling keras. Kritikan mereka paling tajam. Publik masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana lantangnya politikus PKS berteriak, "Prabowo curang," "Gibran anak haram konstitusi," "tolak makan siang gratis," atau "batalkan IKN (Ibu Kota Nusantara) yang baru."

Tidak berhenti di sana, mereka juga paling terdepan dalam mencaci-maki dan mengolok-olok Partai Demokrat, terlebih setelah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mendapat kursi menteri di Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Padahal, jika diingat-ingat, sikap Demokrat yang mengalihkan dukungan dari Anies ke Prabowo juga akibat akrobat politik mereka yang secara sepihak menetapkan calon wakil presiden.

Suka Bermuka Dua

Upaya PKS untuk merapat ke koalisi pemerintah tidak akan mudah. Banyak pihak yang meyakini bahwa Prabowo bakal sulit menerima kehadiran PKS di pemerintahannya. Alasannya cukup masuk akal. Pertama, parpol-parpol di Koalisi Indonesia Maju (KIM) sudah menyatakan penolakan, terlebih Partai Gelora, partai yang para petingginya merupakan orang-orang yang pindah dari PKS karena kebijakan yang tidak sejalan.

Kedua, gaya politik PKS yang cenderung bermuka dua dalam berkoalisi. Prabowo tentu menyadari bagaimana sikap PKS saat menjadi bagian kekuasaan pada masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Meski saat itu PKS menjadi bagian dari koalisi, sikap mereka cenderung seperti oposisi. Jadi, jika sekarang diajak bergabung lagi, bukan tidak mungkin mereka akan kembali mengulangi penggembosan terhadap pemerintahan dari dalam.

Selain akan terjadi penolakan dari luar, di internal PKS juga tidak akan mudah menerima apabila parpol yang mereka pilih pada pileg tiba-tiba berubah haluan. Dulu, dengan beragam dalih dan argumen, PKS berkali-kali menolak proposal yang diajukan Prabowo dalam kampanye. Namun, sekarang demi sesuap kue kekuasaan, mereka tiba-tiba masuk ke dalam pemerintahan dan menerima semua kebijakan. Apa kata konstituen mereka nantinya?

Memang politik itu ilmu tentang kemungkinan. Apa pun bisa terjadi. Lawan hari ini bisa menjadi rekan di esok hari. Akan tetapi, garis ideologi tetap harus dipertahankan. Konsistensi harus diperlihatkan. Jangan bermain akrobat politik. Kemarin umbar pernyataan begini, tetapi besoknya memberikan komentar yang bertentangan lagi. Itu namanya plin-plan. Pemilih bisa bingung:  parpol ini serius atau tidak memperjuangkan aspirasi mereka, atau jangan-jangan hanya bernafsu mengejar kekuasaan belaka dengan jualan emosional dan sentimen keyakinan rakyatnya.

Kondisi seperti itu seolah-olah membenarkan pernyataan Rocky Gerung, "Tidak ada kemuliaan pada mereka yang munafik. Berapi-api teriak perubahan tetapi kemudian menjual diri ketika ditawari kekuasaan."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun