Pelabuhan Tuban selalu ramai seperti biasanya, hilir mudik kapal dagang baik berukuran kecil hingga besar dengan sarat muatan merupakan pemandangan yang biasa bagi penduduk sekitar. Sebuah pelabuhan yang dari abad 11 yang menjadi penyangga kehidupan perekonomian di Jawa pedalaman dengan pesisir dunia luar.  Di pelabuhan ini pula titik awak mula pemberangkatan ekspedisi militer Singhasari ke wilayah Malayu yang dicanangkan oleh Kartanegara dalam membantu kerajaan-kerajaan di Sumatera yang sedang dalam ancaman Kerajaan China, sekaligus membangun kemitraan yang setara dan poros militer yang kuat antara Sumatera dan Jawa dalam membendung  militer China yang semakin agresif.
Ki Demang Ragasemangsang  melenggang menyusuri jalan keluar dari pura pelabuhan, bersama Utami yang berjalan agak dibelakang dengan kereta kuda yang sarat dengan barang dagangan. Tujuan Ki Demang ada di persimpangan jalan utama menuju Kadipaten Tuban, sebuah kedai makan yang cukup besar persis berdiri menghadap ke selatan yang juga berfungsi sebagai penginapan terletak dibelakangnya.  Kedai makan menjadi cukup ramai menjelang  siang yang terik, banyak orang diantaranya para pedagang dan juga para abdi kadipaten biasa menghabiskan waktu mereka berkumpul di kedai tersebut.
Nampak di sepanjang  perjalanan umbul-umbul kesatuan-kesatuan militer berkibar, pertanda sedang ada peristiwa penting  seperti kedatangan tamu agung atau gladi militer besar. Di setiap sudut terdapat pos-pos penjagaan dengan  para prajurit jaga yang hilir mudik dengan persenjataan lengkap, penuh siaga dan waspada mulai dari pelabuhan hingga masuk ke belakang kadipaten. Menarik sekilas dalam pandangan Ki Demang, semua rakyat, baik tua hingga muda, laki maupun perempuan mengenakan wastra sinimpen yang identik satu sama lain. Menandakan warga, para abdi maupun prajurit sedang dalam kondisi tempur, semua bersikap waspada meski tetap wajah ramah dan bersabahat menandakan ciri khas warga pesisir utara jawa yang terbuka kepada siapa saja. Wastra sinempen dengan motif yang sama satu dengan lain menandakan seolah-olah itu adalah pakaian terakhir para warga. Saiyeg Saeka Praya, seluruh warga sedang bertirakat dalam kesatuan yang utuh, rela berkorban untuk menghadapi siapa saja yang menjadi musuh mereka.
Memasuki halaman kedai, Ki Demang mengisyarakatkan Utami untuk istirahat sejenak, mereka memasuki satu bilik dan memesan makan dan minum. Sambil menyapu pandangan ke sekeliling kedai yang cukup ramai dan nampak riuh dengan beberapa sudut  bilik terisi dengan beberapa orang, nampak terlihat pada satu bilik sedang penuh dengan para saudagar. Dan di bilik satu lagi, beberapa prajurit juga sedang bersantap dengan beberapa abdi kadipaten.
Ki Demang nampak akrab dengan sudut-sudut kedai makan tersbut kemudian memilih satu bilik utama yang terletak di tengah-tengah, tak jauh dari halaman utama. Sambil menunjuk satu sudut dan mempersilahkan Utami duduk sendiri menunggui pesanan makanan mereka, Ki Demang lanjut  berjalan menuju ke bilik besar yang menjadi ruang utama dalam kedai tersebut.
Bilik utama cukup besar dengan dinding kayu tebal dan hiasan dan meja kursi yang cukup mewah. Ditengah-tengahnya terdapat meja kayu yang cukup besar, banyak para tamu yang kadang menghabiskan waktu dengan hiburan bermain dadu di meja itu seusai bersantap. Ki Demang memperhatikan sekeliling bilik utama itu, Â nampak beberapa orang sedang asyik bermain dadu. Suasanya hangat dan riuh ramai. Seperti menemukan satu permainan, Ki Demang mengambil kursi dan duduk di tengah-tengah kerumunan pemain dadu, berhadapan lansung dengan bandar permaianan;
"Aku hanya mau bermain dengan seseorang yang bernama Jaran Keling",
"Yang tidak merasa bernama itu, silahkan menyingkir" Â ucapnya sedikit keras dan tegas.
...
Sementara itu jauh di wilayah kadipaten Gelang-gelang, Tunjung  Dupa risau hatinya, ketidakberhasilannya dalam mengambil gulungan kitab di padepokan tempo hari membuatnya seperti enggan hadir menghadap sang Akuwu. Telah habis semangatnya untuk menghadap serta melaporkan hasil kerjanya. Dengan setengah hati, ia mengetuk pintu utama bilik itu. Sesorang yang sedang menunggunya di dalam bilik member isyarat untuk masuk. Menahan nafas yang memburu, ia duduk bersila meberi hormat sambil melaporkan kegagalan usahanya dalam mengambil gulungan kitab sakti.
Tunjung Dupa bukanlah orang sembarangan, ia merupakan seorang prajurit yang ahli dalam penyamaran dan mengorek informasi rahasia musuh selain juga ahli membunuh dalam senyap. Kemampuan silatnya cukup tinggi disamping piawai juga dalam menggunakan berbagai macam senjata, biasa bekerja dengan segelintir orang  dengan penugasan yang amat sangat rahasia. Seperti diceritakan sebelumnya, kondisi di akhir Singhasari membuatnya kehilangan arah dan tujuan sebagai seorang abdi negara, laiknya prajurit yang bekerja tanpa tuan ia berkelana dari satu kadipaten ke kadipaten lain. Dengan bekal keahliannya ia dapat bekerja kepada para penguasa, nalapraja atau Akuwu-akuwu yang serakah dan hanya menginginkan kekayaan materi untuk pribadinya saja, ia lakukan untuk sekedar bertahan hidup di jaman yang serba sulit seperti sekarang ini.