Tentu kita tidak asing dengan sosok fenomenal bapak Yusuf Kalla, pengusaha asal Makasar ini yang telah dua kali menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Kita mengenal beliau sebagai politisi senior yang rekam jejaknya tidak dapat kita ragukan. Entah keberanian apa yang mendorong mantan Aktifis HMI Makasar yang bertandang ke Jakarta kala itu, perlahan dengan segala keuletannya masuk ke dalam istana walau sebelumnya telah pernah masuk dalam kursi kabinet.
Saya tentu tidak akan mengupas kesuksesan yang telah dilalui pak JK (sapaan akrabnya). Namun beliau yang juga pernah menjadi Ketua PMI ini menarik jika dicermati mengapa digandeng oleh pak Jokowi untuk menjadi wakilnya. Padahal jika mau dilihat dari usia, sudah waktunya beliau beristirahat, menikmati hari-hari menimang cucu-cicit dan jalan-jalan kemanapun yang disukai.Â
Dari sudut padang kekayaan, sudah tidak ada lagi yang diraguan betapa kayanya beliau dengan Perusahaan Raksasa Grup KALLA nya. Dari segi pamor dan ketokohan tidak ada yang tidak kenal dengan seorang Yusuf Kalla, pernah menjadi Ketua Partai Golkar, Dewan Masjid, serenteng gelar dan posisi dalam struktur masyarakat. Juga beliau yang diajukan oleh Koalisi JK-Win untuk menjadi kandidat Calon Presiden pada tahun 2009 bersama pak Wiranto yang pada 2004 menjadi rivalnya bersama Pak SBY (ruwet ya politik.. hehe).
Tidak masuk dalam kapasitas memori pikiran saya kenapa mereka dengan mudah bergonta-ganti pasangan. Gonta-ganti wajah, teman dan berbeda pilihan antara siang malam, lalu pergi tanpa pesan dan jadilah itu barang (haha..). Tapi juga bukan masalah itu yang akan saya bahas, saya hanya ingin mengatakan bahwa ada seribu macam alasan yang menguatkan kenapa pak JK harus maju dalam Pilpres sebagai Wapres untuk yang ke dua kali dengan kubu yang jelas kontras warnanya, dari yang semula Kuning Genting menjadi Merah Membara.
Pada tulisan ini saya tidak akan menggunakan Bahasa yang serius. Saya hanya akan membahas sedikit keresahan saya sebagai bagian dari kaum Buruh Urban Kota Jakarta, yang hari-hari berdoa untuk tidak terjebak macet jalanan metropolitan. Namun apa daya, beban Kota Jakata tidak dapat dikatakan ringan, sehingga doa saya pun tak kunjung dikabulkan.
Daya tarik Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan juga pusat ekonomi menjadi magnet tersendiri, tidak jarang orang datang tanpa arah dan tujuan ke Jakarta untuk sekedar mengadu nasib. Perjalanan menuju tangga sukses seolah-olah akan di tempuh dengan benar jika rute nya adalah Jakarta. Oke deh, jika memang Jakarta adalah tempat transit, namun yang perlu digaris bawahi Ibu Kota menyimpan segudang teka-teki yang semuanya adalah misteri.
Ekpresi kebahagiaan dari seluruh sudut saat dulu Bapak Jokowi bermigrasi dari Solo ke Jakarta untuk menyelesaikan problem Jakarta tentu masih berbekas. Harapan itu yang menjadikan beliau pak Jokowi dengan ditemani Ahok untuk masuk ke Balai Kota Pemprop DKI Jakarta dengan lenggang kangkung. Kursi Gubernur didapat dan selangkah demi langkah beliau menjadi orang nomor satu di Republik ini.
Drama kemenangan Jokowi-Ahok menjadi sangat indah, kisah pasukan kotak-kotak merah, dihantar metromini lalu arak-arakkan mendaftar ke KPU adalah drama paling romantis pada abad ini. Kemenangan telak tentu tidak mengagetkan, karena saya melihat gaya kampanye yang unik, diluar dari kebiasaan, teman rakyat, pemimpin yang menemani, membersamai, dan seterusnya menjadi kesan yang mendalam dan tak mungkin terlupakan.
Pertanyaannya mengapa Ahok yang dipilih Jokowi saat itu, yang notabene Ahok adalah Anggota DPR-RI dari Partai Golkar dan didorong Partai Gerindra untuk maju mendampingi Jokowi.?, tentu ini bukan tanpa asalan. Namun rasionalisasi saya, ingin membenarkan bahwa Indonesia saat ini sudah tidak rasis, mampu berdamai terhadap etnis minoritas dan yang begini nih yang akan menarik popularitas. Juga disamping kinerja Ahok di negeri laskar pelangi yang sebelumnya ia menjadi Bupati di sana dan dikenal dengan baik.
Selanjutnya, kenapa pak Jokowi memilih JK saat beliau maju sebagai capres? Ada beberapa asumsi yang harus kita kupas untuk masuk ke Topik ini;
- Basis pendudukung Capres akan mendukung perolehan suara dengan signifikan, untuk level Indonesia, jika Presiden dari Barat maka wakil dari timur, ini masih dianggap sebagai kolasi yang apik,
- Basis ketokohan Capres adalah modal besar, jika Capres sudah memilki popularitas, maka wapres akan membantu meningkatkanya. Tidak sedikit organisasi masyarakat yang JK bertindak sebagai Ketua, Penasehat, Pembina, dll
- Kematangan dan pengetahuan dalam mengelola negara, seperti pak JK yang sebelumnnya sudah pernah menjadi menteri dan wakil presiden yang sudah tidak kaget ngurusi birokrat. Hal ini akan membantu bagaimana pak Jokowi mengelola Negara yang secara nasional beliau pun masih dalam tahap pemula.
Jauh sudah kita membahas JK, lalu bagaimana dengan Pilkada di DKI Jakarta. Kembali sebagai pengamat yang juga penikmat kemacetan ini. Sangat disayangkan jika para bakal calon merasa telah besar sendiri tanpa melihat siapa yang akan berbanding lurus dengan penambahan perolehan suara.
Memilih wakil itu seperti memilih istri (hixx), iya… begitu salah para calon suami memilih pasangan, menyesallah ia seumur hidup. Lalu pertanyaannya bagaimana istri yang ideal?
Halah, terlalu jauh juga saya mengurai, tapi satu hal yang ingin kami mau sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang tinggal dijantung ibu kota Jakarta, kami hanya ingin Jakarta yang kondusif, iklim usaha yang nyaman, kemudahan pelayanan public, kemacetan yang berangsur hilang, banjir yang surut, lalu kami bekerja/punya usaha juga nyaman, kemudahan izin usaha, bikin serapan tenaga kerja yang balance, anak kami dapat tumbuh dan berkembang, lalu jangan suguhi kami dengan drama roman picisan yang menggelikan, dan izinkan kami berkembang dengan pikiran dan ide-ide kami sesuai aturan main yang ada.
Ajarkan kami mentalitas yang benar, berikan kami pemimpin yang mampu menjadi Pengayom Rakyatnya,pemimpin yang bisa menjadi teladan yang benar buat anak-anak kami yang baru tumbuh dan mencerna tontonan TV. Ijinkan juga kami bermimpi punya pemimpin yang juga mau Melayani dengan sepenuh hati. Ahh, sudahlah, ini hanya utopia, sejatinya kami hidup tidak merepotkan tetangga dan orang tau itu sudah cukup. Tanpa harus kami merepotkan negara.
Saya pribadi masih percaya banyak orang baik di Jakarta yang serius ingin membangun kota ini dengan waras, saya menyakini masih ada sistem kaderisasi di partai politik, di Lemhamnas, di Birokrat, di Militer di Dunia usaha, dan dimanapun itu yang akan melahirkan pemimpin yang dinantikan. Namun garis bawah yang ingin saya tebalkan disini, siapapun calon Gubernur DKI jika ingin menang, maka lihatlah siapa yang akan mendampingimu, dan menjadi Tim mu.
Kapasitas pendampingmu adalah mereka yang juga mengerti persoalan Jakarta, dia hendaknya bukan orang-orang jauh dari Jakarta, dia harus orang Jakarta yang memiliki ketokohan kuat juga akses kedalam birokrasi yang kuat. Analogi pak JK saya pikir bisa mewakili maksud saya, dan mencari orang-orang model JK dalam banyak irisannya itu yang sulit. Namun bukan berarti ia tidak ada, dia ada dan berdiri ditengah-tengah kita.
Lho.. lho.. saya menulis ini tentu bukan karena saya mau jadi Cawagub, bukan.. Â hehe
untuk penutup, sebagai penikmat kemacetan saya hanya ingin kemacetan Jakarta segera terurai, berikan kesadaran yang mendalam tentang pentingnya moda tranportasi umum, berikan fasilitas angkutan umum yang layak, banyak, bagus dan besar. Lalu berikan edukasi yang manusiawi, lalu pemimpin berikan teladan buat sama-sama naek tranportasi umum. Maka tidak sulit kedepan buat para pemimpin kalau ingin menjadi calon petahana dan menang diperiode ke dua.
Salam: Robert Edy Sudarwan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H