Sebuah siulan panjang menggema, Ratri yang tersadar kehilangan penyusup menjadi lebih jengkel tatkala melihat berhasilnya penyusup itu mengambil gulungan bambu di mulut patung kepala naga, dengan segera Ratri keluar bilik dan mengejar. Tangan Ratri menjumput beberapa batu kerikil yang kemudian dilontarkannya pada kentongan-kentongan kecil yang ada di setiap sudut2 padepokan, menimbulkan bunyi khas yang dimaknai oleh para penghuni padepokan sebagai nada sandi marabahaya. Beberapa murid-murid yang sedang berlatih di balairung segera berlari begitu mengetahui bunyi yang berirama khusus itu. Kelebat Ratri yang berlari keluar dari bilik doa dan mengejar beberapa sosok bayangan hitam yang terlihat tertatih-tatih ke arah luar padepokan sangat terlihat.
Ki Dawan masih terjaga dalam biliknya, serta merta ia keluar kearah sumber suara, kegaduhan yang nampak dari para murid-murid padepokan sudah menjelaskan ada kejadian yang lain dari biasanya malam itu. Meski samar-samar dalam gelapnya malam, penglihatan Ki Dawan jelas menangkap beberapa bayangan hitam keluar dari padepokan, disusul kelebat sosok yang sangat dikenali dari gerakannya mengejar. Ki Dawan pun turut mengempos tubuhnya, dengan keahlian meringankan tubuh yang tinggi, mudah baginya segera menyusul di belakang Ratri.
Ratri yang kini berjarak 5 tombak terus menguntit para penyusup, kelima penyusup tertatih-tatih berlarian keluar padepokan, kemudian ambil jalan berbelok masuk ke dalam hutan, lebatnya pepohonan menyamarkan pelarian mereka. Ki Dawan serta beberapa murid telah menyusul Ratri yang nampak jengkel akibat ulah kelima penyusup itu. Sebuah suara halus namun kuat dilontarkan dengan menggunakan tenaga dalam yang cukup menggema, suara yang ditujukan hanya kepada kelima penyusup yang masih berlari di dalam hutan, bahkan mungkin sedang bersembunyi.
"lain hari sudi mampirlah ke padepokan kembali. Tak perlu mengendap-endap. Kitab yang kalian ambil malam ini pelajarilah dengan baik. Semoga berguna dan tak usah sungkan untuk kalian kembalikan ke Ragasemangsang kala usai mencernanya" suara menggema yang masuk ke telinga para penyusup itu sangat menusuk, suara yang dilontarkan dengan tenaga dalam dapat merontokkan jantung bagi orang biasa dan bisa mencederakan.
"Kitab selendang naga langit telah dicuri Ki Dawan, maafkan Ratri, tidak mampu mencegahnya, sambil berlutut Ratri memohon maaf begitu menghadap Ki Dawan.
Biarlah, ... mereka bawa kitab yang tidak berisi apa-apa, kosong, pungkas Ki Dawan sambil menenangkan Ratri yang masih marah, jengkel serta menyesal jadi satu.
Maksudnya Ki? Terkejut dan terheran Ratri mendengar jawaban Ki Dawan.
Sementara itu, kelima penyusup itu telah menjauh dari dalam hutan, begitu dirasa cukup aman, salah seorang yang merupakan pimpinan kelompok itu menghentikan langkah sambil mengatur nafas yang memburu, terlebih lagi telinga mereka masih berdenging akibat suara yang dilontarkan berbarengan dengan tenaga dalam tadi. Benar-benar satu pertunjukkan tenaga dalam meski hanya lewat suara yang sangat mumpuni batin mereka. Tunjung Dupa, ketua kelompok itu meraba dalam balik bajunya, dengan senang dikeluarkannya selongsong bambu hasil jarahan di padepokan tadi. Meski sempat alot bertempur dengan salah seorang murid padepokan dan mengakibatkan beberapa kawannya terkapar sekaligus babak belur, tapi malam ini tugasnya mengambil sebuah kitab yang istimewa di dunia persilatan tanah jawa berhasil. Senyumnya lebar, tergambar jelas banyaknya hadiah yang akan diberikan atas keberhasilannya kali ini. Mereka berlima sama-sama terkekeh dan menampakkan wajah puas.
Selongsong bambu yang diambilnya dengan susah payah adalah jalan kemakmuran gerombolan mereka, yang selama ini sudah bosan hidup mencoleng dan memeras para rakyat atas suruhan para akuwu-akuwu yang kaya raya itu. Tunjung Dupa menginginkan hidupnya kaya raya dan terhormat, seperi kala ia mengabdi menjadi salah satu nalapraja di wilayah Singhasari dahulu. Kejatuhan Singhasari membuat hidupnya berubah total akibat perang saudara yang berkepanjangan. Dari seorang nalapraja yang dihormati dan hidup berkecukupan, sekarang dia harus hidup menjadi pencoleng dan pemeras. Sebuah pilihan hidup yang tidak pernah diimpikannya.
Mendadak wajahnya pucat pasi tatkala memegang dan menimang selongsong bambu itu, terasa ringan ditangan. Dicoba digoncangkannya, kosong tidak ada bunyi apapun. Guna memastikan, Tunjung Dupa mencabut sumbat pada salah satu ujung selongsong. Dengan dibantu nyala suluh dari anak buahnya, gemetar dia kala melongok ke dalam selongsog yang kosong itu.
Sialan...! Brengsek! Umpatnya keras.