Pagi-pagi buta, Ki Demang ditemani Utami sudah berkuda menuju Ujung Galuh, tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai kesana. Setelah menemui Singha Nala dan menjelaskan apa yang ia perlukan untuk menuju Tuban sambil menyerahkan lontar sandi kepadanya. Singha Nala yang memahami isi lontar sandi tersebut tidak memerlukan waktu lama, sambil berbincang dengan Ki Demang, ia memerintahkan 5 prajurit untuk turut serta dan memilihkan kapal yang akan ditumpangi Ki Demang menuju Tuban. Sebuah jung berukuran sedang yang telah dimuati dengan berbagai barang aneka rupa mulai dari gerabah, lada, kayu manis, rempah jejamuan, wastra beraneka rupa tak lupa senjata-senjata terbaik berupa pedang, tombak dan perisai. Sedianya, peran Ki Demang tersamar sebagai pedagang untuk memasuki wilayah Tuban yang sedang bergolak.
Di haluan kapal yang membawanya ke Tuban, ingatan Ki Demang melayang, membawanya ketika dia masih menjadi prajurit muda Singhasari yang bertugas mengawasi hilir mudik kapal-kapal dagang dan duta militer dari mancanegara yang singgah di Tuban. Pelabuhan Tuban sendiri merupakan pelabuhan yang tersibuk kala itu, merupakan jalur utama perdagangan yang menghubungkan Singhasari dengan negara-negara sahabat disekitarnya.
... Â
Sementara itu, di Tenggara Kotaraja, suasana padepokan berjalan seperti biasanya. Murid-murid berlatih dan pengasuh beraktifitas seperti hari biasa. Hingga pada satu malam kala sinar bulan enggan menampakkan diri, 5 bayangan berkelebat, bergerak senyap memasuki pekarangan padepokan. Mengendap- endap menuju satu bilik di tengah-tengah padepokan, satu bilik yang biasanya dipergunakan untuk doa atau samadhi penghuni padepokan yang menghadap ke selatan.
Ratri dan beberapa murid sedang berlatih olah rasa di balairung, samping agak menjauh dari bilik doa. Padepokan sendiri tidak memiliki cantrik tugas jaga, mengingat padepokan dibangun di pelosok, sebuah tempat di lembah kaki gunung Harjuno, hanya ada satu pintu masuk dan keluar padepokan, membelakangi sebuah tebing curam. Tersembunyi dengan asri di antara lebatnya hutan sekitar. Masyarakat sekitarnya sering keluar masuk ke padepokan baik untuk meminta saran soal penanggalan kala musim tanam, membaca garis nasib, meminta obat-obatan dan atau sekedar berniaga hasil ladang ke para pengasuh selain menitipkan sanak familinya untuk belajar dan menjadi  murid padepokan.
Kelima bayangan telah mengendap-endap hingga sampai di bilik doa, bergegas dua orang mengambil posisi berjaga di samping kiri dan kanan bilik, satu orang memutar ke bagian belakang lantas melompat keatap guna mengawasi sekeliling. Dan dua orang lagi beringsut pelan mendekat jendela, langkahnya senyap tak bersuara. Setelah berhasil membuka jendela bilik, mereka dengan sigap  melompat kedalam, ringan seperti macan kumbang. Bilik doa saat itu dalam keadaan kosong, hanya ada satu lampu kecil berbahan minyak kelapa sebagai penerang. Terang yang temaram tidak menyulitkan bagi keduanya, sembari menyapu pandangan ke sekeliling mencari sesuatu, penting nampaknya.
Selarik bayangan bergerak mencengkeram pundak salah satu penyusup itu, meski dilakukan dengan gerakan halus, tetap saja hawa panas menjalar dan seperti sengatan membuat tersungkur si penyusup, tubuh itu bergetar sesaat, dan lantas roboh membuatnya terkulai di lanti bilik. Sedang penyusup satunya yang begitu menyadari ada sosok penyerang, segera memutar badan kearah si penyerang sambil melontarkan satu pukulan agak tinggi guna menyasar ke kepala si penyerang senyap itu. Melihat serangan tersebut yang telah diduga dan diukur, si penyerang mengeser kaki sambil gerak hempis seingga serangan tersebut hanya lewat dan mengenai ruang kosong. Sejurus kemudian, penyerang itu menyambutnya sekuat tenaga dengan satu tendang sabit yang mengarah pada rusuk si penyusup.
Ruang yang gelap temaram ditambah dengan kurang mengenal seluk beluk bilik doa tidak menguntungkan bagi si penyusup, dengan terpaksa dia menerima tendang sabit yang terarah pada rusuknya. Meski sudah mengerahkan tenaga dalam untuk perlindungan dari benturan, tetap saja membuatnya terpental dan jatuh berguling kebelakang dan berhenti setelah tubuhnya menabrak tiang saka bilik ruang doa itu. Pandangannya sesaat berkunang-kunang dan nafasnya menjadi sesak, rusuk kirinya serasa remuk. Masih dengan pandangan yang samar, penyusup itu mendongak keatas dan melepaskan hawa panas yang tersisa dari benturan di rusuk, matanya secara tak sengaja tertumpu pada ujung kayu tiang saka tidak  jauh dihadapannya. Sebuah patung kepala naga nampak jelas di temaramnya ruangan. Mulut naga yang terbuka dengan lidah panjang menjulur meyeramkan, dicermatinya sekali lagi. Diantara mulut naga itu terselip selongsong bambu yang agak besar, nampak jelas tergambar, sepertinya naga itu sedang melumat sesuatu. Sambil memberi aba-aba kepada rekannya yang sudah mulai pulih  akibat dari serangan pertama tadi, penyusup kedua menghela dengan cepat tubuhnya bergerak melontarkan serangan, berhadapan langsung dengan sosok yang telah memberinya tendangan telak tadi.
Aba-aba yang sudah dimengerti oleh para penyusup yang baru siuman memberi tanda kepada kawan yang sedang menyerang untuk mengalihkan perhatian. Membiarkan kawannya itu bertarung dan meladeni sebisa mungkin untuk mengulur waktu. Dan dengan sekali gerak meringankan tubuh, dia loncat menuju ke patung kepala naga. Sedetik kemudian, selongsong bambu telah diraup dan ada dalam genggamnya. Melihat kawan satunya yang sedang kerepotan meladeni pertarungan, sembari gerak melayang turun dia membantu kawannya agar tidak makin terdesak, nampak dalam temaramnya suluh dalam bilik itu, tiga bayangan bekelebat, bergerak cepat saling serang dan hindar sedemikian rupa cepat dan deras.
Ratri tidak membiarkan para penyusup itu mudah lolos dari sergapannya. Setelah melihat gelagat lima orang yang mengendap-endap, kecurigaan Ratri semakin meningkat ketika menguntit penyusup tersebut yang menuju bilik doa. Sambil memutar jalan melewati asrama murid-murid padepokan, Ratri melumpuhkan penyusup pertama, yang diatas atap. Diserang dengan tamparan lembut pada tengkuk penyusup, membuatnya langsung jatuh pingsan. Berikutnya dengan gerakan lompat kuntul, Ratri membekap penyusup kedua, dari kiri bilik doa. Sekali lagi sebuah tamparan disertai tenaga dalam pada leher penyusup membuatnya mengaduh kecil dan kemudian jatuh pingsan. Tanpa mengulur waktu, gerak kuntul melayang membuat kehadirannya di dalam bilik tidak diketahui oleh dua penyusup itu, ruangan yang temaram menjadi keuntungan bagi Ratri yang bisa mengendap dekat di belakang kedua penyusup lantas melontarkan serangan guna melumpuhkannya.
Penyusup yang semakin terdesak oleh kurungan serangan Ratri nampak mulai lelah dan jerih, taktik menjaga jarak dilakukannya agar dapat membaca pola serang dari jurus-jurus yang dilancarkan oleh Ratri serta memberinya upaya berpikir untuk lolos. Meski dikeroyok, nyata sekali Ratri tidak kerepotan meladeni duel  di dalam ruang sempit dan gelap di bilik doa itu. Ratri dan semua murid-murid padepokan Ragasemangsang telah terbiasa berlatih olahrasa, metode bertarung dalam jarak rapat dan dalam ruang gelap bukan masalah lagi bagi murid-murid di Padepokan Ragasemangsang.
Sejurus kemudian, dengan masih  menjaga jarak, kedua penyerang melihat celah untuk melarikan diri. Satu orang menyerang dengan sebuah tendangan kilat ke perut Ratri, dan yang kedua melakukan hal yang sama dari arah sebaliknya. Nampak remeh serangan itu bagi Ratri yang tidak menyadari siasat dari para penyusup sebagai upaya melarikan diri. Ratri dengan masih percaya diri, menghindari dua serangan yang bergelombang itu, kakinya jinjit dan mengempos tenaga dengan ringan, lompat ingkling beberapa kali sambil memutari kedua penyusup, tapi justru celah inilah yang ditunggu. Begitu lompatan Ratri yang mulai berjarak, kedua penyusup telah berhasil mengecoh Ratri, dengan satu dua lompatan, kedua  penyusup keluar melewati jendela bilik berbarengan seperti macan kumbang yang sedang menerkam, keduanya berhasil meloloskan diri.
Sebuah siulan panjang menggema, Ratri yang tersadar kehilangan penyusup menjadi lebih jengkel tatkala melihat berhasilnya penyusup itu mengambil gulungan bambu di mulut patung kepala naga, dengan segera Ratri keluar bilik dan mengejar. Tangan Ratri menjumput beberapa batu kerikil yang kemudian dilontarkannya pada kentongan-kentongan kecil yang ada di setiap sudut2 padepokan, menimbulkan bunyi khas yang dimaknai oleh para penghuni padepokan sebagai nada sandi marabahaya. Beberapa murid-murid yang sedang berlatih di balairung segera berlari begitu mengetahui bunyi yang berirama khusus itu. Kelebat Ratri yang berlari keluar dari bilik doa dan mengejar beberapa sosok bayangan hitam yang terlihat tertatih-tatih ke arah luar padepokan sangat terlihat.
Ki Dawan masih terjaga dalam biliknya, serta merta ia keluar kearah sumber suara, kegaduhan yang nampak dari para murid-murid padepokan sudah menjelaskan ada kejadian yang lain dari biasanya malam itu. Meski  samar-samar dalam gelapnya malam, penglihatan Ki Dawan jelas menangkap beberapa bayangan hitam keluar dari padepokan, disusul kelebat sosok yang sangat dikenali dari gerakannya mengejar. Ki Dawan pun turut mengempos tubuhnya, dengan keahlian meringankan tubuh yang tinggi, mudah baginya segera menyusul di belakang Ratri.
Ratri yang kini berjarak 5 tombak terus menguntit  para penyusup, kelima penyusup tertatih-tatih  berlarian keluar padepokan, kemudian ambil jalan berbelok masuk ke dalam hutan, lebatnya pepohonan menyamarkan pelarian mereka. Ki Dawan serta beberapa murid telah menyusul Ratri yang nampak jengkel akibat ulah kelima penyusup itu. Sebuah suara halus namun kuat dilontarkan dengan menggunakan tenaga dalam yang cukup menggema, suara yang  ditujukan hanya kepada kelima penyusup yang masih berlari di dalam hutan, bahkan mungkin sedang bersembunyi.
"lain hari sudi mampirlah ke padepokan kembali. Tak perlu mengendap-endap. Kitab yang kalian ambil malam ini pelajarilah dengan baik. Semoga berguna dan tak usah sungkan untuk kalian kembalikan ke Ragasemangsang kala usai mencernanya" suara menggema yang masuk ke telinga para penyusup itu sangat menusuk, suara yang dilontarkan dengan tenaga dalam dapat merontokkan jantung bagi orang biasa dan bisa mencederakan.
"Kitab selendang naga langit telah dicuri Ki Dawan, maafkan Ratri, tidak mampu mencegahnya, sambil berlutut Ratri memohon maaf begitu menghadap Ki Dawan.
Biarlah, ... mereka bawa kitab yang tidak berisi apa-apa, kosong, pungkas Ki Dawan sambil menenangkan Ratri yang masih marah, jengkel serta menyesal jadi satu.
Maksudnya Ki? Â Terkejut dan terheran Ratri mendengar jawaban Ki Dawan.
Sementara itu, kelima penyusup itu telah menjauh dari dalam hutan, begitu dirasa cukup aman, salah seorang yang merupakan pimpinan kelompok itu menghentikan langkah sambil mengatur nafas yang memburu, terlebih lagi telinga mereka masih berdenging akibat suara yang dilontarkan berbarengan dengan tenaga dalam tadi. Benar-benar satu pertunjukkan tenaga dalam meski hanya lewat suara yang sangat mumpuni batin mereka. Tunjung Dupa, ketua kelompok itu meraba dalam balik bajunya, dengan senang dikeluarkannya selongsong bambu hasil jarahan di padepokan tadi. Meski sempat alot bertempur dengan salah seorang murid padepokan dan mengakibatkan beberapa kawannya terkapar sekaligus babak belur, tapi malam ini tugasnya mengambil sebuah kitab yang istimewa di dunia persilatan tanah jawa berhasil. Senyumnya lebar, tergambar jelas banyaknya hadiah yang akan diberikan atas keberhasilannya kali ini. Mereka berlima sama-sama terkekeh dan menampakkan wajah puas.
Selongsong bambu yang diambilnya dengan susah payah adalah jalan kemakmuran gerombolan mereka, yang selama ini sudah bosan hidup mencoleng dan memeras para rakyat atas suruhan para akuwu-akuwu yang kaya raya itu. Tunjung Dupa menginginkan hidupnya kaya raya dan terhormat, seperi kala ia mengabdi menjadi salah satu nalapraja di wilayah Singhasari dahulu. Kejatuhan Singhasari membuat hidupnya berubah total akibat perang saudara yang berkepanjangan. Dari seorang nalapraja yang dihormati dan hidup berkecukupan, sekarang dia harus hidup menjadi pencoleng dan pemeras. Sebuah pilihan hidup yang tidak pernah diimpikannya.
Mendadak wajahnya pucat pasi tatkala memegang dan menimang selongsong bambu itu, terasa ringan ditangan. Dicoba digoncangkannya, kosong tidak ada bunyi apapun. Guna memastikan, Tunjung Dupa mencabut sumbat pada salah satu ujung selongsong. Dengan dibantu nyala suluh dari anak buahnya, Â gemetar dia kala melongok ke dalam selongsog yang kosong itu.
Sialan...! Brengsek! Â Umpatnya keras.
Isinya kosong melompong. Melongo kawan-kawannya melihat selongsong bambu kosong ditangan pemimpinnya itu. Â Tidak ada kitab yang sangat diinginkan oleh akuwu penyuruhnya. Hadiah dan puja puji atas keberhasilannya mendadak lenyap,.. pandangan mereka berlima menjadi kosong dan gelap seperti pekatnya malam itu.
...
Sebelum kepergiannya ke Kotaraja, Ki Demang sudah memesan kepada Ki Dawan untuk memindah isi Kitab Selendang Naga Langit. Dan menyuruh murid-murid yang dianggap mampu menghafal isi dalam kitab tersebut, termasuk Ki Dawan juga. Sebuah firasat bagi Ki Demang tatkala kedatangan dua prajurit Majapahit dan kemudian mendengar penuturan kejadian yang disampaikan kepadanya. Diam-diam Ki Demang telah memindahkan kitab tersebut ke sebuah tempat yang aman, dan hanya dia yang tahu dimana letaknya.
Kitab Selendang  Naga Langit adalah kitab kuno yang berisikan ilmu silat tingkat tinggi, selain itu berisikan pula ilmu perbintangan, ilmu pengobatan serta terdapat pula ilmu tata kelola pemerintahan dan juga taktik militer. Sebuah kitab yang dituliskan oleh Mpu-mpu kuno di tanah Jawa atas perintah Dewa Syiwa sebagai hadiah kepada Dewi Sri -- Dewi kehidupan di tanah Jawa. Para dewata mengagumi Sang Dewi Sri dalam menjaga tanah Jawa dengan penuh damai serta menyelenggarakan kehidupan yang adil serta berkelimpahan bagi seluruh penghuninya.  Berdasar catatan, Kitab ini secara turun temurun ini diberikan kepada para raja-raja di Jawa, para pandita --pandita kuno selalu menuturkan isi kitab secara turun temurun mulai dari kerajaan Kalingga, Medang hingga Singhasari. Kitab ini sejatinya bersanding  dengan sebuah pedang mustika, sebuah pedang sakti yang telah lama menghilang bahkan dipercayai telah musnah seiring Kerajaan Medang berakhir. Tatkala Singhasari jatuh, banyak kitab-kitab kuno di perpusatakaan istana dijarah dan dibakar, begitu juga harta benda yang ada didalamnya. Keruntuhan Singhasari menyisakah puing2 istana yang hangus terbakar, tak bersisa.
-bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H