Mohon tunggu...
Robert Antonius
Robert Antonius Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Fotografer dan Videografer lepas

hobinya kerja, kerjanya jalan-jalan, menikmati Indonesia bagian dari desa saya.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Caraka Majapahit - Serial Kitab Selendang Naga Langit (2)

24 Januari 2024   00:03 Diperbarui: 24 Januari 2024   00:03 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada satu pagi buta selepas ayam jantan berkokok, kembali nampak kelebat dua bayangan saling beradu silat. Bergerak cepat, menyambar-nyambar, saling serang dan sekaligus bertahan. Meski hanya dengan tangan kosong, bunyi cuitan gerak penuh tenaga terdengar riuh membelah udara sepagi itu.

Dengan tenang, Utami gerak hempis ke kiri, membiarkan tusukan buku jari tangan lawannya melewati bidang kosong. Sasaran tadi mengarah pada ulu hatinya, setelah serangan lewat, Utami membalas dengan lepasan tangan kirinya menampar kearah mata penyerang. Sambil mengangkat kaki satu, kelebat gerakannya nampak halus dan ringan, tapi penuh tenaga.


Reflek si penyerang melakukan gerak mundur selangkah, tidak menyangka kibasan tangan Utami deras seperti melecut keras ke arah matanya, jika sepersekian detik gerak reflek tak menghindar, bisa dipastikan akan fatal akibatnya. Dengan menggunakan tumpuan satu kaki, penyerang melontarkan tendangan ke depan tepat menyongsong Utami beringsut gerak melayang  melanjutkan serangan pukulan tangan kanan ke ulu hati lawan yang terbuka.


Gelagat si penyerang melakukan tendang lurus ke depan dan keras langsung ke tubuh Utami, yang disambut oleh Utami dengan melingkar sambil mengegos ke kanan, kembali menolak tendangan dengan pergelangan tangan, sekaligus melecutkan tusuk kuntul dengan buku jari yang terkepal kedalam untuk menusuk ke arah mata lawan.


Penyerang yang sudah kepalang tangung langsung memutar badan dan ia kemudian menabrakkan diri dengan posisi kepalan dua tangan atas dan bawah menyerang, deras penuh tenaga menyasar ke seluruh tubuh Utami. Utami yang tidak memperhitungkan serang balas kali ini, memaksanya lompat engkling guna menjauhi jangkauan serangan yang deras itu. Dengan begitu ringan, Utami mendaratkan kakinya, tidak menapak penuh, masih berjinjit sambil mengangkat kaki satunya, menunggu dan langsung menghitung jarak dan menebak pola serangan selanjutnya.


"Cukup!" sebuah teriakan kecil menyudahi latihan serang balas pagi itu.


Kedua pesilat mematuhi suara tersebut, mengingat latihan serang balas kali ini cukup menguras tenaga Utami dan Ratri lain dari biasanya. Baru selesai saling memberi hormat, tanda usai berlatih, terlihat dalam pandangan mereka hadir dua sosok tergopoh-gopoh memasuki padepokan.


Melihat dari pakaian yang dikenakan, sepertinya mereka berdua ini prajurit Majapahit. Tidak biasanya utusan majapahit hadir dan berkunjung tanpa memberi tanda kabar. Ada apa gerangan mereka sepagi ini mendatangi Padepokan? Urusan penting kerajaan? Atau?
...

Ki Demang Ragasemangsang baru saja selesai hening dalam bilik samadhi padepokan kala Utami masuk dan memberi kabar dua orang prajurit caraka Majapahit bertamu. Utami tidak menjelaskan maksud dan tujuan kedua caraka yang datang, melihat kedatangannya yang lain dari biasanya serta mendadak seperti nampak membawa pesan sangat penting hingga menuntut Ki Demang untuk segera menjumpai kedua tamu tersebut.

Dengan diiringi langkah Utami, Ki Demang menemui kedua prajurit caraka Majapahit sambil mengira-ira keperluan apakah hingga sepagi ini utusan kerajaan berkunjung ke padepokan.  Jarak kotaraja ke padepokan sendiri membutuhkan waktu setengah hari berkuda, setelah mempersilahkan kedua tamu prajurit itu duduk dan menikmati hidangan untuk mengurangi penat dan lelah berkuda, Ki Demang Ragasemangsang menyimak maksud dan tujuan yang disampaikan. Sebuah pesan dari Sang Singha, salah satu pejabat tinggi dari pemimpin militer Majapahit disalurkan, Ki Demang diminta hadir segera ke Kotaraja, begitu singkat pesannya sambil menyerahkan lontar pesan kepada Ki Demang.

Menerima sambil memerhatikan dengan seksama isi lontar yang ditulis dengan aksara berserta lambang Bhayangkara, sudah umum dalam kalangan militer Majapahit menyalurkan sebuah perintah operasi yang dituliskan dalam lontar dengan kalimat sandi khusus dan dikirimkan oleh para caraka kerajaan. Dengan demikian meyakinkan Ki Demang, bahwasanya pesan hari itu datang langsung dari Sang Singha sendiri, sosok satu dari sekian petinggi militer kerajaaan. Pikiran Ki Demang melayang sesaat, sambil masih menyimak kalimat sandi dalam lontar itu yang artinya keadaan darurat yang akan sedang terjadi di Kerajaan.

Telah lebih dari 12 tahun berlalu seingat Ki Demang, ia telah memutuskan meletakkan jabatan dan urusan militer seiring dengan kejatuhan Sri Rajasa Kertanegara. Ki Demang memutuskan menyingkir dan pergi menyepi di kaki gunung, di wilayah tenggara Singhasari, jauh kepedalaman. Di ujung kejatuhan Dinasti Singhasari, Ki Ragasemangsang yang tatkala itu menjadi salah satu pimpinan unit militer khusus  yang bertugas melindungi Raja Kertanegara dari segala ancaman dan tindakan yang membahayakan. Menjadi tameng hidup bagi raja yang siap sedia melindungi siang dan malam. Di dalam perjalanan karir militernya yang mulai gemilang, tetiba Ki Demang tersingkir dari lingkar kekuasaan, penugasan ke utara oleh raja mengakibatkan ketidaksukaan para Mentri-Mentri atas kiprahnya yang dianggap terlalu sering mempengaruhi Raja Kertanegara secara pribadi. Ki Demang sendiri diperintah secara khusus oleh Kertanegara untuk berada di utara jawa, mengamati alur pelayaran laut utara Jawa hingga ke hulu Sungai Brantas, sekaligus sebagai pengawal dan pemandu tamu-tamu dari kerajaan seberang, kerajaan2 yang bermitra dengan Singhasari kala itu. Selepas pengiriman ekspedisi militer ke Pamalayu, banyak kerajaan-kerajaan mulai dari semenanjung Malaka tunduk dan bersatu dibawah Singhasari. Peran Ki Demang moncer sebagai sosok perwira penghubung para sekutu-sekutu Singhasari.

Singhasari menjadi kerajaan yang besar dan makmur, militernya pun kuat. Hampir tidak ada upaya pemberontakan maupun perang perebutan wilayah yang tidak dimenangkan oleh Singhasari. Meski demikian, bukan berarti singgasana raja tidak ada ancaman. Oleh maksud demikian dibentuklah Kalana Bhayangkara, sebuah pasukan kecil yang kuat dan terdiri dari orang-orang dengan olah keprajuritan  maupun kanuragan istimewa dan setia untuk melindungi Rajasa Kartanegara. Ki Demang adalah satu dari sekian prajurit dengan kemampuan istinewa yang berhasil menapaki karir sehingga menjadi pemimpin pasukan kepercayaan Rajasa ini.

Angan Ki Demang kembali ke masa itu, dengan sedikit menyesal, andai Sang Rajasa Kartanegara memperhatikan laporannya mengenai  banyaknya pasukan asing yang menyelusup masuk dari utara dan masuk ke pedalaman hingga ke wilayah Singhasari kala itu.  Telik sandi dari bermacam-macam wilayah bersliweran, baik dari kerjaaan-kerajaan dibawah lindungan Singhasari maupun bukan, datang silih berganti masuk ke wilayah Singhasari.  Laporan Ki Demang entah bagaimana selalu tidak menjadi perhatian Kertanegara, Sang Rajasa yang kala itu dalam masa kegemaran mendalami tantra, larut dalam ajaran dan bujuk rayu daripada pendeta-pendeta yang diundangnya untuk mengajar. Membuat Sang Rajasa lupa dan abai terhadap serigala-serigala disekelilingnya yang menginginkan kejatuhan tahta Singhasari yang sedang dalam puncak kejayaan. Tahta yang menopangnya sedang menjadi rebutan, mengabaikan banyak pesan juga nasehat dari para pembantu-pembantu setianya.

Sri Rajasa begitu ingin sekali menggapai puncak batinnya sebagai sosok manusia sekaligus raja utama, cita-citanya luhur dalam menggapai persatuan dan kesatuan dari kerajaan-kerajaan di nusantara dalam satu panji kerajaan. Namun, jalan yang dipilih tidak selalu seiring dengan keinginan, pendeta-pendeta dengan ajaran yang membius banyak dikirimkan untuk mengelabui pemikiran sang Rajasa dan juga mengacaukan para Rakryan Patih, mereka ini diantaranya menyaru sebagai pendeta sebagai salah satu pintu masuk untuk dapat menundukkan dengan meracuni pikiran Kartanegara.

Semakin hari, Rajasa semakin disibukkan dengan ritual-ritual agama. Laporan para Rakryan dan juga Mahamantriraja sering tidak didengarkan secara seksama. Mulai muncul banyak desas-desus dari kalangan dalam istana dan beredar ke rakyat tentang akan adanya gejolak prahara kerajaan Singhasari. Hingga akhir kejatuhannya, dimana Sang Rajasa terbunuh oleh kudeta yang disusun lama dengan sangat rapi, membuat Sang Rajasa terbunuh dengan amat tragis tanpa ada pengawal utama yang sanggup melindunginya.  Ki Demang sendiri berada jauh di utara kala mendengar kabar terbunuhnya Kertanegara.

Beberapa saat sambil menunggu jawaban kesanggupan Ki Demang, kedua prajurit Majapahit tersebut berjalan-jalan di seputar padepokan, menghilangkan penat sejenak sebelum balik kembali ke kotaraja. Di satu sudut pelataran pedepokan, kedua prajurit itu hentikan langkah, nampak beberapa murid padepokan sedang berlatih olah silat. Gerakan mereka membentuk sebuah formasi serang sekaligus bertahan, bagai sekelompok burung kuntul yang ringan bergerak kesana kemari dan terbang saling menyambar.

Lima orang berhadapan laiknya musuh dengan tiga orang, dengan formasi seperti sayap burung siap menyerang , sedang satunya membentuk perisai perlindungan. Lima orang mengurung sedemikin rupa, tusukan, gejuk kaki, engkling saling beradu. Seperti kala burung kuntul yang ramai terbang menyambar --nyambar makanannya di sungai maupun sawah. Saling bergantian menyerang sekaligus bertahan, membentuk satu kurungan serangan yang sangat rapat dan sulit ditembus.

Sebuah gumam mengalihkan perhatian kedua prajurit itu, sambil menjura tanda hormat kepada Ki Demang  Ragasemangsang yang tiba2 dibelakang menyusul mereka berdua.

"gladi silat burung kuntul ini baru kami lihat begiu banyak gerakannya Ki Demang" ujar salah seorang caraka yang berpangkat bekel, terlihat dari tanda pangkat keprajuritan yang melekat pada setagen yang dikenakannya.

"formasi gerak yang kami pelajari saat olah keprajuritan tidak sebanyak yang kami saksikan hari ini", lanjutnya.

Ki Demang menjawab, "Dari mulai Bhayangkara dibentuk, yang salah satu tugas utamanya adalah melindungi sang Raja, mengharuskan menempel ketat dan erat. Seperti burung kuntul, yang terbang berbaris dalam satu formasi nan indah. Melayang di udara maupun saat berburu makanan didarat, semua dilakukan secara bersama, saling mengisi dan saling melindungi. Kecepatan dan kekuatan akan kebersamaan burung Kuntul menjadi bekal mutlak bagi Bhayangkara dalam menjalankan tugasnya.

Kedua prajurit menggangguk dan mengucap tandya sebagai bentuk hormat dan pemahaman soal yang dijelaskan tadi oleh Ki Demang. Tanpa menjawab, Ki Demang memberi isyarat untuk segera bersama-sama menuju Kotaraja. Sepertinya Majapahit akan dilanda prahara. Ki Demang ditemani oleh Utami, yang sudah sedak lama menjanjikan untuk turun gunung, berpetualang  di rimba persilatan dan bila perlu turut mengikuti jejaknya mengabdi pada kerajaan.  Padepokan Ragasemangsang  sementara dititipkan kepada ki Dawan dan murid --murid, sampai Ki Demang kembali pulang. Nampaknya perjalanan kali ini ke Kotaraja membuat Ki Demang juga Utami akan bepergian cukup lama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun