Mohon tunggu...
Roberto Armando
Roberto Armando Mohon Tunggu... Novelis - pemerhati politik

penulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rekam Jejak Mulyadi di DPR kok Negatif Semua?

6 Oktober 2020   11:18 Diperbarui: 8 Oktober 2020   16:43 1164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya terkesiap ketika seorang teman sekampung saya, di sebuah nagari di kaki Gunung Marapi, mengajukan beberapa pertanyaan. Ia bertanya soal Mulyadi, anggota dewan pusat yang nyalon jadi Gubernur Sumbar. Bagaimana kinerja dia di DPR sana? Sehebat apa dia? Pertanyaan itu ia ajukan karena si cagub baru saja bagi-bagi paket sembako di kampung kami.

Dengan satu mobil penuh ia bawa bungkusan berisi beras, minyak goreng, dan gula. Paket itu dibungkus dengan kantong kresek bergambar wajahnya bersama calon wakilnya. Ramai orang berkumpul. Di antara mereka ada yang berbisik, "Ambil saja paketnya, pilih orangnya? Eit, nanti dulu!"

Saya tidak tahu jawabannya. Teman saya mungkin mengira saya tahu banyak tentang anggota DPR karena dulu lama tinggal di Jakarta. Sedikit tahu soal politik. Sering menonton televisi dan aktif juga di sosial media. Namun, jujur saja, saya tidak tahu banyak soal Mulyadi. Saya tidak tahu sepak terjangnya, rekam jejaknya, hingga capaian keberhasilannya. Itu karena ia nyaris luput dari pemberitaan media.

Selama ini saya tidak pernah melihat dia diwawancarai oleh televisi. Berkali-kali acara _talkshow_ tentang Sumatera Barat, ia tidak pernah diundang. Apa ia dianggap bukan orang penting? Tidak mempunyai wawasan dan sumbangan saran untuk kemajuan Sumbar? Padahal, ia sudah lama duduk di DPR. Tiga periode. Apa bapak dewan ini hanya makan gaji buta saja di Senayan?

Saya kemudian mengambil ponsel dan melakukan pencarian di laman _Google_ tentang kinerja Mulyadi di DPR. Hasilnya seperti yang saya duga sebelumnya: nyaris tidak ada capaian keberhasilan. Justru yang mendominasi adalah pemberitaan negatif, seperti perkelahiannya dengan anggota dewan, kasus penyebaran fotonya dengan seorang perempuan, konfliknya dengan PDI Perjuangan karena mengembalikan mandat Puan Maharani, dan sejumlah berita hoaks tentang dugaan Mulyadi melakukan kekerasan dalam rumah tangga.

Saya mulai membaca berita itu satu per satu. Pertama, soal adu jotos. Kasus itu terjadi setelah Mulyadi memimpin rapat bersama Menteri ESDM, Sudirman Said, di Komisi VII. Anggota DPR dari Fraksi PPP, Mustofa Assegaf, tidak menerima sikap kepemimpinan Mulyadi yang dianggapnya arogan karena suka memotong pembicaraan orang. Akibatnya, terjadilah perkelahian di lorong belakang ruang rapat Komisi VII. Mulyadi menyebut itu sebagai pemukulan karena merasa diserang. Namun, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) memutuskan kasus itu perkelahian, bukan pemukulan.

Bergidik saya membayangkan andai Mulyadi terpilih menjadi gubernur Sumbar ke depan. Adakah jaminan ia tidak akan kembali bersikap arogan? Bisa-bisa gedung DPRD berubah fungsi menjadi tempat tonjok-tonjokan lantaran gubernurnya suka mengakhiri perdebatan dengan cara kekerasan.

Berita kedua tentang penyebaran foto Mulyadi dengan seorang perempuan. Pemberitaan ini membuat saya mengernyitkan dahi. Pasalnya, skandal ini kemudian menjadi kasus pencemaran nama baik, dan menyeret-nyeret nama Bupati Agam, Indra Catri. Saat ini, Indra merupakan saingan Mulyadi pada Pilkada Sumbar. Seperti ada skenario membalikkan situasi.

Mulyadi seolah-olah ingin menutupi kelemahannya dengan memposisikan diri sebagai orang teraniaya. Indra dijadikan sasaran tembak. Sementara itu, foto Mulyadi dengan perempuan, siapa pun itu, tenggelam dan tidak disebut-sebut lagi.

Berita selanjutnya, saya sudah malas membaca. Kesimpulannya sudah ada di benak saya. Sudah tiga periode Mulyadi duduk di DPR, tetapi tidak ada hal besar yang ia berikan untuk Sumbar. Ia seolah-olah merepresentasikan diri seperti anggota dewan pada zaman Orba, yang identik dengan 4D: datang, duduk, diam, dan duit. Nyaris tidak ada capaian kinerja yang bisa dibanggakan. Saya semakin bingung menjawab pertanyaan teman sekampung tadi.

Saya lantas meletakkan ponsel di meja, dan berkata, "Dulu di Pilkada DKI Jakarta ada Ahok namanya. Dia juga suka bagi-bagi sembako ke warga. Dia melakukan itu guna menutupi kebobrokan kinerjanya. Jadi, cara-cara Mulyadi ini sedikit mengingatkan saya dengan sosok Basuki Tjahaja Purnama. Berdoa saja, semoga perangai mereka berdua tidak serupa."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun