Wilayah Glang-glang agak ke utara menjadi daerah yang sepi setelah mangkatnya Jayakatwang. Daerah yang cukup subur diantara aliran sungai Brantas yang deras nan lebar menjadikannya urat nadi kehidupan masyarakat disekitar, tampak di sebelah barat, Gunung Hawu yang yang menjulang dan selalu berselimut kabut. Sebuah desa kecil yang dipimpin oleh seorang Akuwu yang dulunya merupakan abdi setia Jayakatwang yang letaknya diantara gunung dan mengarah ke Sungai Brantas, semenjak pergolakan yang membuat Jayakatwang menyerang Singhasari, tempat tersebut menjadi sepi dan kehidupan masyarakatnya belum kembali normal meski tampak pulih. Persiapan menyerang Singhasari yang digagas oleh Adipati Glang-glang telah menguras lumbung-lumbung pangan di desa, selain itu juga membuat banyak para muda teruna yang diambil menjadi prajurit selain baik secara sukarela bergabung ataupun pilihan wajib dalam mengabdi pada Adipati Jayakatwang, menyisakan para tetua, perempuan dan anak-anak saja. Jayakatwang telah memimpin Glang-glang dengan adil, makmur dan sentosa sejauh ini.
Akuwu SwaDiparupa duduk termangu di selasar depan pendopo, selepas kepergian Tunjung Dupa, sosok seorang yang diminta bekerja padanya untuk mendapatkan Kitab Selendang Naga Langit yang tersohor itu. Harapannya, ada satu kesempatan lagi yang dipercayakan kepada Tunjung Dupa dalam tugas ini. Dengan sedikit menghela nafas memikirkan langkah selanjutnya, ia berjaga andai Tunjung Dupa kembali dengan tangan hampa, gagal mengambil kitab sakti itu. Ingatannya kembali beberapa tahun lampau kala ia masih menjadi praja muda Glang-glang, mengikuti rombongan Jayakatwang pisowanan ke Singhasari. Dalam perjalanannya ini juga menghantarkannnya untuk sempat singgah ke kawasan pertapaan di Gunung Penanggunggan. Berjumpa dengan banyak para Brahmana dan Resi yang sedang belajar dan mengajar banyak orang.
Swadiparupa yang masih muda sangat antusias menyimak telaah ilmu dan pelajaran tata negara dan juga ilmu olah keprajuritan. Darah mudanya mengantar ia ke Kotaraja, mengikuti para muda desa wilayah lainnya yang menginginkan menjadi prajurit kerajaan. Bekal kepandaian beladiri musti diiiringi dengan kepandaian lainnya. Oleh sebab itulah, Swadipa betah menyimak dan mencatat banyak pelajaran tata negara, ilmu sandi, membaca tanda alam, ilmu pengobatan serta ilmu-ilmu beladiri serta olah keprajuritan di dalam benaknya hingga hapal luar kepala. Kepandaian ini akhirnya bisa mengantarkannya pada puncak karir sebagai abdi nagara hingga dipercaya oleh Adipati Glang-glang menguasai dan memimpin satu wilayah sima selaku Akuwu. Dalam masa belajarnya inilah, Swadipa mendengar dengan sering tentang satu kitab, kumpulan kitab-kitab yang berisi ilmu pelajaran istimewa dan sangat rahasia -- yang dikenal oleh para bhagawan dan resi-resi itu bernama Kitab Selendang Naga Langit, yang juga memiliki satu bilah pedang mustika dengan nama Pedang Naga Langit. Meski terdengar seperti mitos, Swadipa hanya sempat menyimak satu-dua bait paparan kitab, tapi belum sekalipun ia melihat pedang itu ada di sana, ia hanya sering mendengar bahwa pedang itu lenyap seiring mangkatnya Rakai Mataram dan kemunduran Medang Kamulan sebagai kerajaan.
"gunakan saluran sandi ini untuk keperluanmu, dan ingat, tetap teguh dalam misimu kali ini" bisik Swadipa ke Tunjung Dupa.
"Segeralah dirimu memacu menuju Tuban, saat ini telah ramai nampaknya. Beberapa telik sandi akan menyebar disana. Berhati-hatilah. Informasi keberadaanmu di padepokan kemaren bisa jadi telah terungkap. Tetaplah samar, tidak menarik perhatian.
"Tandya, Akuwu"... saut segera Tunjung Dupa. Hatinya membuncah, antara segan, sedih dan sedikit lega karena Sang Akuwu masih mempercayai tugasnya kali ini mencari dan mendapatkan kitab Selendang Naga Langit.
Peristiwa kegagalan di Padepokan tempo lalu jadi pengingat, tugas kali ini harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, dan harus berhasil. Dalam hati Tunjung Dupa ia tidak akan kembali sebelum kitab itu ada ditangannya. Jasa Akuwu kepadanya selama ini sangatlah besar, bertaruh nyawa untuk sebuah kitab sebagai bentuk balas jasa bisa jadi hal yang sepadan, meski belum cukup.
Tunjung Dupa memberi hormat sambil hendak beranjak dari hadapan Akuwu, ketika abdi bendara yang masuk dan menyerahkan beberapa bekal untuk perjalanan dan memilihkan kuda terbaik untuk dipacu menuju Tuban. Kuda yang sehat dan cepat, sebagai bentuk kepercayaan dan tugas rahasia yang diembannya.
"Pergilah", ucap Akuwu sambal memberi isyarat kepada Tanjung Dupa untuk segera berlalu.
"Apapun yang terjadi di Tuban biarkanlah, kembalilah begitu kitab itu ada di tanganmu".
"Tandya, Akuwu" sambil bertangkup kembali kedua telapak tangan Tanjung Dupa di atas kepala tanda hormat dan beringsut pergi dari dalam pendopo. Berjalan agak cepat menuju kuda tunggangan yang telah tersedia di halaman yang disertai bekal cukup untuk dipacu menuju Tuban sesegera mungkin.